Sang surya menghampiri langit bagian timur Banda Aceh, sinarnya mulai menyinari setiap ruang-ruang sesak perumahan se-kecamatan yang ada didalamnya, salah satunya Kecamatan Kutaraja. Kecamatan satu ini terdiri dari beberapa desa, dimana kemilau sinar sang surya tadi juga ikut melewati kaca demi kaca setiap jendela rumah warga Desa Gampong Jawa yang merupakan salah satu desa yang ada didalam kecamatan tersebut. Udara sejuk pagi menyisir setiap rongga-rongga jalan, terdengar sayup-sayup suara manusia dari setiap corong masjid mengalunkan sesuatu.
1 Syawwal adalah tanggal pada hari itu. Hari dimana umat muslim merayakan kebahagiaan mereka bersama sanak keluarga. Gema takbir membahana gegap gembita, perkakas-perkakas rumah tangga berdenting-denting dibawah kemudi ibu rumah tangga. Mereka biasanya sudah dengan sigapnya terbangun dari tidur mereka kala pagi buta, guna mempersiapkan berbagai macam hidangan sebagai menu sajian di hari Raya. Para bapak-bapak biasanya sebagian telah berangkat ke Masjid guna melantunkan takbir kemenangan setelah sholat subuh usai, sementara sebagian lainnya, kembali ke rumah guna mempersiapkan seisi rumah. Sementara ana-anak mereka, para bocah-bocah ini biasanya sudah dalam keadaan rapi berbalutkan pakaian baru, berjalan dalam gerombolan melewati jalan setapak menuju ke arah Masjid terdekat.
Sama halnya dengan keluarga kami, Kak As sedang sibuk dengan rutinitasnya di dapur, sedangkan si bungsu manisku itu masih terlelap di dalam kamarnya. Ayahku sedang bersiap dengan kemeja koko putih bersih guna dipakainya menuju sholat Ied yang sekaligus nantinya mengemban tugas menjadi Imam Sholat Hari Raya pada hari itu. Sementara aku masih di dalam kamar mandi dengan rutinitas dan kewajibanku biasanya di pagi hari.
Lagi dan lagi, kembali tidak seperti biasanya dapur kami saat pagi menjelang sholat Ied biasanya telah riuh dan sibuk dengan rutinitas masak-memasak yang dikomandoi oleh ibuku. Namun, di hari raya kali ini terasa berbeda, karena sang komando sedang tidak berada di tempat alias sedang ada kesibukan di luar daerah. Maka, seluruh tugas itu kini diambil alih sementara oleh Kak As, pengasuh sekaligus kakak kami yang baik hati itu. Umurnya memang sudah sedikit senja untuk ukuran seorang gadis, namun tenaganya? Jangan ditanya, ia cukup kuat dan sangat begitu membantu dalam segi tenaga bagi ibuku dalam memenuhi urusan kebutuhan rumah tangga.
Dengan postur tubuh yang cenderung beisi itu, ia terbiasa dengan seluruh pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci piring, mencuci baju, menyetrika, memasak, hingga mengasuh si bungsu dalam satu waktu bersamaan, semuanya khatam dikerjakan dengan rapi nan efisien. Satu hal yang membuat ibuku merasa sedih kala melihatnya adalah hingga usianya yang telah melebihi angka kepala tiga itu, ia belum menemukan jodoh yang menjadi pujaan hatinya. Disaat orang-orang yang sebayanya sudah ramai-ramai mengasuh dan merawat anak-anak mereka sendiri, ia justru masih mengurusi kebutuhan rumah tangga orang lain serta merawat dan menjaga anak orang lain pula.
“Dek Raihan mana, kak?” tanyaku kepada As sesaat setelah keluar dari kamar mandi.
“Si Adek masih tidur di kamar. Gak pa pa! Abang Cut, pergi sholat aja, si Adek biar kakak yang jagain.” jawab Kak As seraya mengaduk-ngaduk isi dalam panci.
Ya, semua orang dalam keluargaku ini memanggilku dengan sebutan “Abang Cut” yang berarti “Abang Kecil”, yang apabila dirujuk dalam istilah orang Aceh adalah sebuah panggilan bagi seorang kakak laki-laki nomor dua, atau anak tengah, atau dengan kata lain bukan Kakak/Abang tertua alias anak sulung. Lebih jelasnya, aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Lantas tentu Ibu, Ayah, Abang, si Bungsuku itu, hingga orang-orang dalam keluargaku secara otomatis semuanya memanggilku dengan sebutan tersebut.
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Kami infokan kepada seluruh warga desa Gampong Jawa, Agar segera beranjak menuju ke Masjid. Karena sholat Idul Fitri kita hari ini Insya Allah akan dilaksanakan pada pukul 07.30 WIB. Jadi bagi siapa saja yang masih di rumah, di jalan, atau diluar perkarangan Masjid, agar segera dapat masuk ke dalam Masjid, dan mengisi Shaf yang kosong terlebih dahulu, Terima kasih.” seru seseorang dari Towa Masjid.
Allahu Akbarullah...hu Akbarullahu...Akbar...Laa Ilaha Illallahuwallahu...Akbar.” Lanjut seseorang yang lainya dari towa tersebut disambut dengan suara ramai setelahnya.
Jarak Masjid dengan rumah kami memang tidak begitu jauh, cukup dengan waktu lima menit saja dengan berjalan kaki, sehingga apapun aktivitas yang dilakukan di mesjid yang menggunakan Mic dapat terpancarkan langsung melalui towa dengan suara yang sangat nyaring. Suara tadi biasanya memang berlaku di setiap acara-acara atau peristiwa-peristiwa penting yang berlangsung di Masjid kami. Dan orang yang punya kuasa terhadap hal itu tentu hanya Pak Geusyik alias Kepala Desa yang senantiasa mengumumkan segala hal yang penting untuk diumumkan melalui Microphone yang langsung dapat terpancarkan melalui towa dan dapat didengar langsung pula oleh seluruh warga desa.
Waktu pun berlalu, sesaat setelah sholat Ied selesai ditunaikan, dimana Ayahku mengambil perannya yakni sebagai orang yang memimpin sholat Ied pada hari itu. Sejurus kemudian, setelah menyelesaikan rentetan yang menjadi rukun Sholat Ied, seluruh warga dan jamaah di dalam Masjid lanjut melakukan tradisi salam-salaman sesama jamaah seraya melantunkan Shalawat. Setelah semua prosesnya selesai, kami pun kembali ke rumah masing-masing guna menyantap berbagai macam hidangan khas lebaran yang telah dipersiapkan sedari kemarin hari. Tradisi Hari Raya itu kemudian berlanjut ke halal bi halal, berkunjung ke rumah sanak famili, biasanya dimulai dari yang paling muda yang berkunjung terlebih dahulu ke rumah mereka yang dalam hal ini orang-orang yang lebih dihormati dan dituakan dalam sebuah keluarga.
Dan begitulah selanjutnya hari berjalan, biasanya kami menghitungnya sebagai nomor dalam sebuah hari seperti Hari Raya ke-1, Hari Raya ke-2, Hari Raya ke-3, dan seterusnya. Dari setiap nomor hari tersebut, semuanya memiliki runititas dan kesibukan yang berbeda. Hari pertama biasanya disibukkan dengan wara-wiri menghampiri seluruh keluarga dekat yang berada dalam satu kota atau diluar daerah namun tidak terlalu jauh. Hari ke-2 kemudian berlanjut, dimana bocah-bocah sepantaranku sudah sibuk dengan ajang adu gengsi di pasar, yaitu berbelanja dengan uang saku kami yang tak seberapa itu, hingga kemudian mendapatkan aneka mainan seperti Pistol-pistolan, Tamiya, Gasing-gasingan, dan kawan-kawannya. Hari ke-3 dan selanjutnya barulah berkunjung ke tempat kerabat atau famili jauh, alias keluarga yang tidak punya hubungan langsung dengan keluarga inti, kadang kala juga biasanya dihabiskan untuk bercengkrama dengan sahabat, teman-teman yang belum sempat ditemui saat Hari Raya pertama.
Selang beberapa hari setelah Hari raya, waktu seolah berlalu sangat cepat, tanpa terasa riak-riak Hari raya pun mulai padam, maka tibalah kami kembali ke rutinitas harian masing-masing yaitu yang bekerja ya kerja, yang sekolah ya sekolah. Ayahku sendiri kembali ke kesibukannya dalam mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebagai Guru Sejarah. Aku dan si Bungsu manisku itu kembali ke rutinitas kami sebagai bocah, menjadi murid dari Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak. Ayahku setiap paginya berangkat menggunakan sepeda motor khasnya Astrea Prima ke sekolah. Sedangkan Aku seperti biasanya juga menggunakan Sepeda BMX klasikku, yang sejatinya sepeda warisan dari Abang sulungku, sekaligus mendapat tugas tambahan pada hari itu dengan membonceng si bungsuku ikut berangkat ke sekolah yaitu Taman kanak-kanaknya. Karena sekolah kami sejatinya berseblahan seperti yang telah ku sampaikan sebelumnya, maka atas dasar itulah aku kemudian mengemban sebuah tugas mulia sebagai seorang kakak.
Setiap paginya, aku dan adik bungsuku itu keluar dari jalan lorong area rumah kami menuju jalan raya yang menjadi jalan utama untuk bisa sampai ke sekolah. Aku di kemudi, si bungsuku itu kadang kala di depan di atas batang besi sepeda, kadang kala juga berdiri dibelakang, diatas pedal yang khusus dirancang untuk mode berboncengan. Setiap harinya, saat sang surya mulai menunjukkan batang hidungnya, kami arungi jalan raya yang ramai dengan kendaraan itu dengan penuh riang gembira. Kadang kala, kami berbincang-bincang, bersenda gurau, hingga bernyanyi bersama. Meskipun terkadang aku adalah seorang Abang yang sangat usil terhadap adiknya, namun di dalam hatiku, aku sangat yakin bahwa Adik bungsuku yang manis itu sangat menyayangi Abang tengahnya yang satu ini.
Hal itu bisa dibuktikan dengan rutinitas antar-mengantar itu, dimana sejatinya bukanlah mutlak menjadi tugasku. Kadang kala saat Ayahku sedang tidak diburu waktu, beliau lah yang mengantarkan Adikku itu. Namun, karena sudah cenderung sering berangkat denganku, si bungsu manisku itu kemudian justru lebih memilih untuk diantarkan ke sekolahnya oleh diriku, ia lebih memilih dibonceng naik sepeda, lebih memilih duduk diatas batang besi atau berdiri dibelakang, ketimbang diantar oleh Ayahku dengan Motor yang tentunya lebih nyaman.
Hal lainnya lagi yang dapat membuktikan bahwa ia sangat menyayangiku adalah saat dimana aku tiba di rumah seusai pulang dari sekolah, si bungsuku itu menyambutku dengan penuh suka cita. Ya, karena jam sekolah Anak TK dan Anak SD tentu berbeda, Adikku yang TK biasanya sudah ada di rumah dengan tertib saat jam istirahat pertamaku, sementara aku baru sampai di rumah saat matahari sedang terik-teriknya, yaitu saat matahari sedang berada tepat diatas kepala.