Misi Cinta Paling Sulit Sedunia

Muhammad Haikal
Chapter #7

Bab#7 Satu Cinta, Dua Sayang, Tiga Keyakinan

Hari berganti hari, bulan demi bulan terlewati, dan tahun pun juga demikian. Meski tak lama tahun 2004 itu berjalan pasca bencana yang terjadi, tapi tanpa dirasa dan tanpa diduga hari-hari setelah memasuki tahun baru 2005 itu juga terasa begitu singkat. Singkat dalam hal pencarian seluruh keluarga yang hilang bagi mereka yang ditinggalkan. Waktu seolah tidak memberi ruang sedikitpun bagi mereka, guna dapat mencari seluruh sanak famili mereka yang hilang seraya menunggu kabar dan titik terang dari keberadaan anggota keluarga mereka yang hilang itu.

Desember 2006, tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Setelah melewati genap hampir dua tahun sejak musibah gempa dan Tsunami melanda negeriku ini, perlahan demi perlahan kondisi mulai kembali berjalan membaik. Jalan-jalan beraspal yang sebelumnya telah tidak tampak akibat genangan dan tertimpa berbagai macam puing reruntuhan kini mulai terlihat kembali seperti sedia kala, listrik yang sebelumnya masih sangat langka sama seperti saat jaman penjajahan dulu, kini ia telah kembali dapat beroperasi memasuki wilayah-wilayah yang terkena dampak berat dari amukan ombak Tsunami itu.

Perkarangan dan halaman di sekitar rumah kami pun telah mulai tampak kembali menjadi seyogyanya perkarangan dan halaman. Walaupun masih banyak genangan air, reruntuhan-reruntuhan bangunan yang besar nan berat yang masih tersisa disana-sini. Beberapa warga desa juga sudah mulai kembali ramai menempati rumah atau lebih tepatnya sisa-sisa tempat tinggal yang mereka miliki. Bau-bau yang tidak sedap pun sudah lama menghilang, dimana hal itu terjadi karena begitu bencana besar itu usai, tibalah bala bantuan dari berbagai macam arah, dari banyak pihak, bahkan hingga armada khusus yang didatangkan dari dunia international juga langsung ikut turun tangan guna membantu jalannya pemulihan pasca terjadinya bencana.

Hampir seluruh Negara-negara besar hingga Negara-negara kecil ikut berpartisipasi dalam mengambil peran dan berkontribusi apapun yang mereka bisa berikan. Negara-negara besar nan maju kala itu mereka memfokuskan diri dalam proses evakuasi seluruh korban yang terdampak dan dimulai sejak hari pertama kejadian yaitu pada tanggal 26 Desember 2004, dimana saat itu telah tiba di Aceh beragam macam armada tentara, relawan, hingga pasukan khusus yang ditugaskan untuk langsung terjun ke tempat kejadian. Mereka bekerja sama dengan seluruh pasukan Aparat Nasional dalam mengevakuasi seluruh korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah tidak terselematkan. Seluruhnya dievakuasi ke tempat dan titik-titik posko penyelamatan.

Negara-negara kecil dan berkembang juga ikut ambil bagian, banyak juga diantara mereka yang berkontribusi pada bantuan logistik, dimana kala itu begitu sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang terdampak. Bahkan sangking dibutuhkannya bahan-bahan logistik itu, tak sedikit masyarakat yang berbuat anarkis karena bantuan-bantuan yang tiba kala itu bertahap, tidak langsung berangsur-angsur, dimana dalam hal ini tidak sesuai antara Demand dan kebutuhannya di lapangan. Namun, pada akhirnya segala sesuatunya berangsur-angsur pulih dan berjalan seperti sedia kala, dimana telah banyak juga Negara-negara lain yang ikut berkontribusi dalam memberi pertolongan.

Bantuan dari pemerintah pusat juga tak kalah hebatnya, sejak hari pertama pasca kejadian, pemerintah telah menyatakan dan menayangkan hampir di seluruh stasiun TV berita tentang musibah yang menjadi bencana Nasional yang telah melanda Aceh. Bantuan seperti obat-obatan pun langsung didatangkan dari ibu kota guna dapat dipergunakan langsung oleh para korban, baik yang terluka parah, maupun yang mengalami luka ringan di hari pertama pasca kejadian.

Selain negara-negara besar seperti Amerika, barisan negara di Asia, Negara-negara bagian timur yang terkenal dengan penghasil minyak juga ikut ambil bagian, mereka menggelontorkan dana besar-besaran dalam memberi bantuan Rumah bagi warga yang kehilangan rumah mereka. Pun begitu juga, sebagian dari negara-negara di Eropa seperti Inggris juga turut memberikan bantuan berupa rumah bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal. Termasuk rumah kami yang telah hancur dan hilang atapnya akibat dibawa oleh ombak besar itu. Kami mendapatkan bantuan berupa rumah Panggung alias rumah Adat Aceh dari Badan Amal Kemanusiaan Internasional bernama "Muslim Aid", sebuah Organisasi Non-pemerintah Internasional Islam yang berbasis di Inggris.

Jauh sebelum bantuan itu diberikan, kami sebenarnya telah tinggal di banyak tempat pasca kejadian. Menumpang di rumah saudara, bahkan sempat pulang ke kampung halaman, atau lebih tepatnya ialah kampung dimana Ayah dan ibuku berasal nun jauh disana. Selain karena harus mendapat tempat tinggal, tujuan dari kami berpindah-pindah tempat itu adalah agar dapat sekaligus mencari sanak saudara yang masih hidup, atau juga guna menemukan jasad jenazah anggota-anggota keluarga kami yang telah tiada. Ayahku dan beberapa saudaranya telah berpergian setiap harinya selama kurun waktu hampir 1 tahun lamanya pasca kejadian, guna mencari informasi yang ada kaintanya dengan keluarga kami.

Setiap ada informasi yang datang ke telinga keluarga kami kala itu benar-benar sangat berharga. Sedikit saja informasi yang mencirikan atau mempunyai kesamaan jenis dan perawakan yang sama dengan salah satu anggota keluarga kami, maka disetiap itu pula Ayahku bergerak menyusuri daerah atau tempat yang menginformasikan tentang data seseorang yang terkait tersebut. Hampir lebih dari belasan tempat telah disisir dan dicoba oleh Ayahku dalam proses pencarian, tapi dari semua tempat-tempat itu tidak ada hasil yang menunjukkan adanya korban yang berasal dari keluarga kami alias hasilnya masih nihil tanpa ada keterangan, tanpa ada kejelasan yang jelas tentang keberadaan sanak famili kami.

Meskipun pencarian itu belum membuahkan hasil, dimana setelah proses pencarian yang tak berkesudahan itu berlalu. Saat kami telah kembali ke rumah, atau lebih tepatnya di sela-sela pasca musibah itu, Ayahku masih tetap terus mencari dan mencari. Setiap ada informasi sekecil apapun itu yang ada kaitanya dengan keluarga kami, ia langsung bergegas ke sumber informasi tersebut. Hal itu terjadi juga karena terpicu oleh keyakinan dari sang istri alias keyakinan ibuku tentang keberadaan salah seorang keluarga kami.

Ya, sebuah keyakinan, kawan. Lebih tepatnya keyakinan seorang Ibu pada anaknya. Dimana pada tahun 2006 itu, bahkan juga berlanjut hingga hari ini, jauh didalam hatinya, ia masih merasa sangat yakin bahwa salah seorang anggota keluarga kami yang ia sayangi dalam hidupnya masih hidup hingga hari ini. Ia bahkan akan memelihara keyakinan itu sampai kapan pun juga, tak ada sedikit pun keraguan di dalamnya, ia akan tetap setia menunggu hingga waktu pada akhirnya akan mempertemukannya dengan salah seorang anggota keluarga kami yang hilang itu.

Ketidakraguan yang ada dalam hatinya itu bahkan bukan hanyalah sekedar firasat, layaknya firasat seorang ibu yang begitu kuat kata orang-orang. Perasaan itu adalah sebuah keyakinan yang amat sangat kuat menjelma di dalam hatinya. Setiap harinya pasca kejadian, setelah ia pulang dari tanah suci Mekkah guna melaksanakan ibadah Haji pada tahun 2004 yang mana juga bertepatan dengan musibah bencana besar itu, ia sangat begitu yakin bahwa salah seorang dari anggota keluarga kami yang tak lain adalah Putrinya yang bungsu itu masih hidup hingga hari ini dan berada di suatu tempat antah berantah nun jauh disana. Keyakinan itu bahkan terus ia yakini hingga ku mulai melanjutkan sekolahku dari Sekolah Dasar (SD) pasca kejadian lalu melanjutkan studiku dengan pindah ke salah satu Pesantren di Jawa Timur, bahkan hingga di kemudian hari saat aku sudah beranjak dewasa dan telah bekerja di Jakarta seperti saat ini, keyakinan di dalam hatinya itu tak kunjung hilang, luntur nan pudar walau dimakan oleh waktu, kawan.

“Dek, coba Adek Raihan masih ada, mesti Mimi gak bakalan sendirian, mesti Mimi gak akan merasa kesepian seperti ini?" ujar sang ibu sedih.

Perkataan itu muncul pertama kali ketika aku hendak berangkat ke Pesantren di Ponorogo, Jawa Timur dulu, guna melanjutkan studiku setelah tamat dari SD. Malamnya, saat aku sedang mengepak-ngepak barangku dalam tas jinjing besar untuk digunakan sebagai bekal dan persiapan hidup di Pesantren yang berbasis asrama dan jauh di luar daerahku, ibuku yang dalam usahanya membantuku merapikan barang, tak henti-hentinya ia berbicara guna mengekspresikan kesedihannya yang akan ditinggal oleh satu-satunya anak yang tinggal dan berada dirumah waktu itu.

Ya, jauh sebelum aku disekolahkan ke Pesantren di Jawa Timur itu, Abangku yang sulung itu telah memulainya terlebih dahulu, bahkan jauh sebelum musibah Tsunami itu terjadi. Kini setelah musibah itu terjadi, maka aku yang mendapat giliran untuk berangkat, dan dalam kondisi dimana Adik bungsuku yang manis itu telah tidak berada di rumah alias hilang dibawa ombak hingga tak tau dimana rimbanya sampai dengan hari ini. Maka, atas dasar itulah ibuku bersedih sekaligus merasa kesepian karena harus ditinggal dan berpisah dalam kurun waktu yang lama dengan seluruh anak-anaknya yang ia cintai itu.

“Tapi kan Dek, gak tau kenapa, Mimi yakin.....sekali, sangat yakin malah. Dek Raihan itu masih hidup, dia itu selamat dari musibah itu” lanjut ibuku yang merindukan anak bungsunya itu.

“Mi, udah cukup mi, udahlah. Yang udah terjadi harus kita terima, yang berlalu biarlah berlalu, Mi” balasku ke ibu.

Lihat selengkapnya