“Sudah sejauh mana hubungan kamu dengan Cassian?” Tanya Papa Vincent yang duduk dihadapanku, di sofa ruang keluarga. Belum selesai pesta ulang tahun Stella, Papa Vincent langsung menyuruhku untuk ikut pulang dengannya. Bukan untuk bertamu, melainkan untuk diinterogasi seperti saat ini.
“Maksudnya, Pa?” Tanyaku bingung, tidak paham kemana arah pertanyaan Papa Vincent.
Papa Vincent menatapku dengan pandangan serius, “Apa kalian sudah melakukan ‘itu’?” Tanya Papa Vincent dengan menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda peace.
Wajahku memerah saat mendengar pertanyaan yang langsung mengarah ke hal yang sangat pribadi tersebut. Aku merasa canggung dan tidak nyaman menjawab pertanyaan Papa Vincent yang begitu terbuka.
“Ngapain Papa nanya begituan?” Jawabku dengan gugup.
Papa Vincent melipat tangannya dan bersandar di sofa ruang keluarga ini. “Yah, karena kamu belum hamil sampai sekarang, yang mana usia pernikahan kalian sudah delapan bulan,”
Aku diam. Aku tidak mungkin mengatakan kalau kami tidak pernah melakukannya. Bahkan tidak tidur di ranjang yang sama.
Papa Vincent meneliti keterdiamanku. “Jangan bilang kalian tidak satu kamar,” Tebak Papa Vincent langsung seakan bisa membaca pikiranku.
“Udahlah, Pa. itu privasi rumah tangga mereka. Kita jangan ikut campur,” Ujar Mama Natalia yang menjadi penolongku. Dia datang dari arah dapur sambil membawa dua cangkir minuman untuk menemani pembicaraan berkedok interogasi ini.
Aku bernafas lega karena pawang Papa Vincent sudah datang. “Nah tuh, bener banget. Itu privasi aku sama Kak Ian. Gak boleh diumbar sana-sini,” Ujarku sambil cengengesan.
“Alesan aja kamu,” Cibir Papa Vincent. “Kalau tebakan Papa benar, berarti kamu harus usaha lagi. Ikatan kalian akan lebih kuat kalau ada anak,”
“Pa, semua yang dipaksa bakal ngerugiin diri sendiri.” Ujarku mencoba memberi pengertian pada Papa Vincent.
“Ck, itu bukan memaksa. Kamunya aja yang gak usaha yang bener.” Kata Papa Vincent yang membuatku tertohok. “Pokoknya kamu harus hamil. Kalau perlu, kamu yang mulai duluan!” Ujarnya sambil berdiri dan berlalu hingga menghilang di tangga.
Aku menghembuskan nafas kasar. Permintaan Papa Vincent sungguh sulit. Bagaimana caranya agar aku bisa hamil, sedangkan Cassian sendiri enggan tidur di ranjang yang sama denganku?
Mama Natalia duduk disampingku dan memelukku. Dia sepertinya menyadari kalau aku sedang gundah saat ini. “Jangan dimasukin hati kata Papa yah, sayang. Dia itu cuma mau kamu dan Cassian terus sama-sama,” Kata Mama Natalia sambil mengelus lembut rambutku.
Aku mendongak. “Tapi gak perlu sampai segitunya, Ma. Aku bisa apa kalau Kak Ian yang gak suka sama aku?” Ujarku berusaha untuk bersikap tegar.
Mama Natalia menatapku dengan penuh kasih sayang dan memegang wajahku dengan lembut. “Sayang, percayalah bahwa pernikahan itu gak selalu mulus. Pasti ada cobaan dan halangan yang harus dihadapin. Cassian mungkin perlu waktu buat menerima pernikahan kalian.”
Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang ingin keluar. “Doain aku, Ma. Doain rumah tangga aku juga supaya tetap kokoh.”
Mama Natalia tersenyum penuh pengertian. “Tentu, sayang. Mama selalu mendoakan kamu dan rumah tangga kalian supaya tetap kuat. Kamu harus percaya sama perasaan cinta dan tekad kamu untuk berjuang mempertahankan rumah tangga kalian. Kasih waktu buat Cassian sadar kalau ada perempuan dengan perasaan cinta yang besar untuknya dan ada disisinya.”
Aku mengangguk. Aku merasa tidak pernah menceritakan perasaanku pada siapapun, terlebih Mama Natalia. Namun aku paham kalau sebagai orang yang melahirkanku, dia pasti bisa merasakannya. The power of feeling ibu.
“Udah mau malam, nih. Kamu mau makan malam disini?” Tanya Mama Natalia saat merasa aku sudah lebih tenang.