Warni tersadar dari komanya setelah berjuang dengan maut selama sepuluh hari. Luka pada tubuhnya sudah mulai kering namun dipenuhi jahitan. Silvi selalu menemani Warni selama berada di rumah sakit. Tiap malam ia selalu mengusap lembut punggung tangan ibunya itu dan memanjatkan doa setiap hari. Doa yang ia minta begitu sederhana, ‘bukalah mata ibuku, Tuhan’ Silvi yang tertidur dengan kepala yang ia letakkan di kasur ibunya itu mendapatkan elusan hangat dari ibunya. Bukan main kebahagiaan Silvi, saat ia membuka matanya. Ia melompat kesenangan dan menciumi ibunya berkali-kali hingga ia lupa bahwa luka pada wajah ibunya masih terasa sakit. Silvi teriak penuh haru dan berujar, “ibuku masih hidup” Doa itu terjawab dengan indah.
Warni menciumi Silvi tanpa henti. Warni hendak mengatakan sesuatu kepada Silvi, namun ia tidak bisa menggerakkan mulutnya. Tidak satu katapun mampu ia utarakan. Ia mencoba lagi. Namun gagal, hanya suara ‘eh eh eh’ yang terdengar sayup.
“Kenapa, Bu? Ibu mau bilang apa?” tanya Silvi menatap ibunya dalam. Warni menggeleng dan mengusap tangannya di pipi Silvi.
Mendengar kabar Warni sudah siuman, Rosma menjenguknya. Airmatanya berderai hebat menyaksikan Warni penuh dengan jahitan di wajah.
“Kau sudah siuman, Ni?” Tanya Rosma masih dengan pipi yang basah.
Warni hanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Tak kuasa menahan haru, Warni memeluk Rosma dengan erat.
“Gimana keadaanmu, Ni?”
Silvi menarik tangan Rosma pelan dan membawanya keluar dari ruangan itu. Silvi menunduk kaku sambil sesekali memandang Rosma.
“Kenapa, Sil? Katakanlah”
“Ibuku ...”
“Kenapa dengan ibumu? Kau pasti senang, ibumu sudah sadar, ya ‘kan?”
“Hmmm ... Tapi ... Ibuku tak bisa ngomong lagi, Bu”
Rosma menyentuh ke dua pipi Silvi dan berkata, “Siapa yang bilang, Sil?”
“Dokter, Bu”
“Jadi ... kabar bahwa lidah ibumu dipotong itu benar?”
“Benar, Bu Ros. Lidah ibu dipotong. Ibu tak bisa lagi ngomong”
“Ibu paham, kamu mau ibu nggak usah tanya apa-apa sama ibumu, kan?”
Silvi mengangguk pelan dan berkata, “Ya, Bu”
“Baiklah ... ibu akan diam”
Rosma mendorong pintu masuk ke ruangan Warni. Tanpa diduga, Warni sudah berdiri di balik pintu. Rosma memandang Warni sejenak dan kemudian tertunduk sembari menarik tangan Warni pelan untuk kembali berbaring di tempat tidurnya.
“Kenapa berdiri di situ, Ni? Berbaringlah lagi. Kau harus banyak istirahat untuk masa pemulihanmu”
Warni sudah tahu dari awal kalau ia sudah tidak bisa berbicara lagi. Namun tidak ada kekecewaan sama sekali yang ia tunjukkan. Ia tampak sabar dan menerima apa yang sudah ia alami. Namun tak lama, ia tersentak karena mengingat sesuatu. Ia memperagakan orang yang sedang menelepon. Ia bermaksud meminjam telepon Rosma. Awalnya Rosma bingung, untuk apa Warni meminjam telepon sementara ia tidak bisa berbicara. Rosma mengeluarkan ponselnya dari tas kecil yang ia bawa.
Rosma bertanya, “untuk apa?”
Warni seakan mengisyaratkan Rosma untuk bersikap ‘tenang’.
Warni mengetikkan di menu pesan, ‘mana Esti?’ sembari menunjukkan layar ponsel itu kepada Rosma.