“Tanda tangani ini!” Seru pria yang berdiri dihadapanku. Cassian Ardentio Wijaya, sosok yang tampan dengan rambut hitam dan mata tajam berwarna sama dengan matanya.
Aku menatap kertas yang disodorkannya padaku yang sedang duduk di sofa yang ada di kamar kami. Sebuah kontrak pernikahan.
“Kontrak pernikahan?” Tanyaku menyuarakan pikiranku.
Cassian dengan wajah datarnya ikut duduk di sampingku. “Kontrak pernikahan selama satu tahun, setelah itu kita bercerai.”
Aku terkejut, “Apa? Tapi, kak …”
Cassian menatapku dengan serius, “Ave, kita berdua tau kalau kita gak saling cinta. Aku menikahimu karena papa kamu yang minta.”
Cassian benar. Papa, Vincent Renaldi, sangat menyukai Cassian dan juga kecekatannya dalam bekerja di perusahaan. Papa Vincent sangat terobsesi menjadikan Cassian sebagai penerusnya, karena aku, Aveline Seraphina Rinaldi, dan adikku, Aurora Sophia Rinaldi, sama sekali tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan. Dan karenanya Papa Vincent sedang sakit dan perusahaan sedang bermasalah, Papa Vincent menunjuk Cassian sebagai CEO perusahaan sekaligus menantunya.
“Gimana dengan papa?” Tanyaku yang mengkhawatirkan Papa Vincent yang saat ini masih dirawat di rumah sakit, akibat kelelahan karena pernikahan meriahku yang baru selesai kemarin.
“Kamu tenang aja. Selama setahun ini, aku akan cari cara buat bujuk papa kamu. Dan juga nyelesaian masalah di perusahaan sebelum kita bercerai.” Ujarnya dengan tenang.
Aku tidak tahu apa yang membuatnya sangat enggan untuk hidup bersamaku. Padahal kami sudah kenal sangat lama. Cassian adalah tetanggaku. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Dia tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari rumahku bersama ibu dan adik perempuannya. Ekonominya sangat sulit. Untungnya Papa Vincent datang padanya dan membantunya bersekolah dengan syarat kalau dia harus bekerja padanya di perusahaan. Setelah bekerja di perusahaan Papa Vincent, ekonominya berangsur membaik sehingga dia bisa menyekolahkan adiknya di kedokteran.
Walaupun kami bertetangga, kami sangat jarang bertemu. Mungkin karena kami yang selalu mengurung diri di dalam kamar. Dia yang fokus belajar, dan aku yang introvert.
Aku menghela napas dan menatap kontrak pernikahan di tanganku. Meraih pulpen diatas meja dan mulai membubuhkan tanda tangan diatas kertas itu.
Cassian mengambil kontrak itu dan membawanya pergi. Kemungkinan dia ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan kamar kami. Di rumah besar yang dihadiahkan Papa Vincent sebagai hadiah pernikahan kami, kamar utama berada dilantai dua bersama dengan tiga kamar lainnya, satu ruang kerja dan dua kamar kosong yang mungkin diniatkan Papa Vincent sebagai kamar anak-anak kami kelak. Namun setelah kejadian tadi, aku ragu kalau harapan Papa Vincent akan terwujud.