Misi Cinta Paling Sulit Sedunia

Muhammad Haikal
Chapter #1

Bab#1 Pertemuan dan Perpisahan

Petang menjuntai, sayup-sayup angin berhembus pelan mengitari angkasa langit sore, kadang kala angin-angin itu juga bergerak kencang sehingga menerpa dan menembus setiap rongga-rogga kain hijab remaja wanita yang sedang asyik duduk bercengkrama satu sama lain diatas kursi dan meja plastik milik para penjaja minuman dan makanan khas ala Foodtruck.

Tepi pantai, atau bahkan diatas bebatuan besar yang telah dibuat sedemikian rupa menjadi tanggul sekaligus menjadi pembatas antara air laut dengan daratan itu cenderung penuh nan sesak, karena menjadi objek wisata sore yang paling ramai dikunjungi dan digandrungi oleh para muda mudi setiap harinya kala senja hendak berpulang. Entah apa yang mereka cari, entah apa yang mereka lihat dan entah apa pula yang mereka bicarakan disana. Satu hal yang pasti, tempat itu tidak pernah sepi peminat dan pengunjungnya di waktu sore kala senja hendak menyapa.

Panorama langit atau pemandangan sore hari mungkin bisa menjadi salah satu jawaban yang terbaik mengapa tempat itu begitu dicintai. Keindahan panorama Sunset di atas langit sore yang berwarna gradasi kuning kemerah-merahan atau bahkan cenderung berwarna Orange itu menciptakan kesan tersendiri yang mendalam, menghadirkan suatu suasana yang begitu indah bila dipandang bagi sesiapa saja yang memandanginya. Ditambah dengan semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus, menjadikan suasana di penghujung hari kian menggoda dan memikat, terhadap mereka-mereka yang sedang butuh ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya.

Duduk diantara belasan kursi dan meja yang berjejer rapi tersebut, seorang gadis yang memiliki paras syahdu, kuning langsat warna kulitnya. Pakaian yang ia kenakan begitu mempesona yaitu sebuah blus berwarna Pastel, dilapisi dengan cardigan panjang berwarna senada yang menghiasi tubuhnya di bagian luar sebagai outer. Dari potongannya, ia terlihat seperti anak orang berada dan terpelajar. Sore itu dalam posisi sendirian, ia tampak seperti sedang menunggu seseorang. Sesekali sambil mengaduk-ngaduk minuman yang ada di hadapannya, ia menoleh ke arah jam tangan yang dipakainya berbalik arah dari kebiasaan orang dalam memakai sebuah jam tangan, yaitu tepat berada pada sisi dalam atau bagian yang jarang terkena sinar matahari langsung alias bagian bawah dari pergelangan tangannya.

Tak lama ia menuggu, seseorang datang, berhenti menggunakan sepeda motor tepat di jalan yang berhadapan langsung dengan gadis tersebut. Seorang Pria dengan motor Matic bongsor kekinian yang sedang berusaha diparkirkannya di ruas jalan tepi pantai itu. Turun dari motor, sang pria langsung berusaha menghampiri gadis tersebut. Ia berjalan perlahan menuju ke arahnya, hingga kemudian berhenti tepat dihadapan sang gadis. Menatapnya dengan tatapan yang dalam hingga sejurus kemudian langsung mengambil posisi duduk. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya, begitu pula dari mulut sang Gadis, ia hanya duduk berdiam diri, tidak menyapa, tidak pula menatap kearah sang pria, sesekali bahkan membuang pandangannya ke arah langit sore yang aduhai itu.

Waktu berjalan cukup lamban saat mereka berhadapan satu sama lain, diam dan bungkam seribu bahasa. Tak ada seorang pun diantara mereka yang berani memulai pembicaraan, pun begitu pula mengambil inisiatif untuk saling membuka obrolan, hal semacam itu pun tak kunjung datang menghampiri keduanya. Hening, hanya suara-suara semilir angin yang terdengar, selain tentu suara riuh, hiruk pikuk dan ramainya para pengunjung lain yang sedang asyik tertawa, cekikikan. Mereka seolah sedang larut dalam obrolan mereka satu sama lain atau bahkan curhat sana sini yang tak pernah ada habis ujungnya.

“Kenapa?” mulai sang wanita pelan dengan maksud membuka obrolan.

Suasana kala itu masih berjalan hening, semilir angin kembali bertiup ditengah keheningan itu. Terlihat dari gesturnya, Pria itu sesekali melihat kearah sang wanita, menatapnya dengan tatapan yang penuh penyesalan seraya beberapa saat kemudian kembali membuang dan memalingkan pandangan karena perasaannya yang merasa bersalah itu.

“Aku tanya kenapa?” sang wanita kembali mengulang dengan pelan seraya melihat ke arah pria tersebut dengan tatapan yang tajam.

Kali ini suasana mulai berubah, sang pria tampak gugup, dari guratan wajahnya ia merasa seperti sangat merasa bersalah. Matanya bergerak tak berkeruan, mulutnya tertahan, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu urung keluar dari mulutnya. Setiap kali ia mencoba untuk berbicara, maka setiap itu pula lidahnya kelu, mulutnya terasa dikunci rapat-rapat. Waktupun kemudian terus berjalan hingga hampir lima belas menit lamanya, sang pria masih tetap pada posisinya. Tidak merespon dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh wanita itu kepadanya. Hingga Pada akhirnya sang wanita sekonyong-sekonyong mengeluarkan aksi...

“Oke, Kalau kamu gak mau jawab..., Aku pergi” ujar sang wanita seraya bangkit dari tempat duduknya, hingga kemudian berlalu meninggalkan pria itu.

Pria itu pun masih tetap saja bergeming, ia masih pada posisinya duduk berdiam diri tanpa ada satu aksi apapun ketika melihat sang wanita pergi meninggalkannya, menyusuri jalan setapak tepi tanggul laut itu guna berusaha menjauh dari dirinya. Hingga sejurus kemudian tiba-tiba...

“Tunggu!!!” teriak sang pria.   

Mendengar sebuah teriakan, seluruh pengunjung yang sedang menikmati panorama langit sore di tepi pantai itu  terhentak, seraya  berusaha melihat ke arah sumber suara, yang mana suara tersebut ternyata berasal dari arah seorang pria yang tengah duduk sendirian.

“Fiya...tunggu!” Lanjut sang pria saat melihat gadis itu terus berjalan.

“Safiya...” seru sang pria berteriak semakin lantang.

Gadis itu pun seketika terhenti langkahnya, saat teriakan dari sang pria kian kencang dan langsung mengarah kepadanya. Laki-laki itu lalu bergegas berjalan menuju ke tempat wanita itu berada, meninggalkan tempat duduknya dan mengacuhkan para pengunjung yang sedari tadi masih menatap kearahnya.

“Mau apa lagi?” cecar sang wanita kepada pria itu.

“Kalau kamu masih belum mau jawab, lebih baik kita gak usah ketemu..., gk usah..., atau kalau perlu gak usah pernah..., pernah...” sahut sang wanita terbata-bata.

“Gak usah apa? Safiya jawab aku...gak usah pernah apa?” seru sang pria tegas.

“Kalau kamu gak mau jawab, lebih baik kita gak usah pernah ketemu lagi!!!” jawab wanita itu dengan mata berkaca-kaca seraya berlalu ke suatu arah.

Sang wanita yang bernama Safiya itu kemudian lanjut berjalan menuju ke satu arah mobil, seperti sebuah mobil pribadi yang telah dipesan dan sedang menunggu seseorang.

“Fi.. Fiya...Safiya..tunggu, aku bisa jelasin semuanya” sambung sang Pria kembali dengan nada yang tinggi.

Sang gadis tak menghiraukan perkataan pemuda itu, ia bergegas menuju ke arah mobil sedan berwarna hitam metalic, lalu langsung masuk kedalamnya melalui pintu  tengah alias pintu dibelakang kemudi setir, hingga sejurus kemudian mobil itu perlahan berjalan menjauh, meninggalkan sang pria yang sedari tadi menatap kearahnya dalam keadaan putus asa.

Di dalam mobil, Safiya berkecamuk perasaanya, air matanya jatuh tak bisa terbendung. Ia menangis sejadi-jadinya, meskipun tak ada suara tangisan yang keluar dari mulutnya, namun tangisan itu adalah tangisan yang paling menyiksa seumur hidupnya. Sebuah tangisan dimana perasaan dan tingkat emosional seseorang yang sudah sangat memuncak kesedihannya. Tidak bisa digambarkan, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hingga puncaknya hanya dapat dirasakan dengan rasa yang amat pedih nan perih di dalam hati, layaknya seperti sedang diiris-iris. Ibarat sakit, ia adalah sakit yang tak berdarah, atau bahkan jika diibaratkan dengan sebuah penyakit, kesedihan itu bak seolah penyakit menahun yang tak kan pernah kunjung pulih, menggorogoti dari dalam hingga sampai kapan pun juga.

Disisi sebaliknya, sang pria pucat pasi, berjalan seraya menundukkan kepala kebawah, meratapi nasibnya, memikirkan seluruh kemungkinan yang dapat ia lakukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi itu. Menilik segala daya dan upaya yang dapat ia lakukan untuk mempertahankan hubungannya dengan wanita itu. Satu hal yang amat sangat berkecamuk di benaknya adalah tentang bagaimana ia harus menyampaikan alasan atau jawaban dibalik pertanyaan sang wanita yang sesederhana dan sesimpel itu. Buntu, itulah jalan keluar yang ia dapatkan, sebegitu peliknya jawaban dari sebuah pertanyaan yang hanya terdiri dari satu kalimat, bahkan hanya terdiri dari satu kata saja yaitu “Kenapa?”.

----OOO----

45 hari sebelum hari-H...

Lihat selengkapnya