Panas terik matahari membumbung tinggi dari atas langit, suara tapak demi tapak sepatu menyeruak dari atas aspal yang memancarkan kilau-kilau panas yang membakar. Pasukan putih abu-abu menyelimuti setiap orang yang lalu lalang diatas badan jalan. Mereka bak semut yang sedang beroperasi, beberapa diantara mereka ada yang bergerombol, beberapa diantara mereka berada diatas tunggangan sepeda motor yang berisik, ada pula beberapa diantaranya yang berdiri sendiri menangah ke kanan dan ke kiri guna mencari sesuatu. Mereka yang bergerombol dipenuhi dengan obrolan, senda tawa, hingga berjalan dengan khitmatnya. Sedangkan mereka para penyendiri, sesekali setelah melongok ke sana kemari, seketika kemudian menatap layar Hp mereka dengan penuh kekhusyukan.
Nun jauh disana, di seberang jalan depan perkarangan Sekolah Menengah Atas, tampak seorang wanita yang termasuk di dalam barisan yang penyendiri itu, ia sibuk menggegam hpnya sambil sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak lama ia berdiri disana, sebuah mobil menghampiri dirinya hingga sejurus kemudian ia masuk kedalamnya dan mobil itu serta merta berangkat dan hilang dari permukaan. Perempuan itu adalah Safiya, anak perempuan dari kedua orang tua yang terpelajar. Hidupnya begitu monoton, pergerakannya begitu dinamis, semuanya teratur dan terjadwal rapi.
Pulang sekolah sesaat ia telah sampai di rumah, Safiya hanya memiliki waktu sebentar saja untuk beristirahat. Ia tak punya waktu untuk berleha-leha, santai-santai, apalagi untuk sekedar tidur siang. Jadwal padat telah menanti dirinya, dimulai dari setelah selesai jam santap siang. Pada jam itu, ia telah dijadwalkan sudah harus berhadir memasuki kelas bimbingan belajar (Bimbel). Tipikal anak-anak orang berada dan terpelajar, dimana les saat siang hari hingga berlanjut pada sore harinya adalah merupakan rutinitas yang tak asing bagi mereka. Dan begitulah apa yang terjadi pada Safiya setiap harinya, mulai dari ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMP) hingga bangku SMA. Setiap hari dalam hidupnya hanya dipenuhi dengan belajar, belajar, dan belajar.
Bahkan di hari Minggu, dimulai dari pagi hari yang menjadi rutinitas keluarganya berangkat ke Gereja guna beribadah, kesibukkan Safiya kemudian terus berlanjut, dimana seusai beribadah di gereja, Safiya meneruskan aktivitasnya dalam belajar dengan mengikuti berbagai macam pelatihan dari Guru-guru Privat di rumah. Adapun materi pelajarannya, di mulai dari les piano, hingga les privat khusus pada bidang studi tertentu seperti Matematika, Fisika, dan beragam ilmu pasti lainnya. Hal ini sudah dibiasakan oleh kedua orang tuanya, dan Safiya pun tak pernah menolak akan hal itu.
Kedua orang tua Safiya mendidik dirinya dengan penuh kasih sayang, dan bentuk terbaik dalam sebuah kasih sayang bagi mereka adalah dengan memberi seluruh fasilitas pembelajaran yang baik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan, mereka mendukung Safiya hingga seratus persen. Bahkan dalam hal seni pun, selama itu baik dan memiliki nilai penting dalam hidup Safiya, Ayah dan ibunya tak segan-segan untuk memberi fasilitas tersebut untuk dirinya. Bagi beberapa orang mungkin itu membosankan, tapi bagi Safiya itu adalah hari-hari yang sangat menyenangkan untuk dilakukan oleh dirinya, yakni bisa bergerak dinamis tanpa henti, tanpa harus memikirkan apa lagi dan lagi yang harus dikerjakan setelah satu pekerjaan selesai.
Meski terkesan memaksa dan mendoktrin, Ayah dan ibu Safiya sejatinya tak pernah memaksakan Safiya untuk bisa sesibuk itu. Mereka hanya memberi pilihan, mengarahkan minat dan bakat safiya ke arah yang sesuai tanpa harus memaksa kehendak mereka. Setiap pelajaran baik itu Les atau Privat tertentu, kesemua hal itu kembali pada keputusan Safiya antara ia sanggup dan mau menyanggupinya atau tidak. Dan sejauh yang telah berjalan, seluruh les dan privat yang diarahkan oleh kedua orang tuanya, semuanya dibabat habis oleh Safiya. Tak pandang buluh, apakah itu tentang ilmu pasti, seni, hingga bahkan kerja-kerja sosial seperti yang sedang ia lakoni sekarang yakni menolong kaum dhuafa dan memberi pelayanan kesehatan gratis. Tujuannya adalah tentu guna mengaplikasikan seluruh ilmu yang sudah ia dapatkan di bangku kuliah, dalam hal ini, menjadi seorang Mahasiswa Kedokteran yang tergabung dalam berbagai macam organisasi sosial.
Maka tak heran, pada akhirnya di penghujung kisah kami, yaitu setelah melewati berbagai macam rintangan dan halangan, pada akhirnya aku benar-benar bisa jatuh cinta dan mantap untuk menikahi dirinya. Tapi di sisi lain justru sebaliknya, aku selalu bertanya-tanya tentang entah angin apa dan entah pikiran apa yang merasuki Safiya sehingga ia bisa memiliki perasaan yang sama denganku. Dalam hal ini entah alasan apa yang ada pada dirinya sehingga ia bisa memutuskan untuk bisa jatuh cinta pada pria yang biasa-biasa saja seperti diriku ini. Bahkan jika bisa ku perjelas, sebenarnya Safiya lah yang terlebih dahulu jatuh cinta kepadaku, dan sejatinya karena Safiya lah yang akhirnya dapat membuatku memiliki keyakinan untuk bisa bersatu dengannya hingga di kemudian hari aku mantap memutuskan untuk melamarnya.
Petanyaannya, mengapa bisa demikian? Sejatinya cerita cinta kami tidak semulus itu, kawan. Kami dihadapkan dengan suatu masalah yang besar, suatu problema yang tak bisa hanya diselesaikan dengan berbicara dengan kondisi kepala yang dingin. Apalagi hal ini berbicara tentang dua keluarga besar, dua kepribadian, dua watak, dua daerah, suku, dan adat yang berbeda, dimana tentu hal tersebut akan merembet kemana-mana dan tentunya juga tidak akan mudah menemukan dimana awal dan dimana ujungnya akan berakhir. Kesemua masalah itu harus terlebih dahulu melewati proses dan diskusi yang panjang, bahkan acap kali cenderung berakhir dengan bersitegang antara satu dengan yang lainnya.
Ya, seperti yang kalian telah ketahui sebelumnya, bahwa kami berasal dari dua karakteristik keluarga yang berbeda. Dimana Agama adalah hal yang menjadi sangat krusial dalam cerita ini. Aku yang notabenenya adalah alumni Pesantren berasal dari keluarga sederhana yang memiliki paham akan Agama Islam begitu kental nan taat. Sementara Safiya berasal dari keluarga berada yang menganut agama Kristen. Maka, tentu perbedaan akan berbicara banyak dalam cerita cinta kami. Jadi, mari kuceritakan bagaimana kami pada akhirnya dapat memutuskan untuk melangkah lebih jauh hingga ke jenjang rencana pernikahan, menyatukan persepsi dan pemikiran, mempersatukan kedua belah pihak keluarga, hingga kemudian dapat menerima satu sama lain.
Hari Pertama Memenuhi undangan Safiya....
Seperti biasa, hidup wanita muda yang teratur dan terjadwal itu tergambar jelas setiap harinya. Setiap acara, setiap janji hingga undangan yang dibuat olehnya selalu senantiasa tepat pada waktunya. Ia datang bahkan sebelum waktunya alias tidak On time sebagaimana mestinya. Tipikal orang yang tidak senang membuat orang lain menunggu lama, dan itu telah mendarah daging dalam diri seorang Safiya sedari dulu. Terlihat dari luar kaca dinding Cafe tempat kami janjian, Safiya telah duduk dengan manisnya diatas kursi sambil sesekali menyeruput isi dalam gelas yang ada di depannya. Sementara, aku yang baru sampai, tidak terlambat, alias tepat pada waktu dimana kami sepakat membuat janji. Namun, terbesit sedikit rasa canggung jauh di lubuk hatiku, bahwa ternyata wanita yang sedang duduk di dalam itu tiba terlebih dahulu dan telah menungguku dari tadi pada pertemuan pertama kami, atau lebih tepatnya janjian pertama kami.
Kembali ke dua hari setelah pesanku terkirim ke Safiya, ia kemudian kembali membalas pesanku dan memberitahuku tentang detail pertemuan kami. Safiya mengatakan bahwa ia hanya punya waktu kosong pada hari sabtu pagi di sela-sela jadwal Intershipnya selama seminggu sebagai seorang Dokter Muda pada sebuah Puskesmas di bilangan Jakarta. Maka, bertemulah kami untuk pertama kalinya dalam momentum yang hanya berdua saja kala itu. Kumasuki ruang bangunan Cafe itu, seraya sesaat kemudian mata Safiya menuju ke arahku dan melemparkan senyuman manisnya itu ke arahku. Aku bak dibuat salah tingkah olehnya, sesaat setelah ia merekahkan senyum manisnya itu, aku langsung menundukkan pandangaku yang disertai dengan jantung yang berdegup kencang tak berkeruan.
Perlahan demi perlahan, lalu tapak demi setapak, sampailah aku dihadapan Safiya dengan penuh nada canggung dan salah tingkah. Sementara di sisi sebaliknya, Safiya tak henti-hentinya menebarkan senyumannya, seraya sesekali terkekeh-kekeh geli melihat sikapku yang sedang salah tingkah itu.
“Sorry.. Safiya, agak telat” mulaiku basa-basi dengan tetap tak berani menatap wajahnya lama-lama.
“Ah, gak pa pa, Mas. Gak telat kok, Mas Hafiz tepat waktu. Cuma Safiya aja mungkin yang kecepatan” sambut Safiya yang tetap dengan senyuman manisnya itu.
“Silahkan duduk, Mas” sambung safiya mempersilahkan.
Aku lalu kemudian mengambil posisi duduk tepat di hadapannya.
“Oke, sebelum kita mulai, Mas Hafiz mau pesan apa ni?”
“Mbak...!” seru safiya memanggil seorang pelayan.
“Saya tambah satu lagi ya...Hot Matcha Lattenya. Mas Hafiz mau apa?” tanya Safiya menawarkan.
“Saya satu Hot Cappucino saja” sahutku.
“Oke, tambah satu Hot Cappucino ya Mbak. Hmm..sementara itu dulu ya..”