Miserably 30

Angela Loewi
Chapter #3

#3 - What the Hell!

-Intan-Dulu, setiap kali ada masalah aku selalu cerita ke Wisnu. Semuanya, mulai dari masalah sepele semacam Bu Sukma yang kerjaannya cuma gunting kuku sepanjang hari sambil nyuruh-nyuruh sampai masalah penting seperti aku ribut dengan Ibu. Wisnu pendengar yang baik. Dia tidak banyak komentar, tapi pelukannya menenangkan. Sudah seperti candu.

Sayangnya itu dulu. Selama delapan tahun dan berakhir sebulan lalu setelah dia memutuskan hubungan kami begitu saja. Tidak ada tanda-tanda ketidakberesan atau pun kecurigaan. Sehari sebelumnya kami masih membicarakan rumah masa depan kok. Kami sudah berencana menikah. Kami... ah, sudahlah. Pahit kalau diingat-ingat.

Oke, kalau dipikir-pikir sebenarnya kami memang punya masalah. Awalnya sih bukan, tapi tiba-tiba diangkat jadi masalah: perbedaan keyakinan. Salahkan Wisnu karena dari awal dia sudah berjanji akan berpindah keyakinan kalau kami menikah. Aku sudah mengajarkannya banyak hal. Dia juga terlihat nyaman belajar mengikutinya. Tahun demi tahun baik-baik saja. Lalu, boom!

“Aku nggak bisa, Tan. Aku laki-laki. Seharusnya kamu yang mengalah mengikuti aku.” Wisnu menggenggam kedua tanganku yang tergeletak di atas meja, tapi rasanya jadi jauh berbeda. Dingin. Ini bukan Wisnu yang delapan tahun ada di sampingku.

Dengan tegas kutarik tanganku. Tidak terima dengan perkataan Wisnu. “Tapi dari awal kamu yang bilang bakal ikut aku. Kamu lupa, Wis?”

“Ternyata aku nggak bisa.”

“Delapan tahun kamu iya-iya aja, sekarang kamu bilang nggak bisa? Delapan tahun, Wis! Otak kamu bocor atau emang nggak ada sih?” sergahku tidak habis pikir.

“Sekali ini saja kamu mengalah demi hubungan kita, Tan. Aku cinta sama kamu, tapi aku benar-benar nggak bisa.”

Sekali, tapi untuk hal yang sangat inti dan mendasar, dengan efek yang bertahan selamanya. “Tentu saja aku juga nggak bisa. Kamu yang sudah janji pindah, Wis. Bukan aku.”

“Kalau begitu hubungan kita harus berakhir disini,” ucapnya enteng. Dengan cara seperti inikah hubungan delapan tahun berakhir?

Nahas. Disaat aku sudah meyakini dia adalah laki-laki terakhir, disaat itu pula aku kehilangan dirinya. Aku jadi kosong. Belajar untuk hidup sendiri setelah delapan tahun penuh dengan Wisnu terasa sangat sulit. Hidupku, ya, Wisnu. Setiap hari ada dia. Orang yang tahu segalanya tentangku. Laki-laki yang paling memahamiku. Dia yang selalu menghargai keputusanku. Laki-laki yang aku yakini cuma satu untuk dicintai selamanya, segala lebih dan kurangnya.

Sampai hari ini aku masih berharap dia berubah pikiran. Kalau delapan tahun kemarin saja dia pernah mau untuk berpindah keyakinan, kenapa sekarang tidak? Mungkin Wisnu hanya perlu dibujuk, seiring berjalannya waktu akhirnya sadar keputusannya salah, lalu kembali padaku. Mungkin... Meskipun sudah sebulan juga aku membujuknya, tapi belum ada tanda-tanda dia berubah pikiran.

Dan, sekarang aku sangat butuh Wisnu.

Sesampainya di parkiran Wanters, pikiranku terlalu kalut untuk turun dari mobil. Terlalu banyak kejadian di luar nalar hari ini. Aku tidak jadi mematikan mesin, justru mengambil ponsel dan mencari kontak Wisnu di sana. Dalam hitungan ketiga, aku menekan tombol panggil.

Panggilan pertama diabaikan.

Panggilan kedua juga sama.

Panggilan ketiga... “Kenapa, Tan?” Suara Wisnu terdengar tidak senang. Persis seperti suaraku saat menerima panggilan dari marketing kartu kredit atau asuransi.

“Kamu lagi sibuk?” tanyaku basa-basi.

“Lumayan, tapi poinnya bukan itu. Kalau setiap hari kamu masih telepon aku, kita nggak bisa lanjutin hidup masing-masing.”

Aku menyandarkan kepala pada setir, kecewa karena menelepon Wisnu yang salah. Wisnu yang dulu tidak pernah mengatakan sesuatu yang membuatku terluka. Rasanya terlalu aneh dia bisa berubah drastis seakan-akan delapan tahun kami hanya ilusi. Aku butuh nomor Wisnu yang dulu! “Aku nggak bisa, Wis. Aku masih sayang kamu.”

“Kamu pasti bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari aku, Tan.”

Bullshit! “Aku butuhnya kamu. Oh, God, kenapa keadaannya jadi kayak gini sih? Selama ini kita baik-baik aja, Wis. Aku nggak bisa pura-pura semua baik-baik aja setelah kamu pergi. Aku mau kita balik lagi kayak dulu.” Dalam hati aku berharap kata-kataku bisa membuatnya berubah pikiran. Dari kasihan juga tidak apa-apa. Lama-lama baru menyadari kalau masih mencintaiku.

“Sori, Tan. Aku ada meeting sebentar lagi. Aku tutup ya.”

Klik. Sambungan terputus. What the hell did you do to me, Wisnu Andrian? Aku pandangi ponselku yang sudah masuk layar standby, sekarang sudah jam dua belas kurang sepuluh menit. Wisnu tidak pernah punya meeting di jam makan siang. Aku yakin dia cuma beralasan. Tega kamu, Wis.

Disaat aku sudah melempar ponsel ke dalam tas, deringnya terdengar lagi. Mataku terbelalak. Jantungku langsung berdetak tidak karuan berharap Wisnu yang menelepon balik. Mungkin Wisnu berubah pikiran. Siapa tahu saja kan? Detik berikutnya aku kecewa karena bukan nama Wisnu yang terpampang di sana, tapi Bagas, sahabatku di kantor.

“Nenek, lo di mana?”

“Di neraka,” jawabku malas.

“Kenapa lo?” tanyanya terkekeh. “Lo ikut Bu Sukma ke rumah sakit ya?”

“Lo tahu darimana?”

“Tahu dong! Tadi si Max buat announcement, acara penyambutan CFO baru kita ditunda besok gara-gara orangnya kepleset di kamar mandi terus dibawa ke rumah sakit sama Bu Sukma. Karena lo dari tadi nggak kelihatan, tapi laptop lo ada, gue nebak aja lo juga ikut nganter si bos.” Bagas terkikik. “Bego banget sih dia bisa kepleset? Konyol kayak bocah.”

“Oh.” Hanya itu respon yang bisa aku berikan. Sedikit bersyukur karena jejak kejahatanku tertutup sempurna, tapi tetap saja merasa bersalah.

“Gue lapar nih. Lo ngantor atau nggak?”

“Gue masih di rumah sakit, Gas. Habis makan siang baru balik kantor.” Aku berbohong.

Aku sama sekali tidak berselera makan sekarang, apalagi dengan Bagas yang cerewet dan keponya minta ampun. Tidak mungkin juga menceritakan masalah Caleb padanya. Terlalu berbahaya. Aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan melamun seperti orang bodoh di parkiran. Berkhayal Wisnu ada di sini, memelukku, lalu semuanya baik-baik saja. Hah! Menyedihkan sekali kamu, Intan!

...

Sejak masih pacaran dengan Wisnu, Bagas selalu mengejekku dengan sebutan bucin atau budak cinta. Pergi dan pulang kerja pasti bareng. Kami saling menunggu kalau salah satu harus lembur. Bagas pasti langsung meledek don’t rich people difficult atau jangan kayak orang susah kalau aku menunggu Wisnu yang menjemput lebih malam. Aku memang bisa naik taksi atau bawa mobil sendiri, tapi aku maunya pulang bareng. Toh tidak ada yang menungguku pulang. Wisnu juga selalu menemani kalau aku pergi facial atau creambath bareng Bagas, meskipun dia cuma duduk-duduk sendiri main game. Aku juga mengajaknya ke acara-acara informal Wanters seperti rekreasi keluarga karyawan ke Trans Studio Bandung setahun lalu, beberapa kali pesta tahun baru kalau tidak bentrok dengan kerjaannya dan juga bakti sosial rutin. Intinya, dimana ada aku, selalu ada Wisnu. Kalau aku sendirian, justru orang lain akan otomatis menanyakan Wisnu.

Lihat selengkapnya