Sunyi, sepi, hanya semilir angin menyisir yang terdengar melintasi rongga-rongga bangunan yang sudah tak bertuan dan tak berkeruan bentuknya itu. Garis-garis sinar matahari mulai memancar dari ufuk timur, menembus setiap lubang fentilasi rumah atau bahkan bisa dianggap bukan lagi sebuah rumah.
Hancur, porak-poranda, begitulah gambaran seluruh bangunan yang ada dihadapanku, kawan. Semuanya sudah tidak sama lagi seperti yang dulu, semua yang terlihat di depan mataku kini hanyalah sisa-sisa dari apa yang telah terjadi beberapa saat yang lalu, atau lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu. Bentuk, denah, lokasi, bahkan situasi dan penghuninya pun sudah sangat berbeda dari yang dahulu.
Jika punya niat hati ingin beranjak dari tempat ini, jalan pun sudah tak tampak lagi ruamnya. Jika hendak menyapa seseorang tuk sekedar melegakan hati dari rasa sepi, orang pun sudah tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Bahkan, jika ingin sekedar menikmati indahnya gemerlap sinar lampu dari setiap sudut rumah dimalam hari, kini sinar itu telah sirna, ia lenyap bak ditelan bumi. Gelap gulita, itulah yang kurasakan tadi malam, semacam ketika Indonesia masih di jaman penjajahan dulu, saat dimana orang-orang masih sangat asing dengan teknologi yang bernama Listrik, begitulah kira-kira gambarannya.
“Dek, Sarapan! Neuk, Hafiz...Yuk sarapan dulu” panggil ibuku dari dalam rumah.
Ya, aku, ibu dan ayahku kini kembali kesini, kawan. Pulang dan kembali ke sebuah rumah yang telah tak berkeruan bentuknya, hasil akibat dilahap gelombang hitam pekat berketinggian lebih dari 10 meter itu. Ia menghanyutkan apa saja yang ada di hadapannya. Termasuk rumah kami, tapi beruntungnya hanya atap rumah kami sajalah yang dibawa olehnya. Gelombang itu juga masih sangat berbaik hati dengan meninggalkan satu bagian bangunan penting dari rumah kami hingga kami masih bisa menempati sisa bangunan tersebut bahkan hingga hari ini.
Lain dengan bangunan-bangunan di sekeliling rumahku, seluruh bangunan itu telah raib. Orang-orang yang tinggal di dalamnya pun ikut dibawa juga alias sudah tidak tau lagi dimana rimbanya. Rumah tetangga-tetanggaku itu kini hanya tinggal nama, semuanya rata dengan tanah tak berbekas, yang dapat kita lihat hanyalah tumpukan sampah dan reruntuhan bangunan, hingga barang-barang rongsokan yang dibawa oleh si gelombang hitam itu, berserakan tak berkeruan posisi dan bentuknya.
“Get, Mi!” sahutku dengan bahasa Aceh dari luar rumah kami pertanda mengiyakan ajakannya.
“Ayo cepat sini, sarapan dulu! Setelah sarapan, baru kita lanjut bersih-bersih bagian depan nanti” sambung Ibuku.
“Gak bagian belakang dulu aja, Mi?” Tanyaku sambil melangkah masuk dan hendak mencuci tangan.
“Gak, bagian belakang nanti saja biar dibersihin sama Ayah, sekarang bagian depan dulu kita bersihkan” ujar ibuku seraya sedang mempersiapkan makanan.
Pada prosesnya, kami bertiga adalah termasuk orang-orang pertama yang kembali ke lokasi tempat kami tinggal dulu itu. Sejak peristiwa yang menyedihkan itu terjadi, orang-orang yang tersisa alias selamat dari peristiwa itu belum satupun diantara mereka ada yang berani untuk kembali ke desa atau kembali ke asal daerah tempat tinggal mereka masing-masing. Mereka takut, jiwa mereka terguncang, seperti memiliki satu trauma tertentu atau jika merujuk pada istilah anak-anak jaman sekarang mungkin cocok dengan istilah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu keadaan dimana seseorang merasa tidak nyaman dengan sebuah situasi akibat dari sebuah peristiwa buruk atau momen yang tidak sedap yang pernah terjadi sebelumnya dalam situasi tersebut.
Sementara kami, apakah kami tidak mengalami sindrom tersebut? Jawabannya adalah tentu kami mengalaminya, kawan. Namun, namanya hidup harus tetap terus berjalan atau kembali dengan istilah jaman sekarang yaitu “We have to Move on”. Selain dari pada itu, alasan sebenarnya kami memutuskan untuk kembali adalah karena kami sudah tidak punya pilihan lain lagi. Satu-satunya pilihan yang dapat kami pilih, hanyalah rumah yang kami miliki saat ini yaitu rumah bekas yang telah dihantam oleh gelombang besar itu. Satu-satunya harta yang dimiliki oleh Ibu dan Ayahku kala itu adalah cuma rumah ini. Selebihnya? Perhiasan, surat tanah, dan harta-harta lainya, semuanya telah dibawa hanyut dalam kenangan oleh si gelombang hitam besar itu.
Tentu kalian bertanya-tanya, peristiwa apa itu? Gelombang macam apa itu? Sehingga dapat memporak-porandakan seluruh permukaan di tempat tinggalku. Situasi yang bagaimana? Sehingga dapat membuat orang-orang yang berada dalam situasi tersebut membekas dalam memori otak dan ingatan mereka tentang sebuah peristiwa yang kelam nan menyedihkan. Menyisakan satu momen trautamis yang mendalam, hingga meninggalkan kesan perih tersendiri dalam hidup mereka, bahkan hingga enggan untuk kembali ke momen atau situasi tersebut.
Nanti, akan kuceritakan padamu kawan, sepenggal kisahku tentang masa kelam itu. Masa dimana aku harus kehilangan sahabat-sahabat terbaikku, masa dimana aku juga harus berpisah dengan sanak familiku yang didalamnya juga termasuk dirinya, Adik perempuan kecilku yang begitu kami cintai dalam keluarga kami. Hari itu adalah hari paling menyedihkan dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku menangis dengan sejadi-sejadinya, hingga air mata pun sudah tak mau tumpah lagi. Hari dimana juga aku bingung sekaligus dilema, yang mana aku tak tau harus merasa gembira atau tidak atas keselamatanku dari peristiwa naas itu. Satu hal yang ku tau, bahwa aku masih cukup beruntung, bahkan lebih dari sekedar beruntung, karena atas segala nikmat yang telah dianugerahkan oleh Tuhanku, aku masih bisa berdiri hingga hari ini, bahkan aku masih bisa duduk dengan nyaman seraya menulis cerita ini untukmu, kawan.