Misi Cinta Paling Sulit Sedunia

Muhammad Haikal
Chapter #4

Bab#4 Malam & Hari Kemenangan Terakhir

Silih berganti, sahut menyahut gema Takbir membahana dari corong-corong towa Masjid. Bak berlomba-lomba dalam bait demi bait di setiap lantunan takbir, sang Imam mesjid dengan sigapnya memimpin, hingga sampai pada suatu tempo tertentu, sang imam berhenti, dan kemudian dilanjutkan oleh para jamaah dibelakangnya menyahuti apa yang dimulai oleh sang Imam.

“Allahu Akbarullahu...Akbarullahu...Akbar. La...Ilaha...Illallahuwallahu...Akbar. Allahu Akbar Wa Lillahilhamd...” mulai sang imam.

“Allahu Akbarullahu...Akbarullahu...Akbar. La...Ilaha...Illallahuwallahu...Akbar. Allahu Akbar Wa Lillahilhamd...” seru jamaah ramai-ramai.

Dari satu masjid ke masjid yang lainnya, semuanya melafadzkan bait ini, maka tak heran malam itu menjadi malam paling ramai di belahan dunia manapun bagi umat Muslim. Di kampungku sendiri, para bocah-bocah dan remaja-remaja bersahaja itu telah bersiap pada tempat dan pos mereka masing-masing. Sebagian diantara mereka yang tidak mengikuti tradisi yang paling menegangkan itu, sudah memulai kesenangan mereka sendiri di malam hari raya, yaitu dengan membakar beragam macam petasan, mulai dari yang berbunyi hingga yang memiliki bentuk cenderung unik seperti kupu-kupu.

Maka, tak heran, kala takbir menggema dimana-mana saat malam hari raya tiba, dari setiap sudut hingga penjuru kota, seluruhnya juga diiringi dengan suara petasan yang menggelegar, kadang kala juga dihiasi dengan suara kembang api yang meluncur ke arah langit yang tinggi dan mengeluarkan warna-warni yang indah bila dipandang oleh mata setiap insan.

Malam Hari-H Membakar Meriam Bambu (Toet Budee Trieng)....

              Langit malam itu begitu terang, selain kemilau kembang api yang tak henti-hentinya berkelap-kelip, pancaran sinar bintik-bintik bintang nun jauh di atas sana juga membuat suasana kian meriah. Ku beranjak menuju lapangan tempat para bocah-bocah dan remaja-remaja bersahaja itu berkumpul, atau lebih tepatnya pos tempat kami biasanya bermain selaku anak-anak. Saat hendak melewati jalan setapak belakang rumahku, Kudapati si bungsu manisku itu sedang asyik bermain kembang api yang memercikkan bintang-bintang panas bersama teman-teman bocah sepantaranya. Dan selalu, seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya bahwa dimana ada si bungsu tentu ada Kak As yang siap sedia mendampingi.

“Kak, adek jalan dulu ya, mau ikot bakar Budee Trieng!” pamitku ke Kak As.

“Iya, awas hati-hati, jangan telat pulang tu, ya!” sahut kak As mengingatkan.

“Bang cut, mau kemana?” tanya si bungsu seraya melihatku hendak pergi.

Dalam mode langkah seribu tak sempat lagi ku menjawab pertanyaan si bungsu, hingga kemudian dengan cepatnya tibalah aku di lapangan tempat kejadian perkara. Suasana kala itu penuh sesak, selain karena memang sudah dipenuhi oleh para eksekutor-eksekutor terpilih, di sana juga terdapat banyak anak-anak muda yang menjadi panitia selaku penanggung jawab acara. Di sisi lain, di sebelah belakang dan juga samping sebelah kanan, berdiri segerombolan muda-mudi yang menjaga jarak. Tujuan mereka hanya satu, menyaksikan prosesi menegangkan itu. Bagi mereka itu adalah sebuah tontonan yang seru, tapi bagi kami selaku orang yang berada dibalik layar pementasan itu adalah merupakan ajang uji nyali, menantang diri sendiri, bahkan mungkin memicu urat syaraf adrenalin dalam tubuh kami.

Corong-corong meriam bambu itu pun telah siap terbentang dan berjejer dengan rapi, semuanya berjumlah lima meriam malam itu. Mereka berbentuk lingkaran yang memiliki panjang hampir dua meter, diameter lingkarannya bervariasi, mulai dari 20 cm hingga sampai 30 cm. Di kedua sudut meriam terdapat dua lubang yang memiliki fungsi yang berbeda, sudut lubang yang rendah adalah tempat dimana para eksekutor bersiap mengambil posisi untuk membakar, sedangkan sudut yang satunya lagi adalah tempat dimana suara menggelegar yang disertai dengan percikan api muncul mengejutkan dari dalam lubang itu. Dari kelima meriam itu, setiap meriam telah mendapatkan tuan mereka masing-masing.

Maka, tanpa ambil tempo panjang, dimulai lah malam festival meriam bambu itu, malam yang sejatinya bertepatan dengan malam penuh kemenangan bagi umat Muslim. Satu persatu meriam diledakkan, karena sudah menjadi aturan, bahwa setiap meriam akan mendapatkan giliran masing-masing saat hendak diledakkan, jadi tidak dalam kondisi bersamaan alias ketika Eksekutor pertama telah mulai membakar, lalu kemudian meriam itu meledak dan mengeluarkan suara yang dapat memekikkan gendang telinga, maka giliran eksekutor yang lain disampingnya yang bertugas selanjutnya.

Para eksekutor itu biasanya berada dalam posisi tiga orang, satu orang yang membakar, dua yang mendampingi guna membantu jalannya proses pembakaran degan lancar. Dan malam itu, sejatinya aku bertugas menjadi pendamping yang membantu para eksekutor dalam melaksanakan tugasnya. Hal itu terjadi, karena seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, bahwa nyaliku belum cukup kuat untuk dapat menjadi seorang eksekutor. Sesaat setelah meriam telah dibakar, sejurus kemudian para eksekutor ini mundur satu langkah seraya menutup telinga mereka agar terhindar dari suara letupan gila meriam itu. Sementara para pemirsa muda-mudi tadi itu justru sebaliknya, penuh dengan sorak sorai, tak sedikit diantara mereka yang kemudian bertepuk tangan atas setiap suara letupan meriam yang dahsyat.

Lihat selengkapnya