Suhu sejuk mengitari seisi ruangan, kadang kala pelan-pelan angin itu kemudian bertiup memenuhi seluruh isi ruang, menerbangkan helai demi helai tirai jendela besar yang sedari tadi mengayun dari naik lalu kemudian turun kembali. Dalam ruangan tersebut, tampak seorang wanita terduduk memerhatikan seorang wanita lainnya yang terbaring diatas tempat tidur. Wanita yang duduk di tepi ranjang itu terlihat setengah baya, sedangkan yang terbaring diatas tempat tidur itu merupakan wanita lanjut usia. Ia terlihat seperti orang yang paling dihormati, paling disayangi dalam keluarga itu, dimana kala itu wanita lanjut usia tersebut sedang terpejam matanya, terbaring seraya terlelap dalam tidurnya yang pulas dengan ditemani oleh seseorang wanita yang lain.
Lama waktu berjalan, saat wanita paruh baya itu terpaku pada tempat duduknya, menemani lelapnya tidur sang wanita lanjut usia itu hingga sejurus kemudian, tiba-tiba pintu terbuka deras oleh seseorang tanpa ketukan terlebih dahulu.
“Oma...oma, Oma?” seru Safiya seraya menyeruduk masuk membuka pintu buru-buru.
“Sssst...sstttt..ssstttt” wanita paruh baya itu memberi isyarat dengan telunjuk di depan mulutnya.
Safiya terkejut, lalu bergegas merubah gerak-geriknya dengan mengendap-ngendap perlahan masuk mendekati perempuan paruh baya itu.
“Ma, Oma kenapa? Oma gak pa pak kan? Tanya Safiya berbisik pelan seraya memandang wanita lanjut usia itu.
“Udah, udah! Oma gak pa pa. Kamu kok lama sekali pulangnya? Acara di tempat Maya, udah selesai dari tadi kan?”
“Iya, udah dari tadi! Tapi tadi Safiya...” belum tuntas Safiya berbicara.
“Udah, sssttt....! Jangan ribut, nanti Oma keberisikan, kita bicara di luar aja biar Oma bisa istirahat. Yuk keluar...” ajak wanita paruh baya itu.
Safiya kemudian terus memandangi wanita lansia yang terbaring dan terlelap diatas tempat tidurnya itu, sebelum akhirnya perlahan keluar mengikuti ajakan sang wanita paruh baya itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri yang ia begitu sayangi.
Kedua wanita itu lalu duduk dan berbincang-bincang di suatu ruangan luas yang membentang, dimana berposisi di tengah-tengah rumah besar dan megah itu. Iya, Safiya ini adalah anak dari orang berada, kawan. Rumahnya besar membentang hingga lebih dari satu hektar luas tanahnya. Ayahnya adalah seorang Pengusaha sukses yang bergerak di bidang properti. Sedangkan ibunya, adalah orang yang mendorongnya untuk bisa menempuh jenjang perguruan tinggi pada jurusan kedokteran. Hal itu terjadi karena Ibunya adalah seorang dokter juga, dalam hal ini dokter speacialis, atau lebih tepatnya specialis kulit dan bedah plastik.
“Kamu dari mana aja sih Nak, kok baru pulang?” mulai sang ibu.
“Iya Mah, maaf. Tadi habis pesta, Fiya ngobrol-ngobrol dulu sama temen-temen, trus waktu Mama telfon tadi, Fiya langsung buru-buru pulang. Cuma ya, tau sendiri Jakarta!?” Safiya menjelaskan.
“Hmm, makanya lain kali kalau sudah selesai acara, langsung pulang. Tadi Oma jatuh di kamar mandi, dan untung...”
“Ya Ampun, kok bisa sih, Mah? Emang Oma gak minta tolong sama Mama gitu atau sama Mbak gitu kalau mau keluar kamar" Potong safiya penjelasan ibunya.
“Ya tadi enggak, untung Oma gak cidera parah, karena jatuhnya lumayan keras padahal.”
“Ya begitulah Oma, ia gak mau nyusahin orang lain selama masih bisa dilakuin sendiri”
“Ya gak gitu, maksud Safiya kan kenapa Oma gak manggil Mama atau mbak gitu, biar bisa megangin, biar gak jatuh. Oma kebiasaan sih, selalu gitu.”
“Udah, udah, jangan nyalahin Oma! Lain kali makanya kamu, kalau pergi-pergi, jangan terlambat pulangnya! Kalau udah gak ada urusan lagi, ya pulang langsung lah, Nak.”
“Iya, Mah. Iya! Lain kali nanti Safiya akan usahakan langsung pulang kalau udah gak ada urusan lain lagi. Safiya gak mau terjadi apa-apa sama Oma” ujar Safiya khawatir.
“Nah gitu donk! Itu baru namanya anak Mama. Yaudah, kamu ke kamar gih! Ganti baju, bersih-bersih! Itu dandanannya udah pada luntur, gak cantik lagi kelihatannya”
“Enak aja mamah ini, Aku cantik tau, kan nurun cantiknya dari mama”
“Iya deh, iya. Kamu cantik, sayang. Yaudah ya, Mama mau ke kamar dulu” ujar sang ibu.
Safiya masih terduduk diatas sofa, memikirkan sesuatu hal yang memenuhi isi kepalanya. Ia adalah tipikal wanita pemikir hebat, segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya, semua hal yang ia hadapi dalam hidup, ia pikirkan masak-masak. Tak sedikit pun ia melewatkan segala kemungkinannya, ia begitu detail, teliti dan cermat. Tak ada ruang kosong untuk pengecualian, tak ada pula ruang untuk kekeliruan, seluruhnya rapi dan terukur.
Pemikiran dan sikapnya itu ia dapatkan dari didikan kedua orang tuanya yang belatar belakang seorang pengusaha dan dokter. Ia belajar ilmu pasti, mewarisi kepintaran Ayahnya yang handal dalam urusan statistik hitung-menghitung. Ia pandai dalam menyimpulkan dan memutuskan sesuatu, karena mewarisi sifat dari ibunya yang seorang dokter. Kedua orang tuanya begitu padu, beriringan, saling bahu-membahu sejak muda, sejak mereka memulai hidup bersama sebelum memiliki apa-apa, hingga kelak dikemudian hari bertransformasi menjadi keluarga yang kaya raya.
Sejatinya, keluarga ini memang keluarga yang berkecukupan, bahkan bisa dibilang keluarga yang berlimpah harta dan kekayaannya. Oma Safiya, ibu dari bapaknya Safiya yang juragan properti itu adalah istri dari seorang Tuan tanah, harta tak bergerak milik keluarga itu begitu besar asetnya, tanah mereka membentang dengan luasnya di berbagai daerah. Namun, Ayah Safiya memilih untuk meninggalkan itu semua, ia memilih untuk tidak menerima priviledge tersebut, ia lebih suka berdikari, berdiri diatas kakinya sendiri dalam membangun bisnis yang ia juga dirikan sendiri.
Singkat cerita, Ayahnya membuktikan hal tersebut dengan kesuksesannya mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Ia memulai semuanya dari bawah, bahkan ketika hendak menikahi ibunya Safiya, ia belum memilki apa-apa. Namun, pada akhirnya cinta lah yang berbicara banyak. Ibu Safiya, yang notabene nya juga berasal dari keluarga terpelajar, yaitu keluarga dokter, jatuh hati kepada Ayahnya yang pekerja keras itu. Ia terpukau dengan keuletan dan kerja keras yang dilakukan oleh Ayah Safiya, yang memulai semuanya dari nol, tanpa embel-embel dan bayang-bayang keluarganya yang kaya raya.
Kembali ke Safiya yang sedang termenung itu, dalam pikirannya, ia tampak sedang memikirkan tentang apa yang terjadi di pesta pernikahan tadi, yaitu saat matanya bertemu, berpas-pasan dengan mata seorang pria yang bernama Hafiz itu, seorang pria yang telah mengusik sanubari dan bagian yang terdalam di dalam hatinya. Layaknya seorang wanita, Safiya seperti merasakan perasaan yang janggal untuk pertama kalinya, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hatinya berdebar-debar sangat kencang kala memandangi pria itu. Pikirannya tak bisa berfikir dengan jernih saat menatapnya, ia seolah terus dihantui dengan berbagai macam rasa dan perasaan di dalam hatinya. Pikiran itu kemudian membawanya masuk jauh kedalam lamunannya kala duduk di atas sofa itu.