Misi Cinta Paling Sulit Sedunia

Muhammad Haikal
Chapter #10

Bab#10 Hari Penentuan

Bumi berputar pada porosnya, melewati masa demi masa mengitari matahari dengan tangkasnya. Siang dan malam silih berganti, merubah penanggalan dalam hari yang menjadikannya begitu singkat. Empat hari waktu berlalu, terasa begitu cepat dan begitu singkat tuk dinikmati. Detik dan menit berjalan dengan hebatnya, tanggal demi tanggal pun ikut menari bergantian, memang tak bisa dipungkiri dunia ini selalu dihiasi oleh orang-orang yang tidak menghargai waktu. Mereka selalu cenderung terbagi dalam dua kelompok; kelompok pertama adalah yang selalu menyia-nyiakan waktu, yaitu menunda-nunda segala sesuatunya hingga Due date nya tiba. Sementara kelompok yang satunya lagi adalah segerombolan orang yang berfikir bahwa waktu begitu lamban saat berjalan, mereka seolah ingin sampai pada satu tujuan atau tempat yang menjadi tujuan mereka dengan proses yang sangat cepat nan singkat.

Pada hakikatnya, waktu tidak menerima kedua kelompok itu dalam perjalanannya. Dimana waktu tidak ingin menunggu siapapun, ia akan meninggalkan siapa saja yang lambat dan tidak akan pernah berbelas kasih kepada mereka yang selalu senantiasa menyia-nyiakan dirinya. Maka atas dasar itulah pada akhirnya, sudah seharusnya kita pandai-pandai dalam mengatur dan menyiasati si waktu tersebut.

Tak terasa dan tak terduga, kami mendapati diri kami telah sampai pada hari puasa ke-lima dalam puasa Ramadhan. Dimana pada hari ke-5 puasa ini, Abangku dan istrinya telah dijadwalkan untuk kembali terbang pulang ke Aceh, mereka sudah harus pulang kembali guna memenuhi urusan pekerjaan di hari Senin lusa yang akan kembali aktif dimulai setelah jeda Ramadhan. Mereka berdua adalah Dosen di dua fakultas dan jurusan yang berbeda. Abangku mengambil konsentrasi pada jurusan Ekonomi Syari’ah, sedangkan istrinya lebih fokus pada jurusan ilmu Pasti yakni Kimia Murni.

Maka, berangkatlah mereka pagi-pagi buta, karena jadwal penerbangan mereka yang telah dibooking dari jauh-jauh hari itu dijadwalkan terbang pada hari sabtu pagi-pagi sekali. Mereka bahkan harus menunaikan ibadah sholat shubuh di bandara. Setelah santap sahur di rumah dan berpamitan pada ibu, aku mengantarkan mereka berdua ke bandara dengan mobil yang telah kupinjam dari Edi, sahabat terbaikku yang satu itu. Tak lama kami dapat bercengkrama di bandara, Abang dan kakak iparku itu sudah harus melakukan ritual Boarding Pass setibanya di bandara. Maklum penerbangan kelas ekonomi yang sudah seharunya seperti itu. Setelah salaman, dan memberiku pesan-pesan, pada akhirnya mereka berpamitan, kemudian berlalu masuk ke area dimana para pengantar tidak diizinkan masuk.

Sekembalinya dari bandara, aku melihat ibuku sedang tertidur dalam posisi duduk diatas sajadah tempat ia menunaikan sholat shubuh tadi. Tampaknya ia terlelap dan tersandar secara tidak sengaja saat sedang khusyuk melafadzkan berbagai macam wirid dan zikir setelah sholat shubuh tadi. Akhirnya ku membangunkan dan memberitahunya agar dapat pindah ke kamar guna dapat tidur dengan lebih nyaman dan leluasa. Setelah mengantarkannya ke kamar, terdengar satu notifikasi masuk ke telepon genggamku. Dan saat ku lihat ke arah layar, ternyata sebuah pesan WA kembali masuk dari seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Safiya, wanita yang sedari kemarin tak henti-hentinya mengirimiku sebuah pesan.

Sejak pesan terakhirnya tidak terbalaskan, Safiya terus menerus mengirimu sebuah pesan yang berisi mulai dari permintaan maaf yang berkali-kali hingga ajakan demi ajakan untuk bertemu juga sangat gencar ia lepaskan. Namun, pesan yang ia kirim kali ini berbeda dari yang biasanya, dimana isi pesan tersebut ditulis dengan nada yang serius dan penuh ketegasan. Ia seolah ingin menyatakan satu hal yang sangat penting kepadaku, seolah-olah ia sudah tak bisa dan tidak kuat untuk menahannya lebih lama lagi. Maka pesan itu pun berisi tentang...

Selamat Pagi, Mas Hafiz.

Ini mungkin terakhir kalinya Safiya mengirim pesan dan mengajak Mas Hafiz untuk bertemu. Jika memang Mas Hafiz tidak berkenan, ya Safiya gak bisa maksa.

Malam ini, jam 21.00 WIB Safiya tunggu di Andalusia Cafe.

Balas pesan Safiya ini jika Mas Hafiz tidak berkenan, jika tidak dibalas berarti Safiya menggangap itu sebagai tanda bahwa Mas Hafiz setuju.

Terima Kasih

Bak disambar petir di siang bolong, membaca pesan safiya itu membuatku tak bisa berfikir jernih. Aku tak pernah menyangka bahwa Safiya bisa senekat dan setegas itu dalam menghadapi seorang lelaki. Aku menyadari bahwa wanita cerdas yang satu itu adalah seorang pemikir yang hebat, segala hal yang dihadapi olehnya selalu berlandaskan ketelitian, detail, dan penuh pemikiran yang matang. Namun, kali ini entah setan apa yang telah merasuki dirinya sehingga dengan penuh percaya dirinya, ia dapat mengirimiku sebuah pesan yang bernada penuh dengan ketegasan semacam itu. Aku juga teringat akan perkataan Edi tentang Safiya tempo hari, yang bahwa ia tidak pernah seserius itu alias tidak pernah berusaha sejauh itu hanya untuk seorang laki-laki. Namun pertannyaannya, mengapa kali ini justru sebaliknya.

Jauh ku berfikir dan melalang buana ke dalam pikiranku, memasuki alam bawah sadar seraya mengingat momen apa yang dapat membuat seorang Safiya wanita cerdas yang seorang dokter muda itu bisa seberani itu, sepercaya diri itu, dan merasa sedekat itu kepadaku hingga tak segan-segan mengirimiku pesan demi pesan setiap harinya. Pada akhirnya aku menemukan dan tersadar akan satu hal, suatu kesimpulan bahwa karena hal itulah mungkin Safiya bisa dengan sangat gencarnya mengirimiku pesan-pesan selanjutnya yang tak pernah ada habisnya itu.

Jauh hari sebelum pesan terakhir yang masuk itu, atau lebih tepatnya sesaat setelah hari pertama sejak pertemuan kami di Cafe waktu itu, dimulai sejak saat itulah obrolan kami terus berlanjut melalui aplikasi pesan singkat yang ada di handphone. Dan saat pembicaraan terakhir kami di Cafe waktu itu, dimana kami larut dalam obrolan yang penuh canda dan tawa, maka dimulai dari saat itulah aku merasa bahwa Safiya menganggap hubungan yang terjalin diantara kami ini kian lama kian rekat. Sepulangnya dari Cafe saat janjian pertama waktu itu, Safiya mulai mengirimiku berbagai macam pesan dimana hal itu pun terus berlanjut pada malam dan hari-hari selanjutnya.

Awalnya ku membalas pesan itu semata-mata hanya ingin menjalin silaturrahmi dan menjaga hubungan baikku dengan Safiya. Hanya itu, dan cuma sesederhana itu saja tujuannya. Kalaupun ada niat yang lain, dimana saat perasaan dan rasa kagumku yang sebelumnya pernah tumbuh terhadap Safiya saat pertama bertemu, seketika berubah. Aku langsung tersadar dan sangat menyadari bahwa aku tidak pantas dengan dirinya.

Alasannya, selain karena memang dia adalah seorang wanita yang pintar, kemudian anak dari keluarga yang berada, masih ada satu hal lagi yang membuatku ragu untuk bisa suka atau punya niat yang serius ingin bersamanya adalah fakta tentang dirinya yang berbeda keyakinan denganku. Maka, sejak saat itulah pelan-pelan rasa suka dan kagum itu mulai pudar, niat yang kuat untuk mendekatinya pun urung untuk ku lakukan. Karena pada dasarnya, sekuat apapun aku berusaha untuk mendekat, maka sebesar itu pula konsekuensi dan resiko yang harus ku terima nantinya, dan aku sudah paham betul tentang hal itu.

Sebaliknya dari sisi Safiya, satu setengah bulan yang lalu sejak pertemuan dan janjian pertama kami itu, ia justru seperti memiliki sebuah hasrat yang sangat kuat, seperti memiliki kecocokan yang amat sangat, ibarat menemukan seseorang yang sangat klik dalam hidupnya. Setiap pertanyaan-pertanyaan yang ia tanyakan via chat selama satu setengah bulan itu terjawab dengan jelas olehku. Baik pertanyaan seputar keraguan dan keingintahuannya tentang islam hingga pertanyaan-pertanyaan remeh temeh sekalipun, seluruhnya ku jawab dengan semampuku dan jawaban-jawabanku itu menarik bagi dirinya. Kadang kala juga pertanyaan-pertanyaan yang ke ranah pribadiku juga terselip di dalamnya, seperti suatu ketika Safiya pernah bertanya kepadaku via chating.

Mas Hafiz, kalau boleh tau tipikal wanita idamannya Mas Hafiz gimana sih?

Sontak pertanyaan itu membuatku terkejut, seorang Safiya yang cerdas itu tiba-tiba menanyakan satu pertanyaan absurd yang sukar untuk kujawab. Lama jeda ku berfikir dalam membalas pesan tersebut dan mencoba mengulur waktu.

Hmm kok tiba-tiba nanyain itu? Emangnya kenapa Safiya?

  Kini giliran Safiya yang lambat dalam merespon pesanku yang sejatinya adalah bertanya balik kepadanya. Lumayan cukup lama ia berfikir, hingga sejurus kemudian tulisan Typing... berwarna hijau pun mencuat diatas layar hpku.

Ya gk pa pa kan mas, Safiya boleh tau donk. Tapi jujur sebenarnya Safiya dapat info dari Mas Edi....katanya Mas Hafiz ini lagi usaha nyari calon istri, ya? Nah, tentu punya kriteria tertentu donk?

Semakin lama ku chattingan dengan Safiya, semakin terperanjat aku dibuat olehnya. Ia seolah ingin mengetahui segalanya tentangku, bahkan hingga ke topik yang aku sendiri belum pernah membayangkannya.

Sorry Safiya, sepertinya pertanyaan itu sudah terlampau jauh deh, tapi ya Mas Hafiz hargai, karena we're Friend, right? and Mas hafiz akan coba untuk jawab ya.

 Ya sebenarnya sih Mas gak ada kriteria tertentu kalau soal itu, yang terpenting sih orangnya baik, maksudnya Akhlak atau tingkah lakunya baik. Kalau soal fisik, Mas gak bisa bilang banyak sih, karena cantik itu kan relatif.

Tapi kalau pun harus dijawab, ya...sejauh Mas Hafiz memandang seorang wanita...melihat dia....dan hati Mas Hafiz rasanya kok tenang gitu, ya berarti wanita itu cantik menurut Mas. So, ya begitulah kira-kira cantik versi Mas Hafiz.

Lumayan panjang pesan yang ku kirimkan ke Safiya, sehingga ia juga lumayan lama dalam membaca dan mencerna pesan dariku. Sangking lamanya ia membalas, aku sempat berfikir bahwa mungkin Safiya sudah kembali ke kesibukan dan rutinitasnya seperti biasa. Namun, tak disangka-disangka, tulisan Typing... berwarna hijau kembali mencuat diatas layar, dibawah nama dan foto profil Safiya.

Kalau Safiya sendiri, menurut Mas Hafiz gimana? Tenang gak Mas Hafiz waktu melihat Safiya? Hehe

Membaca pesan Safiya yang demikian itu seketika membuatku tak berkata-kata, ibarat disampar petir di siang bolong untuk kedua kalinya, tapi kali ini ditambah dengan jatuh tertimpa tangga. Betapa tidak, bagaimana bisa seorang wanita cantik nan pintar dari keluarga kaya raya itu bisa seberani itu dalam merespon seorang laki-laki biasa, yang bahkan baru ia kenal belum lama. Puncaknya hingga tiba di titik itu, aku masih berfikiran positif bahwa pesan tersebut hanyalan sebuah candaan belaka alias guyonan semata untuk membuat obrolan terasa menarik serta sebuah pemanis dalam pesan chat. Maka akhirnya, aku pun menanggapinya juga demikian.

Ah Safiya bisa aja, btw belajar dari mana kok bisa seberani itu, sepercaya diri itu kalau chattingan sama laki-laki?

Tapi Mas gak heran sih, kemaren aja waktu kita janjian pertama kali, Safiya bisa se aktif dan se supel itu sama cowok yang baru dikenal. Apalagi yang udah kayak gini, Ya jadi...gk heran sih.

Saat ku tekan tombol kirim hingga pesan itu tercentang, rupanya Safiya telah menghilang dari peredaran, terlihat pesan itu hanya bercentang satu, pertanda bahwa sang pemilik Handphone tersebut sudah tidak aktif lagi. Kembali ku berfikir bahwa mungkin Safiya tengah sibuk dan kembali ke rutinitasnya. Tapi di sisi lain, jauh di dalam pikiranku, suara-suara aneh berbisik pelan mengatakan bahwa ia (Safiya) bisa tiba-tiba menghilang itu, apakah pertanda bahwa si Safiya sedang salah tingkah, atau ia malu bukan kepalang karena sudah dengan beraninya mengirimi seorang lelaki sebuah respon yang terang-terangan mengarah kepada satu hal, yaitu menggambarkan isi hatinya yang sebenarnya yang diikuti dengan niat dan maksud terselubung yang ada di dalamnya.

Dan begitulah seterusnya dan seterusnya percakapan kami berjalan melalui dunia maya, alias tidak bertatap muka langsung selama hampir satu setengah bulan penuh, dimana kami hanya berinteraksi via chat, tanpa sekalipun bertemu. Hingga pada suatu ketika, aku menyadari satu hal dimana interaksi antara kami berdua yang sudah terlampau jauh itu menurutku tidak baik. Karena yang tadinya maksud diriku membalas seluruh pesan-pesan Safiya adalah murni karena ingin menyambung silaturrahmi dan saling menghargai, tiba-tiba berubah haluan seolah-seolah ada noda setitik yang menggumpal di dalam hatiku yang berisi maksud dan tujuan yang lebih dari itu.

Pada akhirnya, aku tersadar bahwa segala hal yang berlebihan itu tidak baik, termasuk hubungan pertemanan kami yang walaupun hanya berinteraksi via chat tanpa tatap muka, nantinya ada hal-hal yang akan menjerumuskan kami ke dalam satu wadah yang tertutup dengan rapat, terikat dan tak dapat dipisahkan yaitu sebuah hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan, dimana aku tidak siap untuk itu. Karena kedekatan kami yang kian lama kian erat itu, nantinya juga pasti akan ada tuntutan-tuntutan lain yang mengikuti setelahnya. Maka kerena alasan itulah, aku tidak membalas lagi pesan demi pesan yang dikirim oleh Safiya kepadaku.

Perlahan namun pasti, pelan-pelan akhirnya aku mulai menjauh, mulai hanya membaca saja alias tidak membalas pesan-pesan yang dikirimkan oleh dirinya. Setiap ada pesan yang masuk dan orang yang mengirim pesan tersebut adalah Safiya, maka setiap itu pula aku berusaha mengulur-ngulur waktu dalam membaca pesan tersebut. Hingga puncaknya, terjadilah apa yang harus terjadi, Safiya mengirimkan pesan terakhirnya dengan nada penuh ketegasan seperti yang telah kutuliskan sebelumnya. Pesan itu sebenarnya sederhana saja, tapi yang membedakan adalah bahwa pesan tersebut merupakan sebuah ancaman, ancaman yang menunjukkan bahwa untuk kali terakhir ia akan mengirimiku sebuah pesan, serta pesan yang menunjukkan sebuah ajakan yang terkesan memaksa, namun terlihat elegan untuk ukuran seorang wanita yang gengsi. Dan ya, begitulah seorang Safiya, wanita muda yang penuh dengan pemikiran matang.

Waktu berjalan lambat, aku yang sedari tadi duduk di ruang tamu tak menyadari bahwa Ibuku telah bangun dari lelapnya hingga sejurus kemudian berada di depanku seraya melambai-lambaikan tangannya di hadapanku.

“Dek, Dek....Hafiz....” panggil ibuku berusaha menyadarkanku.

Tak ayal aku pun tersadar, terbangun dari lamunanku yang dalam itu dan merespon panggilan ibu yang sedari tadi telah memanggilku.

“Eh, iya Mi, ada apa? Mimi dah bangun?” jawabku reflek.

“Dari tadi Mimi panggil-panggil, kamu diam aja. Nah, sekarang Mimi balik nanya, ada apa? Kok tiba-tiba kamu ngelamun gini, jarang-jarang loh Mimi lihat kamu melamun begitu” lanjut ibuku bertanya.

“Ah gak pa pa, Mi. Siapa juga yang lagi ngelamun”

“Gak pa pa gimana, itu pesan di Hp, dari siapa? Apa jangan-jangan, gara-gara pesan itu ya, kamu jadi ngelamun begini?” sambut Ibuku seraya menunjuk ke layar Hp ku yang masih menyala.

“Ah egak, Mi. Ini bukan apa-apa kok, bukan siapa-siapa juga...”

“Bukan apa-apa gimana, jangan bohong, Neuk! Mimi itu ibu kamu, jadi Mimi tu tau kapan anaknya bohong kapan enggak. Udahlah....cerita sama Mimi, ada apa? Ujar ibuku.

Lama ku terdiam berusaha mencari Alasan lain agar dapat tidak memberitahu ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“Ooo Mimi belum boleh tau ni, ya gak pa pa, Neuk...Itu hak kamu. Tapi lain kali kalau kamu udah siap cerita, cerita ya! Cerita lah semua sama Mimi, cerita apapun itu boleh kok, Mimi siap dengerin kamu. Atau apa kali ini soal perempuan, ya? makanya kamu gak mau cerita sama Mimi" tanya Ibuku seraya menggodaku.

“Ah enggak, Mimi sok tau ah!”

Lihat selengkapnya