Tawa Ailsa meledak mendengar pertanyaan Fani. Dia memang masih duduk di bangku kanak-kanak, tapi sepertinya Fani jauh lebih polos darinya.
“Itu jelas mustahil, kan?”
Fani mengangguk. Benar, memang mustahil. “Keajaiban peri hanya untuk membantu, bukan memberi kehidupan,” gumamnya. “Terus bagaimana?”
“Mudah saja. Kita hanya perlu membuat Papa-ku menikahi seseorang untuk menjadi Mama-ku!”
Fani mengerjap bingung. Yah, peri terlahir dari dalam bunga jadi mereka tidak mengerti mengenal mama.
“Begitukah?”
Ailsa mengangguk, mata birunya berbinar-binar. “Iya! Damian dan Felicia, teman-teman sekelasku, juga mendapatkan Mama baru karena Papa mereka menikah lagi.”
“Aah …” Mata Fani ikut berbinar. Ia mulai bisa melihat solusi untuk menyelesaikan misinya. Tapi sepertinya ia tidak akan bisa menyelesaikannya sendirian. “A-apa kau mau membantuku, Ailsa?”
Ailsa mengangguk. “Tentu. Itulah gunanya teman, bukan?” ujarnya sambil memasang senyum lebar dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
‘Teman,’ batin Fani mengulangi kata yang diucap Ailsa. Dia belum pernah mendengar tentang manusia yang berteman dengan peri. Malah, Ratu Almira berpesan untuk menghindari manusia. Berteman dengan Ailsa berarti Fani melanggar pesan Ratu.
‘Tapi Ailsa anak baik. Dia bahkan bisa mendengar suara peri.’
Fani mendekat dan menyambut uluran tangan Ailsa. Mereka tertawa kecil, terkesima pada pertemanan tidak terduga yang dijalin. Berteman dengan seorang peri, Ailsa yakin teman-temannya pasti akan terkejut jika tahu.
Mereka membicarakan mengenai rencana pencarian mama baru untuk Ailsa, hingga mata Ailsa akhirnya terkatup tak kuat menahan kantuk. Melihat Ailsa yang tertidur di kursi belajar dengan kepala jatuh ke lipatan tangan di atas meja, Fani pun mengayunkan tongkat sihirnya ke arah selimut di atas ranjang. Cahaya kuning lembut berpendar pelan dari ujung tongkat ke arah yang ditunjuk. Satu ayunan tongkat peri Fani membuat selimut warna ungu muda itu perlahan melayang di udara. Fani menggerakkan tongkatnya dan membuat selimut terbang mendekat dan menutupi tubuh Ailsa.
***
Pagi terasa datang lebih cepat dari biasanya karena Fani dan Ailsa tidur hingga larut malam. Seperti biasa, Fani terbangun begitu sinar matahari pagi menyapa. Ia mondar mandir sendiri di kamar Ailsa selama beberapa saat. Karena tidak tahan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa, Fani mulai merapikan kamar Ailsa yang hampir sama berantakannya dengan sarang goblin di ruang sebelah.
Setelah kamar Ailsa bersih, Fani terbang ke arah jendela lantas duduk di bingkai bagian bawah. Ia membuka ransel dan mengambil bekal yang disiapkan Laura. Untunglah Laura membungkuskan banyak bekal, batin Fani sambil menikmati sarapan. Ia mengayunkan tongkatnya pelan untuk membuka tirai jendela sehingga berkas-berkas sinar matahari dapat memasuki kamar Ailsa.
Tidak berapa lama, suara langkah familier terdengar menaiki tangga ke lantai dua.
“Ailsa … ? Tuan Smith?” Suara bibi Maurel memanggil-manggil. “Kalian belum bangun?”