Warni dan Esti meninggalkan pemukiman itu. Mereka saling diam. Hingga beberapa ratus meter mereke berjalan, Esti berkata sambil mengguncang tubuh Warni, “Ni, katakan di mana anakku”
“Tenanglah, anakmu aman”
“Aman? Di mana mereka?”
“Diamlah, ini kita mau menjemput anakmu dan anakku”
“Ke mana?”
“Ikut saja, mulutmu diam”
“Apa kau gila membakar rumah, Ni?”
“Aku ndak seb*doh itu, Es. Aku ndak tahu apa yang terjadi ... kami tertidur dan tiba-tiba aku terbangun dan rumah sudah penuh asap. Apalagi rumah kita terbuat dari papan, sangat cepat menyebar apinya, Es”
“Apa anakku baik-baik saja?”
Dari kejauhan Warni melihat dua orang pria tadi yang membuang mayat. Warni menarik tangan Esti dan bersembunyi di balik pohon besar.
“Siapa mereka, Ni?”
“Shhh”
“Bilang, Ni, siapa mereka?”
“Karena merekalah aku meninggalkan anak-anak di sana. Ahhh ... aku harap mereka ndak kenapa-napa, Es”
“Apa yang terjadi, Ni?”
“Aku melihat pria itu membuang mayat ke tempat sampah”
“Ni ... jangan buat aku merinding”
“Betul, Es ... itu memang kenyataannya”
“Ahhh ... jadi ... Yuli dan Silvi sekarang dekat mayat itu? Apa pembunuh itu tahu kalau mereka di sana?”
“Ndaklah, Es. Ndak mungkin aku biarkan anak-anak dekat dengan mayat itu. Bisa mati ketakutan mereka. Mereka ada di tempat aman tapi ndak jauh dari kejadian tadi. Aku minta mereka untuk tidak keluar dari tempat itu sebelum aku datang”
“Sekarang kita harus gimana, Ni?”
“Tunggu keadaan aman”
“Gimana mau aman, Ni. Tuh lihat sudah ada dua orang laki-laki yang mengincarmu”
Tak lama sebuah mobil hitam SUV berhenti di depan mobil sedan hitam. Esti kenal betul dengan mobil SUV itu. Ia pun gemetar sesaat laki-laki yang mengejarnya itu turun dari mobil.
“Siapa lagi itu?” Tukas Warni pelan dengan kening berkerut.
“Lah, bukannya itu ...” ujar Esti mangap.
“Apa kau kenal juga dengan pembunuh itu?”
“Nggak” jawabnya menggeleng.
“Ndak mungkin. Siapa dia? Katakan”
“Uhhhh ... aku hampir mati malam ini, Ni”
“Maksudmu?”
“Aaah ... entahlah”
“Kalau kau ndak cerita, gimana aku bisa tahu”
“Aku dikejar-kejar sama laki-laki yang keluar dari mobil biru itu, Ni”
“Kenapa kau dikejar-kejar? Kau mencuri?”
“Ni ... ini tidak ada kaitannya dengan mencuri”
“Lalu apa?”
“Aku menolak pria itu”
“Lah ... ndak masuk akal kamu, Es. Tampan begitu kok ditolak”
Di ujung pandangan Warni, ia terpaku di suatu tempat yang membuatnya teringat akan masa lalunya. Tempat itu sudah tutup di jam-jam rawan begini. Tempat itu menjadi saksi bisu kisah hidupnya bersama mendiang suaminya Irwan.
Warni menunjuk ke arah warung nasi tempat pertama kali ia bertemu dengan Irwan. Warni membuka keheningan dengan berkata, “kau tahu, Es, itu tempat pertama kali aku dan Irwan suamiku bertemu. Di situ juga aku bertemu dengan Joni. Mereka berteman”