Tiit tiit …
Aku meraba nakas tempat tidur disampingku untuk mematikan alarm di ponselku. Setelah mematikannya, aku bangun dari tidurku sambil merentangkan tangan yang terasa pegal.
Aku menguap beberapa kali dan menengok sisi lain dari tempat tidur di kamarku dan Cassian yang kosong. Itu artinya, Cassian tidak tidur lagi di kamar ini. Aku terdiam menatap sisi kasur yang tampak rapi itu.
Karena menyadari waktu yang semakin berjalan, aku bergegas menuju kamar mandi yang berada di kamar ini untuk membersihkan diri dan menyiapkan air hangat. Aku juga menyiapkan pakaian kerja untuk suamiku yang kuletakkan di atas tempat tidur.
Setelahnya, aku mengetuk pintu kamar di sebelah kanan kamar kami. Dimana Cassian sering tidur. Sambil mengetuk, aku juga memanggilnya dengan suara yang agak keras.
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka menampilkan Cassian dengan penampilan baru tidurnya yang sexy membuatku sekali lagi tertegun. Rambut hitamnya yang acak-acakan, mata hitamnya yang kini sayu, dan piyamanya yang dua kancing atasnya terbuka. Selalu seperti itu saat aku membangunkan Cassian dan pada akhirnya aku yang jatuh terus-menerus pada pesonanya.
Cassian tidak memperdulikanku yang terpaku di depan pintu. Dia melengos begitu saja menuju kamar kami. Aku yang tersadar dari keterpakuanku, bersemu merah dan segera berlanjut ke dapur untuk membuat sarapan.
Sarapan yang kubuat sangat simple, hanya roti bakar selai coklat, kopi untuk Cassian, dan jus buah untukku, mengingat aku dan Cassian tidak terlalu suka sarapan dengan makanan berat seperti nasi.
Aku mengaduk kopi untuk Cassian dengan pelan sambil berdoa dalam hati, kalau yang aku lakukan ini akan mengikat suamiku untuk kembali ke rumah. Tidak hanya saat mengaduk kopi. Namun, aku melakukan semua itu pada hal-hal yang kulakukan untuk Cassian. Aku diajari oleh ibu mertuaku sendiri.
Aku meletakkan kopi di hadapan kursi kosong yang akan ditempati Cassian. Setelahnya, aku duduk di depan kursi itu. Memoriku memutar bayangan kehidupan pernikahanku dengan Cassian yang sudah berjalan delapan bulan. Dan selama itu, aku tidak melihat tanda-tanda akan perasaan cinta Cassian untukku. Padahal, aku sudah melakukan semua yang diajarkan oleh Ibu mertuaku untuk menyenangkan suami. Kecuali hal ‘itu’.
Aku menghela napas. Waktu kontrak pernikahan sudah semakin dekat dan aku sudah kehabisan cara bagaimana membuat Cassian melihatku. Aku khawatir kalau aku yang semakin tidak bisa lepas darinya.
“Kenapa gak makan?” Ujar Cassian yang duduk dihadapanku, membuyarkan lamunanku.
“Sejak kapan Kak Ian disini?” Tanyaku horror karena tidak menyadari dirinya datang.
Cassian mengedikkan bahu, “gak lama pas kamu nghela napas panjang,” Ujarnya dengan cuek sambil menyeruput kopinya sedikit demi sedikit.
Piring Cassian sudah kosong. Itu tandanya Cassian daritadi memperhatikanku yang sedang melamun. Memikirkan itu membuatku malu.
“Aku mau berangkat,” Ujar Cassian sambil mengambil jas dan tasnya yang sedaritadi dia sampirkan ke kursi disebelahnya.
Aku buru-buru berdiri dan mengikuti langkahnya. Mulai mengulangi kebiasaanku saat menyerocos apapun untuk mendapatkan kesempatan untuk lebih dekat dengannya.
“Kak, mau dianterin makan siang, gak?” Tanyaku yang dibalas gelengan.
“Kalau makan siang bareng, mau gak?” Tanyaku yang lagi-lagi dibalas gelengan yang membuatku cemberut.
Aku menyalami tangannya saat kami sampai di depan pintu. ‘Ya tuhan.. lindungi suamiku dari hal-hal buruk, mudahkan pekerjaannya, dan pulangkan dia kembali padaku,’ Doaku saat punggung tangannya menyentuh dahiku.
“Ngapain?” Tanya Cassian dengan ekspresi heran saat merasa aku menyalaminya terlalu lama.