Miserably 30

Angela Loewi
Chapter #2

#2 - Damn it!

-Intan-

Aku pikir kesialan di hidupku sudah over limit. Ternyata aku salah besar. Apa yang terjadi denganku hari ini lebih parah dari yang sudah-sudah. Aku tidak pernah membayangkan diriku akan berdiri ketakutan di depan UGD rumah sakit sambil mendoakan orang asing supaya tidak meninggal karena ulahku. Terkutuklah aku.

Bodoh! Aku memukul kepalanya dua kali sampai dia berbenturan keras dengan tembok. Saat aku membawanya ke sini, dia belum juga sadarkan diri. Denyut nadinya ada walaupun lemah. Bagaimana kalau benturan tadi membuat otaknya pendarahan, lalu laki-laki itu tidak bisa tertolong? Atau, bagaimana kalau ternyata laki-laki itu punya serangan jantung yang membuatnya terguncang lalu meninggal? Ya, Tuhan, ampunilah hamba! Aku butuh belas kasihan Tuhan sebanyak-banyaknya. Aku sungguh menyesal sudah memukulnya. Kenapa juga sih aku harus memukulnya sekeras itu?

Pertama, aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku benci punya hubungan dengan kematian. Jangan. Aku mohon jangan.

Kedua, aku melakukan tindakan kriminal. Pembunuhan, kekerasan, penyerangan, penganiayaan atau tuduhan apa pun bisa saja ditujukan kepadaku. Seratus persen aku bersalah. Aku bisa mendekam di penjara bertahun-tahun atau mungkin seumur hidup. Aku tidak sanggup.

Ketiga, aku akan kehilangan karir yang telah aku bangun dengan susah payah sebagai manajer keuangan di Wanters, satu dari lima perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG)[1] terbesar di dunia. Delapan tahun pengabdianku selama ini akan sia-sia. Padahal, selangkah lagi aku akan mendapatkan posisi manajer senior, setelah Bu Sukma pensiun tahun depan.

Aku hanya bisa menggemeretakkan gigi sampai merasakan sakit sendiri, sementara Bu Sukma berjalan bolak-balik layaknya setrika di depanku. Entah sudah berapa lama kami menunggu di sini. Perutku mulas dan kakiku gemetaran sehingga aku harus bersandar pada tembok. Tidak sabar menunggu kabar tentang keadaan laki-laki itu.

“Aduh kalau dia sampai kenapa-kenapa gimana ini, Tan?” gerutu Bu Sukma cemas.

Tentu saja aku sangat berharap laki-laki itu baik-baik saja. Aku akan melakukan apa pun supaya dia bisa kembali normal. Aku tidak mau dia meninggal. Atau, bagaimana kalau dia sampai cacat mental? Lumpuh permanen karena syaraf otaknya rusak? Amnesia? Beban rasa bersalah yang akan kutanggung sungguh akan sangat berat.

“Kok kamu diam saja sih, Tan? Saya stres banget ini!” Langkah bolak-balik Bu Sukma semakin cepat.

Sepertinya aku harus melakukan pemeriksaan Elektroensefalografi[2] sekarang juga supaya Bu Sukma tahu betapa paniknya aku. Kepalaku saja sudah mau pecah memikirkan segala kemungkinan buruk.

“Intan…” Suara Bu Sukma mulai merajuk.

Aku mengambil satu tarikan napas panjang agar lebih tenang. “Saya takut, Bu. Saya… kalau sampai dia meninggal saya harus bagaimana?”

Bu Sukma berhenti bolak-balik, meringis gemas di hadapanku. “Lagian kok kamu bisa-bisanya mukul dia? Memangnya dia mau menyakiti kamu?”

 “Ngg…nggak, Bu.” Aku menggeleng, memikirkan sedikit pembelaan. Siapa tahu saja Bu Sukma bisa menjadi saksi untuk meringankan hukumanku. “Tapi, gerak-geriknya mencurigakan, mana pakai topi dan bawa koper segala pagi-pagi.”

“Dia baru datang dari Singapura, Intan. Dia itu orang Singapura, makanya bawa koper, kan mau pindahan.” Bu Sukma melotot kesal.

Baiklah, ternyata pembelaanku tidak diterima. Aku menegakkan badan dari sandaran kemudian mencoba lagi, “Saya kan nggak tahu, Bu. Saya cuma takut kejadian kantor hampir kemalingan beberapa bulan lalu itu terjadi lagi. Apalagi dia nggak punya akses masuk Wanters. Membiarkan orang asing masuk ke dalam kantor dianggap sebagai pelanggaran ethics and compliance kan, Bu?”

“Maling mah pakai penutup kepala yang cuma kelihatan matanya, Intan! Kamu nggak pernah lihat apa di sinetron-sinetron? Masa ganteng kaya artis kamu kira maling?”

Pembelaan diri gagal total! Aku memilih menyerah saja. “Maaf, Bu.” Memang sih dari sisi apa pun aku tetap salah. Anggap saja dia betul-betul maling, aku sudah main hakim sendiri membuatnya celaka. Tidak akan ada pembelaan.

“Keluarga Caleb Hardy.” Seorang dokter keluar dari ruang UGD membuat Bu Sukma terkesiap. Berarti itu namanya.

“Ya, Dok. Bagaimana keadaan Caleb?” tanya Bu Sukma yang langsung berdiri di sampingku dan merangkul lenganku dengan kedua tangannya yang sudah renta.

“Dok, dia masih hidup kan?” tanyaku karena wajah dokter terlalu tegang, membuatku takut mendengar kabar buruk.

Dokter tertegun sebentar melihatku, lalu dia mengangguk. “Pasien masih hidup.” Wajahnya tetap tegang. Apa memang wajah semua dokter seperti itu? Menakutkan sekali.

Aku dan Bu Sukma sama-sama menghela napas lega.

“Pasien mengalami gegar otak…”

“APA?! GEGAR OTAK?!” teriak Bu Sukma yang langsung melotot lagi. Kedua tangannya tiba-tiba mencengkeramku kuat-kuat dan aku kembali lemas.

“Ibu tenang dulu. Kemungkinan pasien hanya gegar otak ringan.”

“Ringan? Kemungkinan?” Aku nyaris berbisik saking lemasnya menanyakan itu.

“Ringan bagaimana maksudnya, Dok?” tanya Bu Sukma tidak sabaran.

“Sejauh ini kami tidak menemukan masalah serius pada otaknya. Tidak ada pendarahan, pembengkakan atau kerusakan jaringan yang terdeteksi.”

“Syukurlah,” ucap Bu Sukma yang melonggarkan cengkeraman tangannya.

Aku belum mau lega. “Apa artinya semua baik-baik saja, Dok?”

Dokter menggeleng. Mampus deh! “Pasien sudah boleh pulang, tapi selama tiga bulan ke depan belum dapat beraktivitas normal. Terkadang efek benturan baru terjadi belakangan. Kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi, makanya harus sangat hati-hati. Jangan sampai pasien jatuh atau terbentur. Hindari aktivitas fisik, olahraga berat, naik pesawat, semua yang berbahaya. Kalau tiba-tiba terjadi sakit kepala hebat, pasien harus segera dibawa ke rumah sakit. Saya sudah jadwalkan ct scan lanjutan di tiga bulan ke depan. Bila semua bagus baru pasien dapat beraktivitas normal.”

Baiklah, penderitaanku diperpanjang. Aku belum bisa tenang dalam tiga bulan ke depan. Masih ada kemungkinan dia meninggal mendadak karena otaknya bereaksi dan aku adalah penyebabnya. Oh, Tuhan, ini sungguh mengerikan.

“Baik, Dok.” Bu Sukma mengangguk berulang kali mendengarkan penjelasan dokter. “Apa saya bisa bertemu dengan pasien sekarang?”

“Tentu.”

Bu Sukma langsung menarikku masuk ke ruang UGD dan mencari keberadaan Caleb. Sekujur tubuhku gemetaran dan panik luar biasa. Aku takut bertemu dengannya. Laki-laki itu pasti sangat membenciku.

Ruangan besar dengan tirai-tirai coklat muda di sisi kiri dan kanan langsung menyambut kami. Sebenarnya suasana biasa saja, berisik dengan beberapa percakapan dan bunyi mesin, tapi bagiku mendadak jadi horor. Aku sedang menjemput petaka. Satu demi satu tirai yang terlewati membuat jantungku berdegup tidak karuan. Sungguh aku tidak ingin menemukan sosok laki-laki yang aku pukul itu. Kalau bisa aku ingin jadi pengecut saja yang kabur ke ujung dunia. Ganti identitas sedang kupertimbangkan. Sungguh. Tetapi, setelah melewati enam tirai, sosok itu akhirnya ditemukan. Syukurlah dia sedang tertidur. Entahlah aku harus bersyukur atau tidak, karena ini artinya cuma mengulur petaka.

“Keluarga pasien ya?” tanya seorang suster dari belakang membuatku tersekat. Sepertinya aku berlebihan karena Bu Sukma biasa saja.

“Iya, Sus,” jawab Bu Sukma ramah. “Kok pasien belum sadar ya?”

Suster menengok sedikit ke dalam tirai. “Tadi sudah bangun sih. Mungkin kelelahan setelah beberapa pemeriksaan. Oh, iya, untuk perbannya nanti malam sudah bisa dilepas. Memarnya tidak parah. Kalau masih ada bekasnya dikompres air dingin saja pelan-pelan.”

“Baik, Sus.” Bu Sukma mengangguk.

“Apa Ibu bisa ikut saya untuk mengurus administrasi sekarang? Sekalian ada beberapa obat yang perlu ditebus.”

Bu Sukma mengangguk, “Oh, iya, tentu.” Kemudian, dia berucap padaku, “Kamu tunggu di sini sebentar ya, Tan.”

Aku tidak punya pilihan lain selain masuk melewati tirai dan berdiri di sisi tempat tidur Caleb. Bukannya tidak percaya dengan suster, hanya saja aku perlu memastikan Caleb masih hidup. Dengan gerakan lembut aku memeriksa denyut nadinya, lalu memerhatikan perutnya masih kembang kempis. Dia masih hidup.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah dia bangun dan melihatku disini. Mulai hari ini Caleb akan menjadi Chief Financial Officer di Wanters, bos dari bosku. Sekali dia bilang kamu saya pecat hancur sudah karirku. Atau, mungkin saja dia langsung menghubungi bagian legal and compliance di kantor untuk melaporkanku ke polisi.

Berapa lama aku akan dipenjara? Sebulan. setahun atau mungkin sepuluh tahun? Lama atau pun sebentar, nasibku akan hancur setelahnya. Surat Keterangan Catatan Kepolisianku akan ternoda. Tidak akan ada perusahaan yang mau menerima mantan narapidana.

Tiba-tiba aku teringat Ibu. Dia pasti akan menangis histeris kalau aku jadi narapidana. Aku sudah gagal menjadi anaknya, dan hari ini membuatnya semakin parah. Aku akan mempermalukan Ibu, termasuk juga ayah dan adik tiriku, Rara. Dia bisa dihujat satu sekolah kalau ketahuan punya kakak narapidana.

Mumet. Caleb yang gegar otak, tapi kepalaku ikutan sakit. Benar-benar nyeri, terasa penuh dan berat. Dadaku juga jadi sesak, tangan semakin dingin dan lama-lama aku terisak untuk melegakannya. Aku takut. Aku sendirian, tanpa ada yang bisa meringankannya.

Beberapa saat kemudian, Caleb mendadak kejang-kejang tidak karuan. Oh, Tuhan, berat sekali hidupku hari ini! Tangisanku makin menjadi-jadi dan aku kebingungan. Aku berlari sambil berteriak minta tolong mencari suster atau dokter yang ada di ruang UGD. Jangan meninggal dulu, Caleb!

Seorang suster ikut berlari denganku menuju tirai Caleb. Lalu, tiba-tiba kami berdiri kebingungan karena Caleb sudah setengah berbaring dan baik-baik saja. Dia tersenyum sinis dan menatap tajam ke arahku.

Lihat selengkapnya