Di mana lagi Joni akan mencari Warni? Entah ada di mana Warni sekarang? Joni pergi menyusuri malam yang dingin dengan embun tipis yang mengenai kepala. Rasa pusing yang ia alami membawanya kepada pusat kendali untuk berandai-andai tentang keberadaan Warni dan Esti. Khayalannya membawanya dekat dengan Warni. Malam seakan bermain teka-teki dengan apa yang akan terjadi pada diri Joni setelah ini. Joni seperti ingin menangkap angin, namun ia terbawa suasana malam yang dingin, hingga ia menggigil dan menyebut nama Warni berkali-kali. Ingin menjadi pahlawan sesungguhnya menyelamatkan Warni dalam ketidakberdayaan.
“Ni, kamu di mana?”
Bertahun sudah berlalu dalam rasa yang tidak berpihak. Joni tidak bisa meraih hati Warni. Tidak ada tempat yang pantas buatnya. Cinta yang ditanam Irwan masih saja mengakar kuat di hati Warni. Hati seperti apa yang dimiliki oleh Warni hingga tidak ada celah sedikitpun yang bisa masuk untuk menerangi. Atau memang cahaya itu masih terang benderang, hingga Warni tidak butuh cahaya lain. Begitu kuatnya cahaya itu, hingga Joni tidak bisa meraihnya, meski apapun dilakukannya, Warni tetap saja menolak.
Pernah suatu ketika, Joni membelikan Warni sebuah TV yang ia antar langsung ke rumah Warni. Joni merasa kasihan melihat Warni yang selalu menumpang untuk menonton di tempat tetangga. Hadiah itu tidaklah berlebihan. Itu hanya ungkapan simpatik Joni kepada Warni sebagai sahabat mendiang suaminya. Saat itu Warni tidak ada di rumah. Silvi yang menerima hadiah itu. Silvi sangat senang, hingga ia bertepuk tangan dan tertawa riang. Sepulangnya Warni, dia terkejut melihat Silvi yang sedang berbaring menikmati tontonan film anak-anak. Warni berang saat Silvi mengatakan bahwa TV itu dihadiahi oleh Joni. Warni melepas kabel antena dari TV itu. Kemudian ia ke luar untuk mengambil antena yang tergantung di sela-sela ventilasi. Silvi hanya diam dan murung menyaksikan ibunya bertingkah seperti itu. Silvi masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur tipis yang belum diberi alas. Warni membawa TV itu dan antena yang diberikan Joni. Warni teriak memanggil nama Joni berkali-kali. Joni mengintip dari balik jendela kaca, ia tidak ingin membukakan pintu untuk Warni. Namun, Warni dengan emosi yang berlebihan, menendang pintu rumah Joni. Reaksi Warni yang berlebihan, membuat Joni tidak nyaman. Ia pun membukakan pintu. Tanpa berkata apa-apa, Warni meletakkan TV dan antena itu tepat di depan kaki Joni. Warni menggeleng dan menatap Joni penuh amarah dengan denyut jantung yang berdebar kencang. Tanpa pikir panjang, Joni pun tersulut emosi hingga TV itu ia injak berkali-kali hingga hancur. Joni berusaha untuk mendekatkan dirinya kepada Warni dengan berbagai cara, namun Warni tidak berniat sekalipun untuk menerima kebaikan Joni. Kemarahan Warni betul-betul masih ia genggam erat. Rasa benci itu hingga kini belum juga pudar. Warni yang keras kepala selalu menyudutkan Joni. Entahlah, sampai kapan Warni bertahan dengan kebenciannya terhadap Joni.
***
“Ada suara langkah kaki, Ni”
“Siapa lagi nih”
Tak lama suara itu memanggil nama Warni dengan lembut.
“Ni ... ini aku Joni”
Warni dan Esti keluar dari persembunyian.
“Kenapa di sini?”
“Aku mau menjemputmu, Ni. Tidurlah di tempatku malam ini”
“Ndak perlu, Jon” jawab Warni menggeleng.
“Tapi, Ni. Kalian akan tidur di mana? Tempat tinggalmu sudah tidak ada”
“Banyak tempat untuk tidur, Jon. Sekarang aku mau mencari anakku dan anak Esti. Aku takut mereka ditangkap orang jahat”
“Aku ikut” ujar Joni mengikuti langkah Warni dan Esti.
“Di mana tadi terakhir kali kau tinggalkan mereka, Ni” Tanya Esti penasaran.
“Tuh, di parit”
“Parit?
“Hmmm”
“Biar aku yang turun ke parit itu” Tukas Joni.