Mentari belum terbangun dari tidurnya, tapi Fani sudah siap dengan ransel di punggung. Tidak sabar menunggu langit berubah terang. Ransel yang berbahan serat daun yang dibawanya lebih berat dari awalnya, berkat Laura dan teman-teman Fani.
Mereka panik begitu mengetahui Fani akan keluar taman untuk menjalankan misi. Laura memaksa Fani berjanji untuk membawa sweater rajutannya, bekal minum dan makanan dalam jumlah berlebih. Meira membawakan sepotong jamur bulat penuh air segar sebagai bekal. Fleur lebih ekstrim lagi, membawakan setumpuk gaun warna-warni sebagai ganti.
Bahkan Jemima, peri magnolia dan sahabat baik Fani, membawakan bingkisan dari Ratu Almira. Sebuah kompas ajaib yang akan memandu arah menuju tujuan. Jemima membawa pesan Ratu Almira agar Fani terbang sesuai petunjuk kompas supaya tidak tersesat.
‘Padahal tersesat terdengar lebih seru!’ batin Fani nakal.
Dan pikiran nakal itu masih belum menguap dari dalam kepala Fani. Begitu mentari mulai terbangun dan pendar sinarnya menghujani bumi selapis demi selapis, Fani mulai mengepakkan sayap, melayang pelan di atas barisan bunga warna warni. Berhenti sebentar di pagar besi yang membatasi taman kota dan jalan raya, mengambil napas dalam-dalam. Lantas kembali terbang tanpa melihat kompas.
Fani merasa sudah terlalu siap untuk petualangan mendebarkan. Dia ingin mencari jalan menuju tujuan dengan caranya sendiri. ‘Bukankah tersesat adalah bagian paling mendebarkan dari petualangan?’
Setelah Fani terbang lurus ke arah tenggara selama beberapa lama, kota Lorina mulai terbangun. Orang-orang hilir mudik dan berbagai kendaraan melaju di jalan raya yang memanjang membelah di antara deretan rumah dan berbagai bangunan lain. Melihat-lihat kota yang makin ramai merupakan pengalaman menyenangkan bagi Fani. Sayangnya, Meira benar. Sayap peri punya batas, terlebih peri belum dewasa seperti Fani.
Ia kelelahan setelah hampir setengah hari terbang, memutuskan untuk beristirahat di bawah naungan daun tanaman forget me not berbunga kecil-kecil wana biru muda yang dengan manisnya menghiasi teras depan sebuah tempat makan. Sayapnya terasa kebas akibat terlalu lama terbang. Perlu waktu setidaknya satu jam untuk pulih. Sudah lewat tengah hari, sementara Fani belum menemukan gadis kecil berambut merah.
Fani mendesah panjang sambil mengedar pandangan kembali ke jalanan. Rumah-rumah berbagai warna berjajar di kedua tepi jalan, berukuran hampir sama, dan memiliki halaman kecil yang berhias empat atau lima tanaman bunga. Beberapa rumah dihiasi pot-pot di tepi bawah jendela yang berada di lantai dua. Beberapa toko dan tempat makan yang berdesakan di antara barisan rumah terlihat makin ramai pengunjung.
‘Sepertinya aku harus mengakui kalau aku tersesat tanpa menemukan satu pun petunjuk tentang gadis kecil berambut merah,’ pikir Fani. Ia merogoh isi ransel, mengeluarkan bekal dan kompas ajaib dari Ratu Almira. Membukanya sambil menggigit bibir bawah.
Sebatang jarum keemasan terlihat mengambang di dalam kompas tanpa petunjuk arah mata angin. Jarum itu bergerak-gerak sebentar, berputar. Tepat saat Fani hendak menggerutu melihat tingkah jarum kompas udik itu, sang jarum berhenti, menunjuk ke satu arah dengan tegas. Fani mendengus menyadari arah yang ditunjuk jarum. Barat daya, arah dia datang tadi.
“Aku terbang terlalu jauh rupanya,” gumam Fani sambil mengunyah potongan mulberry yang dibungkuskan Laura.
Saat tatapan Fani kembali menelusuri jalan raya, dia menangkap sosok yang dikenali. Fani si peri kecil segera menyembul keluar dari balik daun forget me not, mengamati gadis berambut merah di dalam sebuah bus sekolah berwarna kuning. Tidak salah lagi.