Rafael menatapku dengan mulut terbuka. Terlihat keterkejutan di wajahnya. “Cassian suami lo?”
Aku mengangguk. Heran dengan reaksinya.
“Jadi lo putri pemilik Rinaldi Corp.?”
Aku mengangguk ragu. “Ya. Kenapa?”
“Astaga, Ave. Lo anak sultan ternyata. Padahal pas kuliah dulu kayak miskin banget. Alat gambar aja kadang minjem ke gue.” Ujarnya kembali mengenang masa lalu.
Aku tertawa mendengar komentar Rafael. Memang dulu bisa dibilang aku hidup hemat. Bukannya Papa Vincent tidak menafkahiku, tapi aku berusaha menabung karena aku tau kalau Papa Vincent tidak akan memberikanku modal untuk membangun usaha jasaku. Kalau ada pertanyaan yang bilang, berarti aku juga bisa bisnis? Jawabannya ya. Tapi itu bukan minatku. Aku ingin mendesain tanpa mau dipusingkan dengan urusan bisnis. Lagipula Dreamweaver Interiors juga punya Sofia, kan, sebagai manajer. Dia mulai bergabung saat Dreamweaver Interiors sudah menerima jasa selama dua tahun.
“Masih inget aja, Raf.”
Rafael mencibir. “Ya iya lah, ingat. Alat gambar gue selalu cepet habis karena siapa?”
Aku terkekeh. “Nanti gue traktir deh buat ganti yang dulu.”
“Beneran, yak?” Ujarnya antusias.
Aku mengangguk dan tertawa melihat reaksinya. Interaksi kami masih sama saat terakhir kali kami bertemu.
“Eheemm..” Suara deheman dari seseorang menginterupsi kami.
Aku menoleh dan mendapati Cassian dengan wajah yang datar menghampiri kami. Ekspresinya sangat berbeda saat bersama dengan teman-temannya.
“Pak Cassian. Apa kabar?” Seru Rafael pada Cassian dengan ramah sambil menjulurkan tangannya, mengajak bersalaman.
Cassian tersenyum sopan dan membalas jabatan tangan dari Rafael. “Baik, Pak Rafael.”
“Kalian saling kenal?” Ujarku sambil tersenyum aneh.
Cassian mengangguk, sementara Rafael memutar bola matanya. “Yaelah, Ave. Kan udah dibilangin tadi.”
Aku meringis saat mengingat pembicaraan kami tadi. “Maksudku, kenapa kak Ian bisa kenal Rafael?”
“Kami bertemu beberapa kali untuk urusan bisnis.” Jawab Cassian.
Aku mengangguk mengerti dan menatap Rafael. “Ah.. Lo deh kayaknya yang sultan, Raf.” Ujarku menggodanya sambil menaik turunkan alisku.
Rafael tertawa ringan. “Really? Tapi bukan berarti lo lupa bakal traktir gue, kan?.” Ujarnya dengan setengah mengejek.
Aku memutar bola mataku. “Iya iya sih. Kabarin aja.”