Misogini

Elisabeth Purba
Chapter #8

#BAB 7 Dihakimi dan Dibela

Tibalah mereka di pemukiman liar tempat mereka tinggal. Warga sudah menunggu kedatangan Warni dan ke-tiga pria itu. Mereka sudah tidak sabar untuk menghakimi Warni. Semua mata tertuju pada Warni, seakan mereka ingin menguliti Warni malam itu. Beberapa orang meneriaki Warni sebagai perempuan pembunuh. Beberapa warga meminta Warni di lempar ke tengah lapangan. Warni ditarik Randi turun dari sepeda motor. Randi menghempas tubuh Warni ke tanah.

“Berdiri!”

Warni masih duduk di tanah. Randi meletakkan kakinya di bokong Warni dan menendangnya berkali-kali agar Warni mau berdiri. Warni dikelilingi oleh warga dengan sorakan kata-kata kasar. Warni menutup telinganya dan tertunduk duduk di tengah lapangan sambil menutup wajahnya di ke-dua lututnya. Salah seorang perempuan paruh baya bernama Deli, bertubuh gempal, pendek dengan make-up tebal di tengah malam seperti ini meneriaki agar Warni di telanjangi.

“Kok diam semua? Kau Siti, Mila, teriaklah ...” Teriak Deli melempar Warni dengan kerikil beberapa kali. Tambahnya lagi, “telanjangi Warni!”

“Atas dasar apa Warni mau ditelanjangi? Haa? Apa? Tak tahu malu ngomong seperti itu. Apa untungnya kalau Warni ditelanjangi? Sebegitu bencinya kau Deli sama Warni?” ujar salah seorang perempuan bernama Kiyah.

“Kok jadi kau bela perempuan ini?”

“Aku bukan membela. Tapi kita harus tahu apa permasalahannya dulu. Bukan asal ngomong. Semua harus ada bukti”

“Warni kami bawa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bukan berarti seenak hati kita berbuat kasar kepada Warni. Lebih baik kita serahkan saja dia ke polisi” tukas Joni berapi-api sembari berdiri di depan Warni dan menarik tangan Warni untuk bangkit dari duduknya.

“Tidak, tidak usah, Warni layak dipermalukan di sini” ujar Deli keras. Tambahnya lagi dengan membusungkan dadanya dan telunjuk diarahkan ke atas, “pokoknya Warni harus ditelanjangi”

“Siapa kau yang berhak memutuskan?” Tanya Joni geram.

“Aku warga di sini, sudah sepatutnya aku memberikan suara”

“Haa ...  perempuan gila” sahut Joni.

Deli mulai melangkah mendekati Warni. Ia menarik Warni dan merobek leher baju Warni. Dengan tangan gemetar Warni menahan tangan perempuan itu agar menghentikan tindakannya. Warni menangis sejadi- jadinya. Ia berkata dengan suara serak, “Ndak, Bu ... ndak! Lebih baik lempari saya tapi jangan telanjangi saya”

“Kau harus bertanggung jawab atas kematian Rahmat. Kau layak diperlakukan buruk”

“Jangan asal bicara, Bu Del” tukas Kiyah sembari meletakkan ke-dua tangannya di pinggang.

“Buktinya dia melarikan diri, kalau bukan dia siapa lagi. Sudah sepantasnya dia dirajam mati. Perempuan gatal”

Warni tersungkur di tanah dengan rambut yang acak-acakan akibat di jambak oleh Deli. Tidak hanya sampai di situ, Deli meludahinya berkali-kali dan mengusap wajah Warni dengan tanah.

“Lalu Warni mau kita apakan? Ha? Mau dilepas? Heyyy ... kenapa semua diam. Apa kalian mau perempuan ini bebas?” teriaknya menarik rambut Warni lagi dengan beringas.

Tak lama, ketua RT pemukiman datang dan berdiri di tengah lapangan. Ia mengangkat ke-dua tangannya ke atas dan berseru, “warga harap tenang. Tidak ada yang boleh main hakim sendiri di sini”

“Hal ini tidak boleh dibiarkan. Ini sudah jelas-jelas si Warni yang salah, masa kita diam saja ada warga yang meregang nyawa akibat ulahnya. Bisa-bisa semua orang seenak perutnya melakukan hal seperti si Warni. Pokoknya nyawa ditukar dengan nyawa” Teriak Deli keras.

“Kita tidak boleh menyimpulkan hal itu. Apa ada yang melihat Warni melakukannya?” tanya Pak RT keras.

“Saya ... saya yang meihatnya. Saya melihat Warni keluar dari kamar mandi. Kebetulan si Rahmat tergeletak di lantai kamar mandi itu juga. Dan Warni buru-buru lari dari rumah itu” Ujar Soleh membabi buta.

“Ndak, Pak, aku ndak membunuh Rahmat. Aku ... ” Sahut Warni terputus.

Rosma mendengar keributan di tanah lapang. Ia mendengar nama Warni disebut-sebut. Selain itu suara tangisan juga menjadi perhatian Rosma untuk tahu apa yang terjadi di tanah lapang itu. Ia beringsut ke teras dan melihat Warni ada di sana. Dengan wajah datar, Rosma mendekati Warni. Ia memegang tangan Warni dan melepaskan penutup kepalanya untuk membalut leher Warni. Tak lama ia menarik rambut Warni sejadi-jadinya. Semua pada diam. Dia menampar Warni bertubi-tubi dengan geram. Ia meneriaki Warni dengan sebutan brengsek.

“Ini yang kalian mau dari Warni ‘kan? Ini? Ini?” teriaknya sambil menyeret Warni.

Warni hanya diam dan tidak melakukan perlawanan atas apa yang dilakukan Rosma terhadapnya.

“Aku sangat kenal dengan Warni. Sangat kenal dengan dia. Aku lebih mengenalnya dibanding suamiku. Aku akui Warni janda cantik. Tapi bukan berarti kalian semua seenak nya menuduh Warni membunuh suamiku.”

Lihat selengkapnya