“Kenapa kita pergi dari rumah tante Rosma, Bu?”
Warni terdiam, ia tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa agar Silvi mengerti dengan keadaan terjepit yang Warni alami.
“Bu, kok nangis?” Tanya Silvi menatap ibunya sambil berjalan berpegangan.
“Ndak ... Ibu ndak nangis. Kalau saja ada ayahmu, Nak. Kita tidak akan susah kayak gini”
“Sekarang kita mau ke mana, Bu?”
“Ke tempat tante Esti” ujar Warni dengan senyum tipis yang ia tebar kepada ke-dua anak itu.
Dengan langkah yang cepat, mereka melewati malam yang gelap tanpa lampu jalan yang menerangi. Angin malam yang dingin menemani langkah mereka dengan suara tikus got berkeliaran di jalan. Sebagian sudah terburai ditabrak oleh kendaraan yang lalu lalang. Sementara kucing hitam liar hanya melenggak angkuh menuju sisi jalan yang lain.
“Jangan terlalu cepat jalannya, Bu. Yuli capek. Kaki Yuli sakit kena batu, Bu”
“Silvi juga capek, Bu”
“Sebentar lagi sampai”
Setelah beberapa menit berjalan dengan langkah yang cepat. Tibalah Warni dan ke-dua anak itu di tempat karaoke yang pernah Esti ceritakan.
“Tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana ... Ibu masuk dulu”
Warni mendorong pintu karaoke itu dengan hati-hati. Ia berdiri di atas keset kaki di depan pintu masuk. Tidak pantas menginjakkan kaki yang kotor di lantai yang bersih. Itu akan menambah beban kerja tukang bersih-bersih di tempat itu akibat jejak kaki yang menempel di lantai.
“Ada Esti?” tanya Warni kepada seorang karyawati yang menatapnya tajam.
“Situ mau apa?” tanya perempuan itu sambil memperhatikan Warni dari atas ke bawah berkali-kali. Perempuan itu mencibir dengan wajah sinisnya.
“Esti ... Cewek putih langsing”
“Tak ada yang namanya Esti” ujar perempuan itu menggeleng sembari melipat ke-dua lengannya di dada.
“Tapi ... Esti kerja di sini, kan? Apa kamu ndak kenal dengan Esti?” Tanya Warni heran dengan kening yang berkerut.
“Tak ada yang namanya Esti di sini. Apa masih kurang jelas?” Sahutnya dengan nada tinggi.