Malam terasa panjang dengan derita yang memilukan. Tiada hendak menginginkan malam buruk itu terjadi. Namun siapa yang bisa memprediksi kejadian beberapa menit kemudian? Ini bukan prakiraan cuaca. Berteman dengan malam menjadi pilihan untuk bertahan. Malam segeralah berganti pagi karena malam yang ini tidak ingin dilewati oleh siapapun, tidak juga hewan nokturnal. Makhluk itu memang berteman dengan malam. Namun, bisa saja ia memilih menghindar dari gelapnya malam neraka ini mencari tempat terang yang lebih aman untuk bisa berdiam lama.
Malam durhaka justru mengerang di saat hidup sedang diuji. Menangis bukan untuk menunjukkan kelemahan. Berlari di kegelapan malam menjadi pilihan yang tidak bisa ditawar.
Warni, perempuan mawar sharon yang bersemerbak di malam panjang yang harus dilewati. Pagi yang ia rindu akan menjadi surga yang dinanti. Pekerjaan kecil yang ia lakoni setiap hari berkutat dengan sabun, air, sikat dan setrika. Yang kecil itu yang menghidupinya dengan putri semata wayangnya Silvi yang berusia sembilan tahun. Keterampilan menggoyangkan tangan menjadi kekuatan nafkah untuk bisa terus hidup. Benar, dia memang perempuan. Siapa menduga, perempuan beralis tebal, berbibir tipis, berleher jenjang, bermata bulat dengan lentiknya bulu mata itu menjadi kerapuhannya. Ia sama sekali tidak pernah menutupi wajahnya dengan bedak. Namun perempuan berkepala tiga itu memiliki paras yang aduhai menawan yang tidak semua perempuan miliki. Paras yang elok seharusnya disyukuri, namun tidak dengan Warni. Paras itu membuatnya tersiksa.
Seperti biasa, jam sembilan pintu akan diketuk oleh Esti, tetangganya yang selalu menitipkan anak perempuannya Yulika kepada Warni. Anak perempuan itu selalu disambut baik oleh Warni. Berkerja menjadi alasan bagi Esti meninggalkan anaknya dari malam hingga subuh.
“Warni, titip Yulika, ya!” ujar Esti mengedipkan matanya sebelah.
Yulika anak Esti yang berusia delapan tahun itu mencium telapak tangan ibunya dengan mata yang sayu akibat mengantuk. Esti memeluknya dan mencium pipinya hingga meninggalkan noda lipstick. Esti mengusapnya dan tertawa kecil sembari melangkah meninggalkan rumah Warni yang letaknya bersebelahan. Warni membaringkan Yulika di samping Silvi. Rumah kerdil semi permanen itu hanya ada satu kamar sempit berukuran 2x3 meter. Biasanya setiap hari Rabu, Warni dan anaknya tidur di dalam kamar karena Yulika akan menghabiskan malam bersama Esti ibunya. Namun apabila Yulika berada di rumah itu, mereka akan tidur di ruang tamu yang ukurannya setengah meter lebih panjang dari kamarnya. Panasnya malam membuat Warni mengambil kain sarung untuk mengipas ke dua anak itu agar tidak keringatan. Belum lagi aroma obat nyamuk bakar membuatnya terbatuk.
Esti perempuan muda berusia tiga puluh tahun-an yang dikenal Warni beberapa bulan lalu setelah ia pindah ke pemukiman liar ini. Kulitnya yang putih mulus, pinggangnya yang ramping, rambutnya yang lurus sebahu, wajahnya yang tirus membuatnya seringkali digoda para lelaki di daerah ini. Gayanya yang genit menarik perhatian para lelaki. Beda halnya dengan Warni, tanpa menarik perhatian lelakipun, ia mempunyai daya tarik yang bisa menghipnotis siapapun yang melihatnya.
Dua jam setelah Esti pergi, aroma asap memenuhi rumah itu. Aroma ini bukan seperti aroma obat nyamuk bakar tapi lebih ke aroma kayu terbakar. Tebalnya asap bak awan cumulonimbus menyelimuti rumah itu. Kebakaran diawali dari rumah Esti dan kemudian merambat ke rumah Warni yang mana rumah semi permanen itu memiliki dinding yang sama. Rumah itu dengan cepat membakar hampir semua bagian rumah. Warni masih terlelap akibat kecapekan seharian penuh bekerja. Tak lama, Warni membuka matanya, ia menggoyang kepalanya pelan untuk memastikan apa yang sedang ia lihat. Aroma asap membuatnya bangkit dari tidur. Ia teriak sekuat-kuatnya untuk membangunkan ke-dua anak itu dan menarik mereka keluar.
Papan penyangga rumah yang sudah habis dilalap api itu terjatuh dan mengenai lengan kiri Warni. Ia kembali teriak untuk meminta pertolongan. Seketika beberapa warga keluar dari rumah mereka dan menyaksikan si jago merah sudah melalap kediaman mungil milik Warni dan Esti. Warga berbondong-bondong membawa ember berisi air untuk mengurangi kobaran api. Ada yang langsung menyemprotkan air dari selang depan rumah mereka untuk memadamkan api.
Warni terduduk di tanah menyaksikan kobaran api yang yang sudah menelan rumah miliknya. Ia memeluk erat ke-dua bocah itu dengan air mata yang berderai sehingga membasahi baju anak-anak itu. Rumah itu kini tinggal abu dan arang. Asap tebal yang tadinya mengepul kini hanya tinggal asap tipis. Tidak ada barang yang bisa diselamatkan dari rumah itu. Memang tidak ada barang berharga milik Warni di dalam rumah itu. Sebaliknya, Esti memiliki beberapa perabot yang cukup lengkap, seperti: televisi, kulkas, lemari kaca, kipas angin. Entah apa yang akan terjadi saat Esti melihat rumahnya terbakar habis setelah ia pulang kerja. Satu persatu warga yang membantu memadamkan api kembali ke rumahnya masing-masing. Warni hanya pasrah dengan keadaan yang menimpanya. Ia masih mengapit ke-dua anak itu dengan ke-dua lengannya.
“Kenapa harus rumah kami yang terbakar? Kenapa?” teriak Warni mengacak rambutnya dan menghentakkan ke-dua tangannya di tanah.
“Bu ...” Ujar Silvi memegang pipi Warni, “lengan ibu terbakar”
“Ndak apa-apa, Sil. Cuma sakit sedikit,” ujarnya meringis menahan pedih. “Maafkan, Ibu ... Ibu ndak bisa mengambil photo ayahmu. Sekarang photo itu sudah hangus. Padahal cuma itu yang tersisa untuk mengingat ayahmu”
Silvi hanya menangis di pelukan Warni. “Apa lagi yang bisa mengingatkanmu sama ayah, Sil?”
“Bu ... jangan nangis lagi ” ujar Silvi tersedu.
Rosma sahabat Warni datang menghampiri setelah mendengar suara riuh warga. Warni dan Rosma sudah saling mengenal lebih dari sepuluh tahun. Pertama kali mereka bertemu saat sama-sama bekerja di pabrik garmen dan berlanjut hingga sekarang.
Rosma tidak bisa menahan airmatanya melihat rumah Warni yang hanya tinggal arang. Rosma memeluk Warni dan ke-dua anak itu.
“Lihatlah, Ros. Malangnya hidup janda satu anak ini”
“Shhh ... “ ucap Rosma memegang erat tangan Warni.
“Ndak ada yang tersisa, Ros, semua ludes”
“Kau dan anakmu masih selamat, Ni. Di mana Esti?”
“Dia kerja, tiap malam ia menitipkan Yuli samaku, Ros”
“Walah, Ni ... sabar ... Malam ini, kau tidur di tempatku ya” tukasnya memeluk Warni erat.