Seorang pria dengan kemeja lengan panjang yang dilipat sampai ke siku itu berjalan di bandara, membawa sebuah koper yang sepasang dengan warna kacamatanya. Gelap.
Namanya Zidhan Aldebaran. Pria berusia 34 tahun yang penuh karisma dan mempesona. Dan dia baru saja sampai di bandara Italia setelah dari apartemennya. Samar-samar Zidhan mendengar suara seseorang memakai bahasa khas negara aslinya.
“Anda tidak mengerti, Nona. Saya harus pulang sekarang!”
“Mi dispiace, il volo è pieno da ieri. Stasera la Champions League. L'intero volo è pieno —Maaf, penerbangan sudah penuh sejak kemarin. Malam ini Liga Champion. Seluruh penerbangan sudah penuh.”
Wanita di meja Resepsionis itu hanya menggelengkan kepala pelan. Sambil menempelkan kedua telapak tangan sebagai tanda permintaan maaf, di depan dadanya.
“Sepak bola sialan! Kenapa juga aku harus terjebak oleh kesukaan ku sendiri?!”
“Kalau aku ada di lapangan, akan ku beri mereka dua puluh dua bola agar tidak berebut satu bola?! Dasar anak-anak!”
Pria yang mengoceh di bandara sambil memegang sebatang coklat itu juga berumur 34 tahun. Kini ia hanya meremas rambutnya selepas memaki. Saat seperti itu, tiba-tiba ponselnya dalam saku berbunyi, seakan-akan mengompori kepanikannya hari ini. Buru-buru pria itu mengangkatnya dan mengucapkan. “Halo,” kepada penelepon.
“Halo, Fei. Baik. TUAN BIOLA. Aku masih terjebak di bandara. Aku tidak bisa pulang cepat. Maukah kau membantu ku. Iya. Tentu saja. Iya pertemuan itu batal— Fei? Fei, kau mendengar ku? Apa sinyal mu buruk?”
“Ya aku tahu, Tuan Biola. Tidak. Aku akan membujuk gadis itu jadi kau berhenti menelepon ku!”
Belepotan pria itu menjelaskan lewat telepon genggamnya sembari terus mengunyah coklatnya. Lantas, ia menaruhnya kembali di saku celana setelah menutup telepon sepihak. Kini ia kembali mendongakkan wajah untuk membujuk gadis penjaga tadi.
“Ayolah! Bagaimana mungkin Anda tidak punya tiket satu kursi untuk saya? Saya sangat membutuhkannya. Ini penting sekali. Satu tiket saja. Atau begini saja, tak dapat kursi pun saya tak apa. Yang penting saya bisa pulang sekarang juga.”
Zidhan yang mendengar itu menurunkan kacamatanya dan menaruhnya di kerah bagian depan. Ia mengukir senyuman mendengar ucapan orang itu yang memohon-mohon dengan bahasa Indonesia. Apalagi, dia berkata seolah-olah sedang membujuk kenek bus umum.
“Ada yang bisa aku bantu?” ucap Zidhan setelah menghampiri pria itu.
“Bagaimana bisa membantu? Anda saja pasti tidak bisa pergi sekarang!” Pria itu masih tersulut emosi. Dan ketika ia menolehkan wajahnya, baru ia terkejut setengah mati.
“Zidhan?”
Zidhan melebarkan senyuman. Kedua pipinya sampai mengkerut.
“Kau Zidhan Aldebaran bukan?”
Zidhan kini melebarkan tangannya.
“Akhirnya Tuhan mengabulkan doa ku!”
Pria itu langsung memeluk Zidhan sambil berteriak jingkrak-jingkrak. Ternyata, mereka saling mengenal. Terutama bagi Zidhan, dulu pria di hadapannya ini adalah sahabat satu tim futsal di sekolah semasa SMP sampai SMA-nya. Namanya pria itu Arya Bagaskara. Pria yang menjabat sebagai guru honorer, namun ia mendapatkan tiket liburan gratis selama satu minggu di Italia dan sekarang Arya harus segera pulang karena istrinya akan melahirkan anak kedua mereka.
“Apa kau akan pulang ke Indonesia?”
“Tentu.”
“Mana pesawat mu?”
Zidhan terkekeh dengan kalimat itu. Apa dia pikir pesawat bisa diparkirkan sembarangan seperti mobil pribadi?
“Tentu saja ada. Tapi, aku bersama rombongan casting.”
“Tidak masalah. Yang penting aku bisa pulang ke Indonesia hari ini. Kau mau bukan membantu ku?”
“Ikutlah denganku!”
“Tapi ini gratis bukan?”
“Jangan khawatirkan soal uang. Kau dulu selalu meminjamkan ku uang, dan anggap saja penerbangan pulang ini aku membayar hutang ku yang sering ngutang gorengan pada mu.”
“Rupanya, kau masih ingat dengan masa puber itu, eh?”
“Tentu saja. Masa itu sangat berarti bagi hidup ku, dimana aku harus memulai belajar dari pengalaman hingga sampai saat ini.”
Arya Bagaskara tersenyum tipis. Ia tahu segalanya tentang Zidhan. Tak terhitung. Maksud perkataan Zidhan pun ia mengerti sekali. Arya termasuk orang yang menyaksikan kehidupan Zidhan secara langsung. Dari titik nol hingga jadi orang terkenal dan sukses seperti sekarang. Arya tahu semua itu. Cinta, keluarga, dan karir Zidhan seakan-akan tuhan yang memang merencanakan takdir bahtera hidup pria itu seperti lautan yang penuh akan ombak. Seperti perjalanan menuju puncak gunung. Berliku-liku.
🥀🥀🥀
Hari ini kelas kosong karena guru Seni tidak bisa hadir. Arin bilang, guru Seni mereka sedang pergi ke luar negeri mengikuti seminar dengan guru lain.
Ghea tersentak kaget ketika melihat Regan sudah duduk di samping bangkunya dengan wajah tersenyum lebar. Rambut dan kemeja baju cowok itu basah, seolah-olah baru saja terjadi hujan. Padahal, Ghea lihat, cuaca diluar begitu cerah. Ghea bisa merasakan kalau cowok itu sedang banjir keringat karena aroma dari tubuhnya tercium bau yang agak sedikit masam.
“Pagi, Gina cantik,” sapa-nya.
Ghea mendesah. “Lo kenapa, baru dateng ke kelas?” jeda, “kesiangan lagi?” tebak-nya.
Regan sontak nyengir kuda. “Udah takdir,” balasnya, dengan nada santai. Seolah-olah hal tersebut sudah biasa baginya. Regan kemudian memasang wajah menderita. “Gi...” rengeknya bak bocah TK. “Susutin keringet gue dong! Capek. Abis jalan kodok di lapangan basket dihukum Pak Banyu.” Regan mengangkat wajahnya dengan manja ke dekat Ghea.
“Ih, ogah!”
“Susutin...” Regan semakin merengek manja.
Ghea tertawa geli. “Nggak mau.”
“Ayo buruan, Gina kan cantik, baik,” goda Regan. Sambil mendekatkan tubuhnya, membuat Ghea menjerit histeris dan mencondongkan tubuhnya kesamping untuk menjauh. “Ih, Regan. Lo bau keringet jauh-jauh dari gue!”
“Gue wangi ,Gi. Wangi nih.”
“Regan! Ngeselin lo.”
“Apa? Coba ngomong lagi.”
“Nges—”
“Ehem!”
Sontak saja Ghea dan Regan berhenti bercanda. Keduanya langsung reflek saling menjauh dan berpura-pura tidak terjadi sesuatu saat mendengar deheman seseorang yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Gwen, ada angin apaan datang ke kelas aku?” tanya Regan dengan sangat lembut.
“Aku mau ngajak kamu makan bareng di kantin.”
“Tumben nggak ngabarin aku dulu?”
“Emang perlu ngabarin dulu. Aku kan PACAR KAMU,” ucap Gwen sambil melirik Ghea dengan ucapan yang sengaja ditekankan untuk sekedar pamer kalau gadis itu adalah pacarnya Regan. Cowok yang sedang kepergok tertawa dengan gadis lain di dalam kelas.
“Iya-iya.”
Walaupun Regan tidak ingat kapan dan tanggal berapa mereka jadian. Tapi Regan sudah mengiyakan lebih dulu. Regan tidak mau urusannya nanti semakin panjang. Karena Gwen, adalah salah satu dari ribuan cewek yang memiliki mulut super bawel.
“Gwen, ini Ghea. Yang semalem aku ceritain ke kamu.”
“Oh, ini....”
Ghea mengernyit. Apa maksudnya Regan nyeritain gue ke pacarnya?
Detik berikutnya Ghea langsung sadar kalau ia harus menyapa gadis itu.
“Hai, Kak Gwen. Gue Ghea,” sapa Ghea ramah.
“Hai,” balas Gwen. Tersenyum palsu. “Panggil gue Gwen aja. Kita sepantaran kok.”
“O-ke.”
Regan menepuk pelan pundak Ghea, membuat gadis itu menoleh seolah berkata, 'Apa?'.