Seorang tua bangka datang ke rumahku untuk menagih utang Bapak. Sialnya, Bapak yang sudah meninggal seharusnya sudah tenang tanpa harus mengungkit lagi utang-utangnya. Jujur, itu tidak salah. Yang salah adalah kenapa utang itu masih ada saat Bapak sudah meninggal.
Pak, pak, tidak pernah memberikan kami hidup enak, yang ditinggali malah utang sebesar sepuluh juta. Kebiasaan Bapak selama hidup membuatku muak. Bahkan pernah suatu kali di dalam doaku, aku minta Bapak supaya cepat mati. Untuk apa hidup kalau hanya bikin susah. Kebiasaan buruknya yaitu minum minuman keras, pergi ke perempuan malam dan berjudi. Ibu begitu sabar menghadapi sikap Bapak. Tapi menurutku Ibu begitu b*doh. Bagaimana mungkin Ibu bisa menghabiskan hidupnya dengan laki-laki yang memang tidak bisa diharapkan.
Ibu hanya bilang, syukur Bapakmu masih meninggalkan rumah ini untuk kita. Meski kalau hujan, akan membanjiri rumah ini karena atapnya berlubang. Apa yang mau disyukuri. Di syukuri untuk apa? Ini bukan syukur, ini namanya penderitaan. Tapi Ibu selalu bilang rezeki sekecil apapun harus tetap disyukuri. Di sela-sela Ibu membersihkan rumah orang kaya untuk membiayai hidup kami bertiga dengan adikku, Ibu juga jualan donat yang dititip di warung dekat rumah. Keseringan rugi, banyak yang tidak laku terjual. Kalau sudah tidak laku, sisa donat akan menjadi makan malam kami.
Balik ke cerita tentang kenapa aku harus terjun ke dunia balap liar. Orang yang mempiutangi Bapak, pria tua bangka itu bilang kepada Ibu, "kalau tidak sanggup bayar utang, bisa tuh anak gadisnya dijual."
Sontak Ibu berang. Ibu melemparkan teh yang masih hangat ke wajah laki-laki itu. Pria tua itu ngamuk-ngamuk dan mengancam akan mengusir kami dari rumah itu kalau utang tidak dibayar. Aku tidak mau tinggal diam meratapi utang Bapak. Dari situ aku bertekad untuk melakukan balap liar. Sekali menang dalam balap liar aku bisa mendapatkan uang tiga ratus sampai enam ratus ribu. Aku sudah beberapa kali menang dan menghasilkan uang tiga juta. Diam-diam aku memberikan uang itu kepada pria tua itu. Aku mengatakan kepadanya, kalau aku akan melunasinya. Bagaimanapun aku harus bisa melunasi utang Bapakku yang tak tahu diri itu agar kami bisa tinggal di rumah itu seterusnya. Kasihan Ibu yang harus menanggung kejahatan, keserakahan, kebejatan dan kekurangajaran Bapak. Bahkan aku tidak bisa mengingat satu hal baik yang Bapak lakukan terhadapku selama dia hidup. Dia lebih banyak mabuk dan marah-marah. Yang membuatku makin benci kepada Bapak saat Ibu di lempar pakai batu ulekan hingga mengenai kakinya. Beberapa hari Ibu tidak bisa jalan karena tulang pergelangan kakinya retak. Bukan itu saja, aku menyaksikan sendiri, Ibu ditendang berkali-kali kalau tidak memberikan uang kepadanya. Jadi kalau ditanya apa aku senang punya Bapak? Jawabannya tidak, aku syukuri dia mati. Kenapa tidak mati saja lebih cepat saat aku masih belum bisa bicara. Itu yang terlintas dalam benakku.
Awalnya aku kebingungan, mau pinjam sepeda motor dari siapa untuk balap liar itu. Aku meminjamnya dari Joki, laki-laki beristri yang tingkat kegatalannya ampun. Ia rela meminjamkannya asalkan aku rela ditidurinya. Aku tidak menolak. Aku mengiyakannya tanpa pikir lama. Toh hanya ditiduri sekali saja. Biarkan dia menikmati ragaku sebentar, aku bisa memanfaatkannya kapanpun aku mau. Ia meminjamkan motor itu untuk tiga bulan. Bukan hanya itu, bahkan ia memberikanku uang lima puluh ribu untuk mengisi bahan bakar setiap minggu.