Setelah bel istirahat berbunyi. Ghea diajak berkeliling sekolah oleh Arin. Ghea berdiri di dekat balkon kelasnya sambil menatap ke balkon di hadapannya. Arin bilang, lantai dua di seberang kelasnya adalah kelas IPA semua. Ghea jadi penasaran, anak kelas IPA itu orangnya seperti apa. Karena menurut pengakuan anak IPS, anak IPA itu pintar-pintar dan berprestasi. Selain itu, kelas IPA juga sering mendapat gelar The Goblet Class karena sebagian besar muridnya banyak menyumbangkan piala dan juga tropi.
Ghea menyipitkan mata saat tatapannya tak sengaja berhenti pada siluet seseorang di gedung kelas IPA. Pikirannya mendadak berputar-putar di kepala, seolah-olah sedang kembali mengingat nama siapa pemilik wajah dan tubuh tegap itu.
Nggak salah lagi, itu Rizza.
Buru-buru Ghea melangkah setengah berlari menuruni anak tangga ke lantai satu. Karena Ghea lihat, cowok itu juga menuruni anak tangga dan berjalan diantara lorong koridor.
“Rizza!” panggil Ghea.
Cowok yang dipanggil Rizza itu hanya memasang earphone saat melihat seorang gadis yang mengejar-ngejarnya dari belakang. Rizza tidak menggubris panggilan dari gadis itu. Ia justru malah buru-buru mengambil langkah seribu-nya untuk menghindar.
Siapa sih tu cewek?
“Lo Rizza 'kan?”
Setelah berlari cukup jauh, akhirnya Ghea bisa mensejajarkan langkahnya dengan cowok itu. “Gak salah lagi, lo itu Rizza,” ucapnya. Ketika melihat wajah putih cowok itu untuk memastikan kalau Ghea tidak salah orang.
“Rizza, berhenti dulu napa! Ini gue Ghea. Lo masih inget gue kan?”
“Rizza, lo denger gue gak sih?!” Tanyanya geram.
“Riz—”
Brugh!
“Auwh!”
Rizza berdecak mendengar suara jatuhnya siswi di belakangnya. Rizza akui, ia memang tidak perduli pada orang lain yang mengaku sebagai fans fanatik-nya. Tapi bukan berarti Rizza juga tidak punya hati. Rizza berbalik badan untuk melihat keadaan gadis yang mengejar-ngejarnya tadi.
Sementara itu, Ghea meringis saat kakinya terasa sakit karena terkilir. Ia tak habis pikir, mengapa cowok yang bernama Rizza itu masih saja sangat cuek seperti dulu dan bahkan dengan teganya membiarkan dirinya duduk di lantai tanpa ada niatan menolong.
Hingga uluran sebuah tangan kekar membuat Ghea tersentak, kaget. Kemudian Ghea mendongakkan wajah untuk melihat siapa pemilik tangan berhati malaikat dihadapannya ini.
“Are you ok?”
Ghea mengangguk samar dengan wajah melongo. Lantas, menerima dengan senang hati, uluran tangan seorang cowok berwajah eksotis dihadapannya yang mencoba membantunya berdiri. “Lain kali kalau ngefans sama cowok, cukup diliatin aja dari jauh. Gak usah sampe ngejar-ngejar kayak gini,” ucap cowok itu.
“Ngefans?” Ghea membeo dengan tatapan bingung, kemudian ia melirik sekilas ke arah Rizza yang sedang berdiri dengan tampang acuh tidak jauh darinya.
“Nggak usah malu-malu kali, gue tahu tipikal cewek kayak lo. Stalker 'kan?”
Ghea semakin bingung. Ngefans? Stalker? Maksudnya apa coba?
“Apaan sih lo? Gue emang kenal sama Rizza.”
“Semua cewek disekolah ini emang kenal Rizza kali. Siapa sih yang nggak kenal sama tu cowok.”
“Ih! Gue gak perduli se-terkenal-nya dia di sekolah ini. Yang jelas gue emang kenal Rizza dan gue bukan FANS-NYA.”
Cowok itu terdiam sejenak. Seolah memikirkan sesuatu. “Lo-bukan-fansnya si Rizza?” tanya cowok itu terpatah-patah.
Ghea berdecak sebal dengan wajah frustasi. “Bukan,” jawabnya.
“Kalau bukan Fans kenapa ngejar-ngejar?”
“Gue tu pernah satu kelas sama Rizza pas waktu SMP. Makanya, tadi gue ngejar-ngejar dia,” jelas Ghea.
“Oh, gitu....”
Ghea kembali melirik Rizza yang masih berdiri dan menatapnya dengan datar. Rizza pun sebaliknya, seperti baru mengingat sesuatu, namun enggan menghampiri.
“Lo murid baru, ya?” tanya cowok tadi. Meneliti setiap inci wajah Ghea.
Ghea menganggukkan kepalanya. “Kenapa?”
“Enggak. Cuma heran aja karena baru ngeliat wajah lo. Cantik.”
Mata Ghea berpindah ke dada kanan cowok itu. Tidak ada name tag di sana.
“Kaki lo sakit gak?”
“Lumayan.”
“Bisa jalan?”
“Bis—, Aduh!” pekik Ghea.
Lagi-lagi Ghea hilang keseimbangan saat ingin mencoba melangkah. Mungkin kakinya benar-benar terkilir cukup parah hingga ia hampir terjatuh untuk yang kedua kalinya. Untung saja cowok dihadapannya sigap menangkap.
“Serius bisa?” Cowok itu bertanya dengan nada menyindir. “Tapi kayaknya kaki lo cukup parah deh, mau gue bantu pergi ke UKS?”
Ghea kembali melirik Rizza yang ketiga kalinya. Namun cowok itu sudah menghilang bak ditelan bumi.
Kemana dia? Cepet banget ngilang-nya?
“Atau mau gue gendong,” tawar cowok itu. Tapi Ghea hanya bengong saja ditempatnya. “Woy. Liatin apaan sih?”
“Hah? Nggak. Nggak liat apa-apa kok, tadi lo ngomong apa?”
“Jadi, gimana? Mau gak gue gendong ke UKS?”
“HAH?” dahi Ghea mengernyit.
“Sumpah. Lo cantik-cantik budek, ya,” cowok itu mencibir. Lantas mengulangi ucapannya. “Gue. Gendong. Elo. Ke. UKS,” dengan penuh penekanan.
Akhirnya Ghea mau menerima tawaran cowok itu, tapi hanya untuk memapahnya karena Ghea merasa tidak enak kalau harus digendong sampai ke UKS. Ghea sempat berpapasan dengan Rizza yang sedang duduk disalah satu kursi panjang yang ada didepan kelas. Tapi cowok itu terlihat sibuk sendiri membaca sebuah komik dengan sampul aneh, cowok itu juga bersenandung karena mendengarkan musik melalui earphone di telinganya.
Setelah kaki Ghea diobati oleh petugas UKS menggunakan minyak oles. Ghea mendudukkan pantatnya di atas ranjang dengan kaki melambai kebawah, sesekali ia sempat meringis karena masih merasakan sakit. Gadis itu kemudian melirik cowok yang tadi menggendongnya dengan suka rela. Ghea masih belum mengetahui namanya.
Dilihatnya lagi, cowok itu kini sedang mengobrol dengan salah satu petugas UKS yang bisa Ghea tebak pasti kakak kelas, karena logo di lengan kemejanya menunjukan angka romawi XII.
“Heran gue sama lo. Gak ada kapok-kapoknya ya, dihukum bokap. Masih aja bikin masalah di sekolah.”
“Pacar lo juga biang onar.”
“Nggak usah ngalihin pembicaraan. Hito itu cowok yang tahu batasan.”
Ghea berdeham. “Sori, Kak. Gue boleh izin ke kelas duluan? Soalnya bel masuk pasti bentar lagi bunyi.”