Sayup-sayup bulan penuh berkah sudah mulai terlihat dari berbagai arah. Langit-langit akhir dari bulan Sya’ban sudah mulai tampak, layaknya yang terjadi padaku dulu kawan. Seperti yang telah kuceritakan di bab sebelumnya, dimana saat bulan penuh rahmat dan ampunan ini hendak menghampiri, seluruh pariwara yang ada ditelevisi seketika berubah, para-para artis di ibukota seketika pula mulai berangsur-angsur berbeda penampilan dan tata busana mereka. Dari jajaran pemerintahan, maka sudah bisa di pastikan bahwa Kementerian Agama, adalah salah satu instansi pemerintahan yang paling sibuk saat bulan ini datang.
Bulan Ramadhan, itulah bulan paling dinantikan oleh hampir seluruh masyarakat yang ada di negeri ini. Satu hari sebelum bulan itu tiba, para peneropong-penoropong telah stand by dengan rapi di atas gedung-gedung tinggi guna melihat keadaan bulan apakah sudah tampak hilalnya. Hal itu berlaku denganku, bulan puasa kali ini aku disibukkan dengan menyiapkan segala sesuatunya guna menyambut seseorang. Seseorang yang begitu kucintai dalam hidupku. Ia adalah wanita pertama, cinta pertama yang akan selalu menjadi barisan pertama dalam hidupku. Ibuku, itulah wanita terhebat nomor 1 di dunia itu, kawan. Puasa kali ini, beliau hendak bertandang ke rumah anak keduanya yang telah lama merantau ke pulau jawa atau lebih tepatnya mengadu nasib di Ibukota.
Ia dijadwalkan akan terbang 1 hari sebelum bulan puasa tiba dari Aceh dan ditemani oleh Abang sulungku bersama istrinya. Maka tentu atas dasar itulah aku harus mempersiapkan segala sesuatunya. Di rumah kontrakanku yang tak seberapa ini, aku akan berusaha sebisa mungkin membuat mereka nyaman. Walaupun pada dasarnya, abangku dan istrinya hanya menetap sebentar, mereka hanya tinggal sampai puasa ke-5 karena pada hari ke-6 mereka sudah harus kembali ke Aceh atas dasar tugas dan amanat masing-masing yang dipegang oleh mereka. Tapi tetap saja, meski mereka tidak akan tinggal lama, aku sebisa mungkin dapat melayani mereka dengan semampuku.
Jauh hari sebelum hari keberangkatan itu tiba, ibuku mengabarkan bahwa dirinya dan abangku akan mengunjungiku di bulan puasa. Ibuku berencana ingin merasakan suasana bulan puasa hingga hari lebaran bersama anak keduanya, ia rindu karena sudah lama tak bertemu, sekaligus ingin melihat kondisi anaknya yang sudah lama berpisah dengannya itu. Usianya yang sudah senja membuat dirinya tentu tak mampu lagi melakukan perjalanan jauh dengan seorang diri, maka ia meminta kepada putra sulungnya agar mengantarkan dirinya bertemu dengan putranya yang lain, sekaligus juga sebagai memenuhi waktu liburan bagi dirinya dan sang istri untuk sesekali dapat melihat meriahnya ibukota saat Ramadhan tiba.
Waktu berputar pada porosnya, keesokan harinya mereka telah sampai di Jakarta. Aku menjemput mereka di Bandara sore harinya dan langsung menghantarkan mereka ke kontrakanku yang tak seberapa itu. Lingkungan di sekitar rumahku tidak begitu kumuh, tapi juga tak begitu mewah layaknya rumah para pemuka, publik figur atau orang-orang penting yang dapat tinggal di cluster-cluster perumahan mewah. Ya, setidaknya cukup untuk menjadi tempat tinggal sementara yang nyaman dan leluasa bagiku dalam bekerja di Ibukota. Sebelum sampai di rumah, pada saat jalan pulang aku telah membeli beberapa takjil dan beberapa menu berbuka yang sudah mulai ramai dijajakan di pinggir-pinggir jalan ibu kota menjelang berbuka.
Satu jam sebelum waktu berbuka puasa di hari pertama, mereka telah menempuh perjalanan jauh, maka karena alasan itu aku memutuskan untuk melepas kangenku bersama mereka nanti saat berbuka dan seusai sholat magrib. Ku arahkan mereka untuk dapat beristirahat terlebih dahulu di masing-masing kamar yang terpisah. Ibuku menempati kamar utama yang tak lain adalah kamar tidurku, sedangkan Abangku yang sulung itu ku tempatkan di kamar kosong sebelah kamarku yang memang sejatinya ku persiapkan sedari dulu ketika ingin mengontrak untuk para tamu yang akan bertandang ke rumahku. Niatku itu sengaja ku lakukan, karena sempat terbesit dalam hatiku dulu sebelum mengontrak bahwa aku ingin menyewa sebuah rumah yang memiliki dua kamar di dalamnya, agar nantinya jika ada yang akan menginap, maka salah satu kamar itu bisa dipakai oleh mereka. Dan ya, pada akhirnya, ternyata kamar itu terpakai hari ini.
“Mi, Mimi istirahat aja dulu. Nanti kalau udah mau buka, Adek bangunin” Ujarku ke ibu.
“Abang sama Kakak juga, istirahat dulu aja! Kalau mau mandi, kamar mandi ada di belakang. Tombol lampunya ada di depan, diluar kamar mandi. Nanti setelah mandi, istirahat dulu aja. Entar kalau udah mau dekat-dekat waktu buka, tak bangunin” sambungku.
Keduanya lalu masuk ke kamar terlebih dahulu, sedangkan ibuku menuju kamarku guna beristirahat, tampak dari ekpresi dan raut mukanya ia sangat begitu lelah. Setelah terbang jauh dari Aceh ditambah dengan sedang menunaikan ibadah puasa, tentu hal itu menguras energinya yang pada dasarnya sudah tidak muda lagi. Seusai mengantar ibuku ke kamar, aku beranjak ke dapur dengan maksud hati ingin menyiapkan segala persiapan sebelum berbuka. Mengeluarkan seluruh makanan yang terbungkus rapi dan menghidangkannya ke dalam piring-piring, menata seluruh komponen yang dibutuhkan saat berbuka, mulai dari gelas-gelas, mangkuk, sendok dan lain sebagainya. Maklum, selaku tuan rumah yang masih bujangan, sudah seyogyanya seluruh pekerjaan rumah dilakukan dan dihandel sendiri olehku.
Setelah seluruh persiapan berbuka telah tersaji dengan rapi diatas meja, lebih tepatnya meja ruang tamu, karena sejatinya aku tak punya meja makan dirumahku, kawan. Maka, ku hidangkan seluruhnya menu bukaan itu diatas meja setinggi lutut yang berada di ruang tamu dari rumah kontrakanku yang sederhana itu. Setelah ku rasa semua persiapan berbuka sudah siap, sepuluh menit menjelang berbuka, kubangunkan ibuku yang ada di kamar, lalu beranjak ke kamar sebelahnya dengan mengetuk pintu, guna memberitahu Abangku dan istrinya agar dapat bersiap untuk berbuka.
Sesaat semuanya telah berkumpul di ruang tamu, maka terdengarlah beduk Magrib yang disertai setelahnya dengan sahut menyahut suara Azan yang menggema dari setiap corong-corong towa Masjid dan Musolla yang ada di seluruh penjuru ibukota, pertanda bahwa sudah diperbolehkannya berbuka puasa di hari pertama puasa. Seperti biasa, seperti ritual kami dahulu saat keluarga kami masih utuh, kami memulai buka puasa dengan berdoa terlebih dahulu. Biasanya yang memimpin berdoa kala itu adalah Ayahku, namun hari ini ia belum bisa berhadir dan bertandang ke rumahku karena ada sesuatu dan lain hal. Maka, Abangku selaku anak lelaki yang tertua lalu mengambil inisiatif, ia yang memimpin doa hingga sejurus kemudian saat selesai berdoa, mulai lah kami menyantap seluruh hidangan yang ada diatas meja ruang tamu itu.
Setelah memulai pertama kali dengan kurma, kami pun larut dengan hidangan lezat lainnya yang menjadi khas saat bulan puasa, yang mana menu itu tak jauh-jauh dari Kolak Pisang, Cendol, hingga aneka gorengan yang menjadi menu favoritku. Di sela-sela santap berbuka itu, sesekali kami saling bertanya satu sama lain, larut dalam obrolan keluarga yang sudah lama tidak berjumpa. Melepas kerinduan Ibu dan Anak, Kakak dan Adik, hingga menanyakan bagaimana situasi dan suana menjelang puasa yang ada di kampung halaman kami, Aceh.
“Dek, kolak pisang ini kurang enak. Kalau di kampung kita, kolak begini udah rame ni yang jualan waktu mau buka gini, murah-murah lagi. Kalau disini berapa harganya?” buka ibuku mengkritisi rasa kolak yang kurang sedap itu menurutnya.
“Hmm...iya Mi, kolak disini emang rata-rata susah kalau nyari yang enak. Kalau dibandingin dengan kolak buatan Mimi, atau kolak-kolak yang di jual di Aceh ya jauh, jauh banget ini mah” sahutku membandingkan.
“Di sini apa-apa mahal mi...semua barang, mau itu makanan atau baju dan peralatan rumah tangga yang lain, semuanya mahal-mahal, Mi. Ya, standar biaya hidup di ibukota, makanya mungkin jualannya gak terlalu enak, modalnya mahal”
“Kalau sewa rumah, berapa Dek? Rumah ini ni, misalnya...” tanya Abangku penasaran.
“Nah itu lagi, ya kalau itu jangan ditanya, udah pasti muaahal. Ni rumah sederhana gini aja, yang Cuma dua kamar gini, bisa dari 15 sampe 20 juta. Itupun tergantung lokasinya, kalau dekat-dekat dengan kota dikit itu lebih mahal lagi. Ini gak dihitung kota lah, masih daerah pinggiran-pinggiran Jakarta” jawabku.
“Oh ya, ngomong-ngomong soal belanja, tempat belanja bahan-bahan dapur disini dimana bang? Sahut istri Abangku.
“Ooo kalau soal itu, di dekat sini ada pasar traditional, Cuma lebih baik kakak ke Mall aja, ya sekalian jalan-jalan. Sesekali kan gak pa pa, sambil jalan-jalan” sahutku.
“Iya nanti kita ke Mall aja, Abang dulu waktu masih bujangan tinggal di Jakarta juga lumayan sering lah ke Mall, jadi masih hafal lah rute-rute Busway. Mi, mimi ikut sekalian ya, biar sekalian pilihin barang-barang belanjaan yang bagus-bagus”
“Iya Mimi ikut sekalian ya, soalnya Adek juga ada urusan kerjaan besok, walaupun bukan kerjaan resmi dari kantor. Jadi dari pada Mimi sendirian di rumah, lebih baik Mimi ikut, sekalian lihat-lihat Nanggroe Gob” sambungku.
Tak terasa waktu berjalan, seluruh makanan yang ada di meja makan telah berkurang porsinya sedikit demi sedikit, hingga pada akhirnya setelah semuanya usai kami pun memutuskan untuk sholat berjamaah. Abangku memimpin menjadi imam, sedangkan kami berada di belakangnya. Sudah sekian lama rasanya momen ini terlewatkan, dimana kami bisa berkumpul walaupun tidak dalam formasi lengkap. Biasanya yang menjadi Imam dalam keluarga ini adalah Ayah saat sholat berjamaah, namun beliau tidak bisa ikut kali ini, hingga pada akhirnya sudah pasti Anak sulungnya lah yang mengemban tugasnya kalau beliau tidak ada. Malam itu pun kemudian berlanjut ke Sholat Tarawih, aku mengajak mereka untuk sholat tarawih di salah satu Masjid yang dekat dengan kontrakkanku. Mengingat mereka masih sangat lelah, rencanaku nantinya lain kali akan mengajak mereka ke Istiqlal, Masjid kebanggan warga Jakarta.
Keesokan paginya, setelah santap sahur, seperti biasa kami menunaikan sholat shubuh berjamaah yang kemudian dilanjutkan dengan kebiasaan dan ritual masing-masing, dimana Ibuku biasanya larut dalam wiridnya, sementara Abangku dan Kakak iparku keduanya bahu membahu membaca Al-Qur’an guna memenuhi target agar dapat khatam beberapa kali hingga akhir Ramadhan nanti. Aku sendiri juga demikian, larut dalam Ayat demi Ayat guna berusaha agar dapat Khatam minimal dua kali selama sebulan penuh ini. Biasanya, kalau sedang menggebu-gebu alias penuh dengan semangat yang berapi-api, selama sebulan penuh itu aku dapat meng-khatamkan bacaan hingga lima kali banyaknya.
Ketika matahari pagi mulai tampak jelas sinarnya menerangi jendela rumah kami, saat di sela-sela bacaanku yang belum putus-putus itu, sekonyong-konyong terdengar satu nada dering berbunyi di Hpku pertanda sebuah notifikasi masuk. Ku biarkan lama Hpku itu terdiam, aku memilih untuk menyelesaikan bacaanku guna dapat memenuhi target yang telah kubuat sebelumnya. Dan setelah lembar demi lembar ku lewati, di penghujung bacaan akhirnya aku menutupnya dengan Doa penutup bacaan Al-Qur’an disertai selanjutnya dengan Shalawat kepada Nabi.
Pagi itu pun berlanjut, aku menyusun rencana bersama ketiga orang keluargaku itu, dimana hari ini Ibu, Abang, dan Kakak iparku itu akan berangkat menyusuri ibu kota, jalan-jalan melihat kemegahan ibukota dan diakhiri dengan berbelanja kebutuhan sehari-sehari. Aku tidak bisa menemani mereka, hanya saja kalau masih sempat, sebisa mungkin aku akan bergabung dengan mereka saat belanja nanti. Namun, jika tidak sempat, ku katakan pada Abangku untuk terus melanjutkan perjalanan, baik jika ingin berbuka di luar atau kembali ke rumah saat sore menjelang berbuka.
Saat hendak keluar guna berangkat untuk meeting, ku tatap layar hp ku yang di dalamnya terdapat satu notifikasi yang ternyata adalah sebuah pesan dari Safiya. Ia kembali mengirimiku sebuah pesan via WA yang berisi...
Selamat Pagi, Mas Hafiz. Apa kabar? Malam ini apa bisa kita ketemuan? Ada yang ingin Safiya diskusiin lagi sama Mas Hafiz.