Saat Warni menginjakkan kaki di pemukiman itu, banyak mata yang memandangnya sinis. Sebagian tidak peduli dan sebagian lagi menyambut Warni dengan senyuman hambar menanyakan yang sekadar hanya basa-basi. Bahkan sebagian ada yang tertawa dan mengatakan, “kenapa mesti takut lagi sama Warni ... tuh lihat wajahnya sudah hancur”
Yang lain mengatakan, “ya benar, mana mau lagi laki-laki sama dia”
Celoteh warga yang lain, “belum tentu, kalau laki-laki genit, bangkai sekalipun akan dinikmati”
Warni hanya mengangguk dan tersenyum tipis menanggapi warga ucapan warga di sana. Ia tidak bisa berbuat banyak. Diterima kembali untuk tinggal di sana merupakan keajaiban bagi dirinya.
Mendengar hal itu Rosma angkat bicara dan mengatakan dengan lantang, “apa maksud kalian berkata begitu? Bangkai? Kalian yang bangkai ... pantas saja suami kalian tidak betah sama kalian karena mulut kalian lebih bau dari bangkai”
“Hey, Ros, jangan asal ngomong, suami pun juga begitu dulu”
“Ya ... dulu ... sekarang dia sudah mati” ujar Rosma spontan.
Rosma menggenggam erat tangan Warni dan berujar, “tenanglah, Ni, jangan diambil hati. Anggap saja mereka tak waras”
Genggaman tangan Rosma benar-benar sudah menguatkan Warni. Warni harus bersikap masa bodoh mendengar ucapan miring warga di sana. Meski telinga jadi panas mendengar ocehan beberapa orang yang tidak penting itu.
Warni, Rosma, dan ke-dua anak itu berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah Rosma. Tak lama mereka berpapasan dengan pak RT. Beliau menyambut kedatangan Warni, Rosma dan ke-dua anak itu dengan memberikan ucapan salam.
Kepala RT menguatkan Warni dengan mengatakan, “jangan hiaraukan mereka, Bu Warni. Ibu harus kuat. Kalau ada apa-apa Ibu bisa langsung lapor bila ada warga yang bertindak kasar mengganggu kenyamanan Ibu”
Warni mengulurkan tangannya sebagai ucapan terima kasihnya. Begitu juga Rosma yang berujar mewakili Warni, “terima kasih, Pak. Kalau tidak ada Bapak, entah apa yang terjadi pada Warni”
“Tidak usah sungkan, Bu Rosma. Sebagai warga di sini, kita harus saling menghargai. Saya sudah melihat tindak tanduk perilaku Ibu Warni dan Ibu Rosma selama. Ibu berdua tidak pernah membuat keributan di sini, mereka saja yang merasa seperti itu. Sekarang pulanglah, Bu”
“Baik, Pak RT” jawab Rosma tersenyum.
Warni bercermin dan menyentuh semua luka yang ada di wajahnya. Ia mengepalkan tangannya dan hendak menghantamnya di cermin, namun dengan cepat Rosma mencegahnya.
“Kenapa, Ni? Kau masih tetap Warni yang kukenal dulu. Cantik, baik dan peduli”
Warni menggeleng dan kembali memegang wajahnya seakan mengatakan kepada Rosma bahwa wajahnya sudah mengubah segalanya. Ia bukan Warni yang dulu. Wajahnya kini cacat dan dihina banyak orang.
“Ni, kau harus tetap kuat. Kau jauh lebih beruntung dariku, Ni. Kau masih punya Silvi yang mencintaimu. Sedangkan aku siapa? Tidak ada tempatku untuk berkeluh kesah, Ni. Tidak ada. Kita akan sama-sama menghadapi ini, Ni. Kau, Silvi dan Yuli kini menjadi tanggung jawabku”
Warni menggeleng dan mengeluarkan suara tangisan lirih yang tertahan. Rosma menghapus bulir airmata yang sempat terjatuh dan berseru lembut, “tidak akan ada lagi airmata untuk kita, Ni. Semua akan kita jalani dengan kepala tegak.”