Preview Bab Sebelumnya :
Episode sebelumnya mengisahkan bahwa Pak Jono dan Budi kini berada dalam misi rahasia dari BIN untuk menyelamatkan resep es cincau legendaris, tanpa sengaja menemukan jejak dari organisasi "Konsorsium Hitam" di sebuah warung sederhana. Kecurigaan mereka berdua terhadap kedua pedagang tersebut terbukti benar, dan dukungan dari warga kota Garut semakin menguatkan tekad mereka berdua.
Sekarang kita memasuki cerita utamanya.
Setelah cukup lama Pak Jono dan Budi membaca buku sembari mencari informasi mengenai resep rahasia tersebut, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk keluar dan menuju tempat selanjutnya.
Namun,tiba-tiba saja, terlihat Rizal dan Darto muncul dari balik mobil truk, kemudian menyerang Pak Jono dan Budi secara bersamaan. Kemudian dari dalam gerobak siomay batagor dan es dung-dung mereka mengeluarkan senapan mesin dan menembakkan ke arah mereka berdua.
Terlihat terjadi baku tembak yang cukup dahsyat, mereka pun melompat dan berlindung dibalik tembok dekat Ruko kosong depan perpustakaan tempat mereka berdua mencari informasi terkait keberadaan benda tersebut.

" Ternyata dugaanku selama ini tidak meleset, mereka berdua ini memang bukan orang biasa.." kata Budi sembari merunduk menghindari puluhan peluru yang mengarah kepadanya.
" Tenang saja mas, kita ikuti saja dulu permainannya setelah itu baru giliran kita bergerak " Jawab pak Jono dengan santai sembari merunduk.
"Lebih baik menyerah saja .. kalian semua tidak mungkin bisa menang melawan kami " ujar Darto lalu diaminkan oleh Rizal.
Setelah peluru mereka habis, kini Rizal mengeluarkan sepasang pisau belati yang berkilauan tajam, sementara Darto mengeluarkan sepasang tonfa yang terbuat dari kayu keras. Ekspresi Rizal penuh dengan keangkuhan, senyum licik terpatri di wajahnya saat ia berputar-putar, pisau belati di tangannya siap melayang. Darto, dengan ekspresi dingin dan penuh perhitungan, bersiap dengan tongkat besi dobel atau tonfa-nya, siap memberikan serangan mematikan.
Dengan ekspresi tenang,Pak Jono mulai mengeluarkan serbet dari sakunya. Dengan cepat, ia membentangkan serbet tersebut kemudian secara otomatis berubah atau lebih tepatnya membesar menjadi sebuah tameng untuk melindungi dirinya dari serangan Rizal.
Ekspresinya tenang, namun sorot matanya terlihat sangat tajam, mencerminkan pengalamannya dalam menghadapi berbagai situasi berbahaya. Ia menunggu kesempatan yang tepat untuk membalas serangan.
Dengan perasaan tenang namun penuh percaya diri, Mas Budi mulai mengeluarkan pulpen dan pensil dari saku celananya.