Miss Bundir

EmQiuuu
Chapter #6

Miss Bundir Vs Miss Bullying

Gue emang gapunya tujuan hidup. Tapi, gue nggak nyusahin hidup orang!

-Laura Requildis-

💦

Bruk!

Seorang gadis usia delapan tahun tampak meringis kesakitan sambil memegangi lututnya yang berdarah. Sedangkan, laki-laki dihadapannya hanya tersenyum menyeramkan. Laki-laki dengan selisih dua tahun dari gadis itu tampak menarik paksa rambut si gadis yang tertunduk. Membuat gadis itu mau tak mau mendongak dengan bulir air mata di pelupuk matanya.

“Lo tau ini?” Laki-laki itu mengangkat tangan satunya. Menunjukkan pisau lipat yang mengkilat mengerikan.

Gadis itu tampak membelalakkan matanya. Ia menggeleng kuat. Tetes air mata sudah membanjiri pipi tembamnya. Ia takut.

“Hum... Kalau gue lukain pipi lo, nggak bikin lo mati seketika kan? Karna, gak seru kalo mainan gue gak bisa dimainin lagi.” Sang laki-laki tampak mengusap perlahan pipi gadis itu dengan pisau lipat biru miliknya. Membuat sang gadis kecil semakin gemetaran menahan takut yang luar biasa. Dan...

Crash!

💦

Laura membelalakkan mata kaget. Dengan tubuh gemetar dan sedikit kalap, ia berjalan menuju kaca kamarnya. Mengechek kondisi pipinya. Mulus tanpa goresan. Ia menghela nafas lega. Itu hanya mimpi. Laura menatap kondisi dirinya yang tampak berpeluh dan pucat pasi itu. Padahal AC di kamarnya menyala dengan baik. Semua karna mimpi itu, Laura menghela nafas berat. Sangat lelah bergelut dengan mimpi yang mengerikan setiap hari selama satu tahun terakhir.

Laura menatap jam dinding di kamarnya. Masih pukul empat dini hari. Ia memutuskan untuk duduk di kursi dekat balkon kamarnya. Kamarnya tampak remang-remang hanya dengan pencahayaan dari lampu tidur dan rembulan yang masih terlihat. Laura tidak berniat menyalakan lampu kamar. Ia menyukai suasana gelap yang menenangkan ini. Membuatnya merasa rileks. Laura merasakan kering di tenggorokannya. Dengan malas, ia beranjak menuju kulkas mini di salah satu sudut kamarnya. Lantas mengambil botol berisi air minum dingin. Laura kembali duduk di dekat balkon dengan air minum ditangannya. Sambil menatap pemandangan luar, ia meneguk air sampai habis setengah botol. Ia merasa sangat haus sehabis bangun dari mimpi buruk itu. Laura mendongak, menatap sendu langit gelap dengan kokokan ayam yang mulai bersautan.

“Tuhan, jika memang aku pantas untuk hidup di bumi-Mu, izinkan aku bahagia, walau kebahagiannya tidak sebanding dengan penderitaanku di masa lalu.” Laura berbisik lirih. Moment sepi seperti ini selalu mengingatkannya pada kesedihan. Seolah sepi adalah teman penenang, sekaligus pengingat masa lalunya.

Laura menyandarkan tubuhnya pada kursi yang tengah ia duduki. Mimpinya yang tadi... hanya bagian itu yang sangat ia ingat. Bagian dimana ia penuh dengan luka hampir setiap harinya. Oleh seseorang yang kini seolah hilang ditelan bumi. Rendra, hanya itu yang ia ingat. Sisanya hanya kenangan menyakitkan. Bahkan ia tidak ingat awal mula ia bisa mengenal laki-laki itu. Dan menjadi bahan untuk percobaan pisau lipatnya. Laura meringis begitu mengingat kembali potongan masa lalunya itu. Mengapa banyak orang yang ingin menyakitiku?

💦

Neandro: Ra! Inget, berangkat bareng gue.

Laura terkekeh menatap layar ponselnya. Ia baru saja mandi dan tengah mengeringkan rambutnya dengan hair dryer ketika Neandro mengiriminya pesan tersebut.

Laura: Siap bosque!

Laura merapikan rambutnya. Lantas, ia turun kebawah untuk sarapan bersama mamanya. Elena sedang bersantai menonton tv sambil menyesap teh hangat ketika Laura sampai di ruang tengah.

“Pagi mah!” Laura mencium pipi Elena, lantas duduk di samping sang mama.

“Pagi juga anak mama yang cantik! Sarapan dulu sana, mama udah siapin roti selai coklat buat kamu. Jangan lupa minum susunya ya!” Elena membalas mencium Laura.

Laura mengangguk, lantas berjalan menuju meja makan untuk memakan sarapannya.

Ting!

Laura yang tengah mengunyah rotinya sontak mengecheck ponsel begitu mendengar notifikasi. Matanya terbelalak kaget begitu mengetahui Neandro yang sudah menunggu di depan rumah. Membuat ia dengan terburu-buru menghabiskan roti juga susunya. Ia tak mau pingsan karena telat makan seperti kemarin lagi. Apalagi hari ini ada mata pelajaran olahraga. Yang pasti mengharuskannya menyimpan banyak energi.

“Mah! Laura berangkat bareng Neandro, Laura sekolah dulu ya maah!” Laura mencium punggung tangan Elena. Lantas bergegas keluar rumah.

Elena tersenyum senang. Melihat perubahan dalam diri Laura yang lebih ceria dan tidak macam-macam selama beberapa hari ini. Sepertinya, Laura tidak ada niatan nekat sejauh ini. Yah, semoga seterusnya begini, batin Elena dengan penuh harapan.

Lihat selengkapnya