Hidupku awalnya terasa menyakitkan. Hingga banyak luka telah kudapati. Lalu Tuhan mengirim obatnya kepadaku. Agar aku sembuh, pikirku. Ternyata, itu hanya penunjang. Agar aku siap, menerima kesakitan selanjutnya. Padahal, bekas lukanya pun belum hilang...
-Laura Requildis-
💦
“Kav! Tadi yang manggung siapa?” Arvin yang baru selesai kerja kelompok itu langsung mendatangi kamar Kavin. Ia belum sempat menemui Kavin dan teman-temannya tadi saat di kafe. Karena ternyata pengunjung kafenya menyukai penampilan Laura dan Neandro. Sehingga banyak dari mereka yang me request lagu. Sedangkan Arvin tidak punya banyak waktu saat itu. Ia hanya berniat mengambil laptopnya yang ketinggalan.
“Ohh, itu temen gue. Yang cewek namanya Laura. Yang cowok namanya Neandro.” Kavin menjawab singkat. Ia sedang mabar dengan Aksa dan temannya yang lain.
Arvin mengangguk. Namanya, Laura. Ia tersenyum senang seperti anak kecil yang diberikan permen lolipop. Arvin melompat kearah kasur Kavin. Entah mengapa hari ini hidupnya terasa semakin berwarna. Beginikah cinta? Dan secepat inikah ia jatuh cinta? Pada seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya barusan. Aneh memang. Tapi, prinsipnya selalu sama. Ia akan menjalaninya jika itu kehendak dirinya. Urusan menyakitkan, nanti. Akan ada bahagia untuknya. Karena semua manusia ditakdirkan sama. Hanya waktunya saja yang berbeda. Itu yang selalu ia tanam dalam kehidupannya. Satu lagi Vin, ingatnya pada diri sendiri. Jangan lupa bersyukur...
💦
Laura menaiki motor Neandro. Seperti biasa, ia berangkat sekolah bersama Neandro. Mereka memang sudah sangat dekat. Ditambah dengan Neandro yang sudah yakin dengan perasaannya. Membuat ia makin-makin terhadap Laura. Tapi, ia sendiri masih bingung dengan perasaan Laura. Jadi, ia memlih untuk memendamnya. Setidaknya, sampai ia siap untuk ditolak. Itu kemungkinan terburuknya. Dan ia harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk.
“Lo udah makan kan Ra?” Neandro mulai melajukan motornya setelah memastikan Laura memakai helmnya dengan benar.
“Emh, belum. Ehe!” Neandro melihat Laura yang cengengesan dari pantulan kaca spionnya.
“Lagi? Kemaren malem lo juga gak makan Ra!” Neandro menggeleng pelan sambil terus melajukan motornya. Ia perlahan mulai paham mengapa Laura bisa sampai mengidap maag yang cukup parah itu. Laura seorang cewek yang kuat tidak makan berhari-hari. Dan satu lagi. Ia mudah kenyang.
“Gue kenyang abis makan kue di kafe. Yang penting kan gue udah makan.” Laura berusaha membela diri. Ia kurang suka makan. Kecuali, makan mie dan eskrim. Itupun, mamanya membatasi konsumsi mie instan padanya. Sehingga ia tidak dapat makan mie semau yang ia suka. Sekalipun sang mama tidak ada di rumah, Laura tidak akan pernah berani melanggar. Apalagi sampai berbohong. Ia paling tidak ahli dalam berbohong. Bawaannya pengen jujur aja, itu katanya.
“Ck! Segitu nggak bakal bikin lo kenyang Ra!” Neandro berdecak sebal. Gadis pujaannya itu sungguh keras kepala. Dan sejak kapan ia menjadi cerewet seperti ini?
Neandro menggeleng pelan. Hanya pada Laura ia memusatkan perhatiannya, waktunya, sedangkan yang lain? Tidak mungkin Neandro seperti itu.
“Ehe! Lo kok jadi bawel sih! Gereget gue!” Laura iseng menoel-noel bahu Neandro. Sepertinya ia mulai bosan.
Neandro tersenyum tipis. Ia ada ide. “Ra, pegangan ya yang kuat!”
“Dih! Modus bat!” Laura mendengus geli. Walau ia ujung-ujungnya mengikuti perintah Neandro.
“Biar lo gak ganggu gue nyetir, gue mau ngebut!” Baru saja mengatakan hal itu, Neandro langsung mempercepat laju motornya. Membuat Laura nyaris terjungkal padahal ia sudah menuruti apa yang Neandro perintahkan.
“Ihhh... Gue kagettt!” Teriak Laura heboh. Walau sedetik kemudian, dia terdiam menikmati semilir angin yang menerpa kasar wajahnya. Masih pagi, dan udara terasa sangat dingin entah mengapa. Membuat Laura merasakan dingin di wajahnya. Ditambah dengan Neandro yang tiba-tiba ngebut, bahkan untuk melihat saja sulit padahal Laura memakai helm.
Akhirnya, mereka sampai dua puluh menit lebih cepat dari biasanya. Saat Laura turun dari motor, ia sedikit sempoyongan. Membuat Neandro dengan sigap mengangkat tubuh Laura yang nyaris terjatuh. Muka Laura juga tampak putih pucat. Padahal sebelumnya tak seperti ini. Membuat Neandro langsung dirundung rasa bersalah.
“Ma-maafin gue Ra! Gara-gara gue ngebut, lo pucet gini!” Neandro menatap bersalah Laura.
Laura mengernyit bingung. “Lah? Gue gak kenapa-napa cok! Tadi kaki gue kesemutan. Lagian wajar muka gue pucet. Tadi kan dingin banget. Ntar juga kayak biasa!”
Neandro mengangguk. Walau dalam hati ia berjanji tidak akan ngebut dipagi hari bersama Laura.
“Udah ah, yuk ke kelas!” Laura menarik pergelangan tangan Neandro. Lalu menggandengnya. Tapi, bukan gandengan ala-ala pasangan kekasih. Itu gandengan persahabatan.
Neandro tersenyum tipis. Semoga nanti, tangan kita saling tertaut bukan sebagai teman atau sahabat. Tapi sebagai pasangan.
*
Neandro dan Laura memasuki kelas yang sudah terisi beberapa murid. Seperti biasa, Laura duduk di dekat jendela. Karena bosan, ia mendengarkan lagu berdua dengan Neandro.
“Lo gamau makan Ra? Gue beliin ya!” Lagi, Neandro kembali membujuk Laura agar mau makan.
Laura menggeleng dengan mata yang terpejam menikmati alunan lagu. “Ntar aja kalo gue laper!”
Neandro mengangguk pasrah. Okay, sepertinya, cewek itu memang sangat sulit dibujuk. Neandro tersenyum sambil menatap lekat wajah Laura yang terpejam. Cantik. Ia merasakan hatinya menghangat. Bahkan, ia merasa telinganya mendengar dentuman-dentuman kencang di dada. Membuat ia khawatir Laura akan membuka matanya karena mendengar suara degup jantung Neandro. Walau faktanya, Laura bahkan tertidur tanpa gangguan.