Misi Cinta Paling Sulit Sedunia

Muhammad Haikal
Chapter #3

Bab#3 Dalam Kurun Waktu

Taukah kalian apa yang paling dinantikan oleh segerombolan bocah yang usianya berkisar antara 7 hingga 13 tahun, kawan? Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu akan berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Namun, Satu hal yang ku tau, satu hal yang paling dinantikan oleh para bocah di kampungku dulu, adalah malam Takbiran. Entah itu malam takbiran Idul fitri maupun Idul Adha, yang mereka pahami adalah hanya tradiri, sensasi, bahkan ajang uji nyali saat malam itu tiba.

Ya, genap satu bulan sudah bulan puasa kami lalui, tanda-tanda bulan penuh rahmat itu ingin berpisah pun sudah tampak. Hal yang paling ketara dari tanda-tanda itu adalah berubahnya tagline setiap pariwara iklan yang berseliweran di televisi. Dari yang sebelumnya dengan nada mengajak berpuasa, namun pada hakikatnya justru menggoda puasa yaitu iklan-iklan sirup segar. Seketika mendadak berubah menjadi nada perayaan yang selalu diawali dengan kata “Selamat”. Di penghujung hari di bulan Ramadhan juga, biasanya kantor yang mengurusi bidang Agama mulai dari yang paling bawah sampai yang paling tinggi mulai sibuk. Mereka menapaki tempat-tempat tertinggi di suatu daerah guna melihat apakah sang Hilal sudah menunjukkan tandanya bahwa suatu bulan sudah tamat alias habis dan dimulainya awal yang baru, bulan yang baru.

Maka, saat petang sudah mulai melanda langit, saat sang surya hendak pamit dari langit sore terakhir Ramadhan tahun 2004 itu, terdengar dengan seksama sayup-sayup sirine dari masing-masing towa masjid tiap desa. Sebuah pertanda bahwa sudah diperkenankannya berbuka puasa bagi siapa saja yang menjalakannya. Sirine itu juga lah yang menjadi hal kedua yang paling dinantikan oleh bocah-bocah yang ada di kampungku tadi. Karena sirine tersebut adalah Alarm pertama yang menunjukkan bahwa besok sudah tidak puasa, bahwa malam nanti selepas sholat Isya, kami berbondong-bondong ke masjid, bukan untuk melaksana sholat taraweh lagi, melainkan melakukan tradisi itu, merasakan sensasi itu, dan membangkitkan semangat kami dalam memacu adrenalin itu.

Sudah bukan rahasia, bahwa di setiap desa, kota, bahkan ibu kota sekalipun, saat malam takbiran tiba, ada berbagai macam tradisi dilakukan. Salah satunya yang paling umum adalah tentu Pawai takbiran. Namun ibarat kata pepatah, lain ladang, lain pula ilalangnya, lain dikota, lain pula di pelosok desa. Di kota atau bahkan di ibukota biasanya semarak dan meriah dengan pesta kembang api, kadang kala juga anak-anak tak tau aturan biasanya membakar berbagai macam jenis petasan, yang apabila dibakar, salah satunya mengeluarkan suara menggelegar, mengganggu siapa saja, terutama yang menderita sakit gigi malam itu, sudah barang pasti bernasib sial.

Tapi, ada satu hal lagi yang lebih seru dari yang lain. Satu hal ini benar-benar menguji nyali. Hanya orang-orang bernyali paling besar yang bisa melakukannya. Mereka bak orang-orang pilihan yang bahkan siapapun tidak bisa menggantikan mereka. Butuh waktu yang lama untuk bisa bergabung dalam jajaran elit itu. Aku sendiri sudah berupaya dengan sekuat tenaga, mencoba dengan berbagai macam trik dan cara, tapi pada akhirnya, nyaliku ciut, tak bisa berbicara banyak. Membakar meriam bambu atau dalam istilah kami orang Aceh “Toet Budee Trieng”, itulah pekerjaan yang paling seru, paling dinantikan oleh seluruh anak-anak yang ada di kampung kami saat malam takbiran tiba, kawan.

Biasanya, remaja-remaja bersahaja sudah mempersiapkan segala sesuatunya 2 hari sebelum malam takbiran tiba. Mereka bersatu dalam suatu koalisi, membentuk panitia inti, berkumpul dalam satu partai dengan setiap individu mentranfusi dana pribadi dari setiap kantong mereka demi kelancaran acara di hari-H. Menariknya, di beberapa kampung nun jauh disana, para penduduk di kampung tersebut juga ikut andil dalam urusan pendanaan, jadi kesemua persiapan yang akan dilakukan pada malam takbiran mendapat aliran dana dari sumbangan sukarela masyarakat, bukan dari remaja-remaja bersahaja seperti yang ada di kampung kami.

Sesaat waktu berbuka itu tiba, Aku, Ayah dan adik bungsuku yang manis itu pun telah duduk rapi pada posisi kami masing-masing. Memulai dengan doa saat sirine berbunyi dengan lengkingnya dari towa Masjid kampung kami. Setelah berdoa, kami pun mulai menyantap seluruh makanan yang tersaji di atas meja makan. Termasuk si bungku kami itu, walaupun ia hanya berpuasa setengah hari, tapi saat prosesi buka puasa tiba kala petang menjelang, ia tetap tidak ingin ketinggalan. Dengan manisnya, ia selalu duduk di samping Ayahnya. Dari pandanganku sore itu, sore dimana merupakan puasa terakhir di tahun 2004, sungguh tiada yang aneh, tidak ada tanda-tanda khusus yang menyiratkan akan terjadi sesuatu. Adikku kemudian membuka obrolan sore itu dengan...

“Ayah, Ummi kapan pulang?” tanya gadis kecil lugu itu.

“Dek Raihan..., kalau lagi makan gak boleh ngomong!” sahutku menasehatinya.

Ayah kemudian menatap ke arahku, menandakan isyarat untuk tidak boleh berbicara seperti itu kepada adik bungsuku itu.

Neuk, Mimi nanti pulangnya, Adek sayang sama Mimi kan? Kalau sayang berarti harus apa?” ujar Ayah.

“Harus berdoa untuk Ummi” jawab bocah kecil itu spontan.

“Nah, itu tau, dah sekarang makan yang habes! Setelah kita makan, kita sholat Magrib sama-sama, terus kita doa juga sama-sama buat Ummi disana ya, Neuk!”

Gadis kecil itu pun mengangguk seraya melanjutkan melahap makanannya. Ia selalu mendengarkan apa saja yang keluar dari mulut Ayahnya. Sang Ayah pun, selalu dengan panggilan manisnya “Neuk”, baik di permulaan kata maupun di penghujung pembicaraannya. Kata itu sendiri berarti “Anak” yang biasanya sering digunakan oleh orang tua di Aceh untuk mengekpresikan bentuk kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya. 

---OOO---

Perlahan-lahan melangkah, berhati-hati dalam menapak, kalimat itu begitu krusial, Kawan. Puing demi puing tumpah ruah tak berkeruan. Beton-beton besar, tiang-tiang gagah, terkulai lunglai di atas permukaan tanah. Mereka tak hanya berdua, gerombolan seng-seng mulai dari yang berkarat, sampai yang masih dalam kondisi mengkilap semuanya saling tindih menintih. Perkakas-perkakas rumah tangga, bahan pecah belah, pakaian-pakaian, kesemuanya dalam posisi bercerai berai. Kadang kala juga, saat semilir angin berhembus, tercium aroma yang tidak sedap yang ikut terbawa mengikuti serta merta angin tersebut.

Ibuku dengan semangatnya di bagian timur sana sedang maju-mundur membersihkan halaman, atau lebih tepatnya mungkin menyapu tanah di depan rumah kami itu agar dapat terlihat kembali layaknya sebuah halaman. Karena sama halnya seperti yang telah kugambarkan diatas, puing-puing yang bersarang diatas halaman rumah kami itu sudah menutup bentuk seutuhnya dari sebuah halaman rumah. Aku yang disebelah barat pun demikian, mengais tumpukan, merapikan gundukan yang menutup arah jalan menuju ke rumah kami.

Di sela-sela pekerjaan itu, sesekali ku melihat ke arah jalan tempat terakhir ku berdiri itu, semuanya seolah mengingatkanku kembali ke memori itu, saat dimana ku memandang segerombolan orang atau berkelompok-kelompok orang ketika kejadian itu terjadi dalam berbagai macam posisi dan keadaan. Dimana kala itu aku melihat, ada yang berdiri dengan tatapan kosong dan yang mereka yakini hanyalah sebuah kepasrahan. Ada banyak orang yang panik, berusaha memanjat setiap apa saja yang menurut mereka tinggi. Ada pula diantara mereka yang gusar, histeris sejadi-jadinya, berteriak-teriak sekuat tenaga guna meminta tolong. Belum lagi, pemandangan yang begitu miris, terlihat beberapa orang seperti mati suri, mereka dapat berdiri tegak, tapi kehilangan jiwa dan roh mereka akibat syok, kaget melihat sesuatu yang sangat besar, yang mana belum pernah sekalipun mereka melihat sesuatu itu dalam hidup mereka.

Ya, begitulah gambarannya, kawan. Saat kejadian itu terjadi, aku berdiri tepat berada dibelakang rumahku. Di luar rumah, dibalik pintu pagar bagian belakang bersama Ayahku. Suasana saat itu begitu genting, begitu mencekam, tak ada seorang pun yang bisa bersantai, semuanya berlarian, semuanya sibuk berusaha menyelamatkan diri. Jika bisa ku ibaratkan, kami bak pasien pengidap kangker ganas stadium empat yang telah diprediksi kapan hidup kami akan berakhir. Namun, berbeda dengan pengidap kangker ganas itu, mereka mungkin masih memiliki hari demi hari, atau bulan demi bulan untuk bertahan hidup. Sedangkan kami saat itu, hanya dalam hitungan sepersekian menit saja, atau bahkan sepersekian detik, jika tak ada aral melintang, hidup kami lewat. Dipertaruhkan hanya dalam kurun waktu sepersekian itu, bahkan kemungkinan paling fatalnya adalah nyawa kami hilang sekejap alias tamat riwayat dalam waktu secepat kilat.

Tak sekejap mata memandang, hal itu pun benar adanya, saat itu telah tampak di depan mata kami semua, hanya beberapa meter saja dari jarak pandang kami, sesuatu yang begitu besar dan tinggi perawakannya sedang beusaha mengintai kami. Warnanya hitam pekat, suaranya berisik, kecepatannya tinggi, didalamnya tampak berbagai macam isian. Mulai dari benda-benda yang tak bernyawa, hingga mereka-mereka yang bernyawa pun dilahap habis olehnya. Dan dalam sepersekian detik pun, ia kemudian menghantam sesiapa saja yang berada di hadapannya. Sebuah Gelombang besar, itulah yang mengintai dan siap menyerang kami dalam sekejap mata memandang, kawan.

“Tolong, tolong, tolong...!” teriak salah seorang atau bahkan lebih dari seorang hendak meminta tolong.

Lihat selengkapnya