"Jau! Berdiri!” Lelaki paruh baya itu melotot tak sabaran—di tepi lapangan sambil melinting rokok. Hari beranjak gelap. Ilalang-ilalang setinggi pinggang gaduh berisik.
Tiga lawan satu. Jika melihat dengan mata telanjang tentu jauh dari kata seimbang. Lihatlah, Jau berumur tak lebih dari sepuluh tahun—sedang mencengkram galah panjang, memasang kuda-kuda kokoh setelah jatuh kena sepak dari salah satu lawannya. Wajahnya pias terkena lumpur, namun tetap kuat sekali jemarinya mencengkram tongkat bambu itu.
Tiga lawannya berumur belasan tahun, sama membawa galah-galah panjang. Wajah mereka juga tak kalah sumpek, bulir keringat membanjiri pelipis mereka. Meskipun hanya melawan satu orang. Namun tetap saja butuh kerjasama yang hebat untuk membuat jatuh dan tak bangkit lagi petarung di depannya itu. Tubuh mereka hampir sama. Gagah dan tinggi.
Obor-obor yang menyala di tepian lapangan tertiup angin sore. Azan magrib sebentar lagi berkumandang dan burung-burung bersiul pulang pada sarangnya. Ada tiga puluh pemuda di lapangan itu. Dua puluh masih pendekar muda. Sepuluh lainnya senior, memperhatikan di luar lingkaran. Pertunjukan tadi—jika Jau berhasil membuat jerih ketiga lawannya, ia akan diangkat menjadi tangan kanan Guree pelatih. Namun ampas, ia terkapar tak berdaya lima menit setelahnya.
“Pertarungan tadi lumayan, Bocah.” Salah senior yang menjadi wasit pertarungan mengulurkan tangan ke Jau.
“Jika tongkatku tak patah. Kau musti kepalang cari tabib, Tuleng.” Jau terkekeh, berdiri dari jatuhnya. Menyalami ketiga lawannya dengan sikap petarung sejati. Bapaknya—pemilik padepokan sekaligus Guree pelatih mengelap kepala. Sayang sekali, kurang sedikit saja anak sialan itu berhasil mengaparkan lawan-lawannya.
“Leng! Suruh Jau kesini!”
Sedetik kemudian, Jau berlarian menuju Bapaknya yang sudah berdiri dari duduknya, mengacak pinggang. Jau paham belaka apa yang akan terjadi, wajahnya sedikit mengerut.
“Ambil rotan.” Bapaknya berkata datar. Mengelap-elap tangannya. Jau secepat mungkin mengambilnya di gubuk gedek. Wajahnya pias. Tunggang-langgang menginjak kubangan.
***
Langit terbakar di atas sana. Sebentar lagi sebuah sore mengelupas jadi malam, gerimis cantik mulai mengangkangi genting-genting rumah. Membuat nada-nada singkat, aroma menenangkan begitu terasa. Petrichor.
Dari jejeran rumah panggung di kampung soak ini, hanya ada satu rumah yang berbeda dari lainnya. Selasarnya dari seng yang bagus, ada ukiran berkelok pada tiangnya yang tinggi, tambahkan toilet dalam dan yang seperti itu sungguh cuman ada satu. Dari jendelanya yang terbuka terlihat hampar padi berkemul sampai batas pandang mata. Indah sekali. Di dataran tinggi seperti ini, semua jenis tumbuhan subur, beranak-pinak, bertunas-munas. Bahkan semak belukar yang berduri pun akan senang kawin dan tumbuh rumpun di lapangan. Tambahkan tekanan atmosfer yang lebih padat, menghasilkan udara yang begitu sejuk dan macet. Sehingga kadar oksigen yang dihasilkan akan lebih rendah dan membuat jantung beroperasi dua kali lebih kuat dari orang-orang benyek di nun kota.
Dalam satu-satunya rumah panggung yang memiliki toilet dalam itu, sebuah keluarga diberkahi euforia. Bukan kepalang, satu anaknya berumur sepuluh tahun berdiri tenang. Mengusap-usap bekas pecutan rotan di lengannya sambil sesekali mengucek ujung kain jarik Mamaknya. Lihatlah, ribuan sayap malaikat kini mengukung rumah itu. Membuat doa-doa seperti luruh di genting-gentingnya yang basah. Entah apa yang akan dilakukan para malaikat itu. Namun pepatah kuno pernah mengamini sejumput kalimat “Kematian selalu menunggu bahagia pulang dipelukan orang-orang paling bernasib sial.”
“Mau kita namai apa anakku ini, Jani?” sang bapak gagah mendekat, menanggalkan kalung bermata plat perak dengan inisial di gantungan baju, kemudian mengambil tasbih dan mengalungkannya ke leher. Mencium kening Istrinya sembari memandang jabang bayi yang masih merah—dengan tangan mengepal. Di luar senja-senja mulai tumbang.
“Fatih. Sang penakluk konstatinopel.” Jau sok memberi pendapat. Mengangguk-angguk takzim. Berharap persetujuan.
“Lancang. Biarkan mamakmu yang jawab!” Bara ketus melotot.
Sialan!
Jau meninggalkan kasur. Berdiri di belakang jendela yang terbuka. Pemandangan paling indah.
“Bagaimana, Jani?” Rinjani, hanya tersenyum simpul. Perlahan Jani menatap suaminya dengan alis terangkat penuh makna. “Suruh anak itu mendekat!” kira-kira begitulah arti tatapan itu. Bara menghela napas panjang. Menatap punggung Jau lamat-lamat. Selalu saja kalah. Jani, kau terlalu pilih kasih!
“Hei, Jau.” yang dipanggil enggan menoleh. Masih ia perhatikan jendela yang terbuka. Hujan-hujan kecil yang cantik.
“Jau, kuiris kupingmu jika masih berlagak tuli!”
Jau langsung menoleh, tetap memasang wajah kebas ke bapaknya. Seolah lupa dengan kejadian rotan sehari yang lalu. Ia tenang berjalan ke arah mamaknya sambil tersenyum licik. Mamaknya membalas tawa, mengerti apa maksud senyum itu. Sebuah kemenangan. Senggang sejenak.
Bara menyingkap lengan, sedikit meninju bahu Ranjau. Ranjau hanya mengaduh, menatap orang tegap itu beranjak pergi dari ruangan, menyaut sembarang sarung di gantungan. Azan magrib sudah terdengar.
Ranjau menyeringai puas, menatap adiknya polos. Mencium pipi yang merah, mengusap kepala adik tersayangnya. Kemudian ikut menekurkan kepala dalam dekapan Mamak. Terasa hangat. Sudah lama ia menanti adiknya ini keluar. Tiap petang hingga malam ia tunggui perut mamaknya. Ia sungguh butuh teman untuk berkelahi. Minimal ada yang rela jadi samsaknya.
“Kita harus menamainya,” Jani berkata pelan, menenangkan. Lembut sekali suaranya. Sedangkan Jau masih acuh, ia masih tersenyum dengan mata tajam ke arah jabang.
“Janu.” tangan Jani membelai rambut Jau. Ia masih lemas, belum penuh pulih. Semalam lepas bersalin, pendarahan terlalu deras membuat dukun bayi kebingungan. Lantas menyerah. Beruntung beberapa menit setelah mantri didatangkan suasana menegangkan itu luruh, darah terhenti. Namun tetap membuat Rinjani kehilangan banyak darah. Bayi yang di kandung bobotnya melebihi ukuran normal, sehingga belum capai masanya jabang bayi itu memaksa keluar. Hal yang lumrah.
“Entahlah, Mak. Tapi cerita-cerita Bapak di surau cukup menarik, tentang Fatih. Ya, Fatih.” Ranjau menatap mamaknya lamat-lamat. Mengingat kisah konstantinopel yang diceritakan bapaknya saban kalong.
“Fatih?” Rinjani mengangguk. Menimang bayi yang menyungging senyum menggemaskan kini. Menciumi kedua anaknya. Ranjau menyimpul senyum. Membayangkan wajah mengkal bapaknya, ketika tahu keputusan masalah nama ini sudah final.
Beiringan dengan tawa Jau. Dengan jemari Jau yang masih menyentuh bibir adik kesayangannya. Bahkan gerimispun belum sepenuhnya jatuh ke sungai. Saat itu pula terdengar bunyi derap langkah yang gemuruh di luar rumah. Lima detik kemudian menyusul lengkingan suara membuat pengang telinga.
“DOBRAK!” Suara itu riuh ramai.
Jantung Jani seketika seperti dihempaskan ke lantai keras, kaget bukan main. Lima detik kemudian menyusul suara pintu berdebam. Aroma mencekam menguap di langit-langit rumah. Rumah ini serba kayu tipis, mudah diambrukkan. Serentak sekumpulan celana kempol loreng, lengkap dengan sepatu Lars takzim menghitung langkah. Menyelidik teiliti segala sudut rumah. Menghempaskan barang-barang yang berada di atas, membuat pecah segalanya. Mereka menyalak garang.
“BARA!” Seru mereka serempak. Sahut-menyahut ngeri. Menusuk lubang kuping Jau, juga mamaknya yang terkesiap takut. Keringat seketika memenuhi ubun-ubun.