Lo boleh jadi teman bahkan sahabat gue. Tapi, cukup satu yang gue minta. Jangan usik apapun niat gue. Bunuh diri salah satunya!
-Laura Requildis-
💦
Elena berjalan menghampiri Laura yang tampak asik mengobrol dengan temannya. Hari ini ia menjemput Laura. Memastikan gadis itu tidak melakukan hal nekat karena ia baru saja keluar dari rumah sakit.
Laura yang menyadari kedatangan sang mama, lantas bergegas memakai tas nya, dan berpamitan pada Asha dan Aksa. Sedangkan Neandro sudah pulang sejak tadi.
"Gimana hari pertama sekolah kamu sayang?" Elena menggandeng tangan Laura yang masih di perban. Walau hanya perban tipis. Ia tidak mau ditatap tanya oleh orang-orang.
"Not too bad!" jawab Laura simpel.
Elena mengangguk senang. Setidaknya tidak ada masalah di hari pertama ia sekolah.
Sengaja Elena memasukkan Laura ke SMA Gunadhya. Agar ia dapat tahu keseharian putri nya di sekolah. Karena, ia punya akses penuh di SMA Gunadhya. Yah, bisa dibilang, itu adalah yayasan milik keluarganya. Elena menatap Laura. Putri cantiknya itu tampak tersenyum senang. Mungkin ada hal baik yang baru saja ia lakukan. Walau faktanya, Laura masih merasakan puas sehabis menampar senior kurang ajarnya itu. Hihihi.
💦
Laura menghempaskan tubuh pada kasur queen size miliknya. Ia baru saja sampai. Matanya berkeliaran menatap seisi kamar yang luas. Ia bosan dan bingung ingin melakukan apa. Laura menatap kamar mandi dengan pandangan malas. Ia lantas bangun, dan membuka lemari pakaiannya. Mengambil asal pakaian rumah miliknya. Lantas, berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti baju.
Tak sampai sepuluh menit, Laura sudah keluar dengan pakaian santainya dan muka yang tampak basah efek ia mencuci muka yang tadi terasa kotor menggunakan facial wash.
Laura kembali merebahkan tubuh di ranjang. Ia tampak sangat lelah. Matanya mulai terpejam. Ia mengantuk. Lantas, lima detik kemudian, ia mulai tertidur. Walau tampak pulas, nyatanya, ia tidak pernah merasakan nyaman. Bahkan dalam tidurnya.
💦
Plak!
Suara tamparan keras terdengar memekakkan telinga.
"Hiks! Papa..." tampak gadis usia lima tahun meringis sambil memegang pipinya yang terasa panas dan sakit.
Namun, pria paruh baya yang disebut papa itu tampak tidak peduli "jangan panggil aku papa! kamu bukan anakku!"
Pria itu berlalu pergi setelah meluapkan emosinya pada gadis itu. Gadis itu tampak meringkuk ketakutan. Tubuh kecilnya gemetaran menahan sakit, dan takut. Apa salahnya? Ia tidak pernah ingin dilahirkan di dunia ini. Jika hanya Tuhan berikan pukulan setiap harinya.
"Hiks! Aku mau mati Tuhan... Aku mohon!" kamar gelap itu menjadi saksi bisu. Keinginan besar Laura. Gadis cantik yang memendam sakitnya bertahun-tahun. Yang setiap harinya berdoa pada Tuhan. Agar Tuhan bersedia mengangkatnya dari dunia yang tak pernah adil untuk gadis sepertinya. Ia berumur lima tahun saat papa memukulnya tanpa alasan. Namun, papa selalu baik jika ada mama disisinya. Lima tahun usianya. Dan sosok baik seorang ayah hilang dalam ingatannya.
Dialah Laura Requildis. Gadis dengan sejuta luka yang tak pernah ia tutupi.
💦
Mata Laura terbelalak kaget. Ia langsung terbangun dengan nafas terengah-engah. Mimpi buruk lagi. Ntah untuk keberapa kali dalam seminggu ini. Ia memegangi kepalanya yang terasa pening. Lantas, pergi menuju westafel kamarnya untuk mencuci muka. Pandangannya tertuju pada jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima sore.
Laura keluar dari kamar dan turun ke lantai dasar untuk mengisi perutnya yang terasa lapar.
Jemari rampingnya tampak membuka kulkas dan melihat isinya. Hanya ada buah, sisanya dipenuhi minuman, susu, dan yogurt dingin. Laura kembali menutup pintu kulkas, dan membuka pintu freezer. Ia tersenyum kecil ketika mendapati freezer yang penuh dengan aneka es krim.
Laura memutuskan memasak mie samyang ketika melihat tumpukan mie yang menggunung di lemari penyimpanan.
Ia memasak dua bungkus mie sekaligus. Tak sampai dua puluh menit, ia sudah selesai memasak dan mulai menata dengan cantik mie nya di atas piring dengan telur dan sosis di atasnya.
Laura membawa piring makanannya menuju meja makan. Lantas kembali membuka kulkas dan freezer untuk mengambil tiga kotak susu full cream dan tiga buah es krim cornetto. Sip. Waktunya makan!
Laura memegang sumpitnya, lantas mulai memakan masakannya.
"Anjay, enak!" puji Laura pada masakannya sendiri.
Setelah kenyang, ia berniat menonton tv untuk menghilangkan jenuh. Baru saja ia menyalakan tv, tiba-tiba ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk.
Laura menatap layar ponselnya dengan dahi mengkerut. Siapa?
Laura menggeser slide ponsel untuk menerima panggilan.
"Halo?"
"Ra? Gue boleh maen ke rumah lo?" itu suara Asha.
Laura menepuk jidat, ia lupa bahwa tadi Asha sempat meminta nomor ponselnya.
"Boleh, lagi kosong nih rumah!" jawab Laura sambil menyalakan tv untuk menonton acara yang kira-kira menarik perhatiannya.
"Oke! Share lokasi rumah lo! Gue otw!" Asha mematikan sepihak panggilan mereka.
Setelah Laura mengirim lokasi rumahnya, Laura kembali fokus menonton tv. Tidak fokus sebenarnya, karena, pikirannya berkelana dimana-mana.
Hum... Jika sekolah membuatnya nyaman dan tentram, ada kemungkinan ia bisa melupakan sejenak beban pikirannya. Apalagi ia tidak harus berpindah-pindah lagi karena urusan pekerjaan sang mama. Ia kini bebas ikut atau tidak dengan mamanya yang super sibuk itu. Tapi... Laura tersenyum sendu. Ambisinya untuk bunuh diri masih membara. Tubuhnya terlalu lelah memikul beban mental, bahkan fisik.
Maa... Maafin Laura, memang udah takdirnya Laura jadi seorang anak yang gagal...
💦
Asha menatap kagum setiap sudut rumah Laura yang terlihat begitu 'wah' dimatanya. Bukan karena ia orang dari kalangan biasa. Ia salah satu anak dari keluarga tersohor. Tetapi, ia selalu cinta dengan dunia arsitektur. Dan, rumah Laura memiliki nilai seni tersendiri.
"Anjir! Ra! Siapa yang desain rumah lo?" Asha menatap Laura yang tampak tidak terlalu peduli.
"Arsitek lah! Yakali bibi masak rumah gue!" Laura.
"Siapa anjir?" Asha bertanya dengan tidak sabaran.
"Emporio architect, lo tau?" Laura menjawab sekilas, lantas berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Asha mengangguk paham sambil mengikuti langkah Laura menuju kamarnya "pantes! Classicnya epic banget! Buat beli desainnya aja butuh minimal puluhan juta, tapi, gue yakin keluarga lo beli desain rumah ini bisa sampe ratusan juta, right?"
Laura mengedikkan bahu tidak peduli. "ntahlah, gue sih bodo amat mau tinggal dimana-mana juga, btw, lo suka banget sama kek ginian ya?"
Asha mengangguk "gue mau jadi arsitek!"
Laura mangut-mangut mengerti. Ia mengajak Asha merebahkan tubuhnya di kasur kamar Laura.
"Gue masih bingung ntar kuliah masuk mana. Masih idup ampe hari ini ajah, udah syukur banget." Mata Laura tampak menerawang.
Mendengar perkataan Laura barusan, Asha tampak menimbang-nimbang. Haruskah ia menanyakan hal-hal yang mungkin sensitif bagi Laura?
Ternyata, sebelum Asha menemukan pilihan yang tepat, Laura sudah paham dengan maksud mimik berfikir Asha "lo penasaran sama alesan gue yang pengen banget mati ini?"
Asha tampak terlonjak kaget. Walau sejurus kemudian, mimik wajahnya kembali seperti biasa.