Bukan ini yang kumau. Berharap semua akan berakhir indah, namun ternyata? Malah membuatku semakin tersiksa. Memang benar, tak seharusnya aku berharap lebih. Apalah aku, seseorang yang mungkin memang tidak ditakdirkan ada.
-Laura Requildis-
đź’¦
Laura membuka perlahan matanya yang terasa berat dan lengket. Ia menatap sekitar. Gelap. Tapi, dengan cepat ia langsung menyadari bahwa ia tetap berada dikamarnya yang memang hampir selalu gelap itu. Ia tampak berusaha terbangun. Namun, sakit yang amat kuat tiba-tiba menghantam kepalanya. Terasa sangat sakit dan berdenyut. Ah, dia ingat. Ia baru saja membenturkan kepalanya beberapa kali pada dinding kamar. Plus melukai tangannya menggunakan silet. Kebiasaannya jika stres menyerang.
“Ra, kamu udah sadar nak?” Suara lembut Elena tiba-tiba memenuhi pendengaran Laura. Mamanya tampak datang dengan nampan berisi bubur juga segelas susu ditangannya. Dari penampilannya, tampak sekali Elena baru pulang kerja.
Laura bergeming. Ia masih terbayang foto itu. Mengabaikan kehadiran sang mama yang kini duduk di tepi ranjang tidur Laura.
“Laura... kamu kok nyakitin diri lagi?” Elena bertanya dengan hati-hati. Suaranya terdengar sangat sedih. Apalagi saat tadi ia dikabarkan pembantunya, bahwa Laura pingsan dalam kondisi kamar yang terkunci, Elena langsung membatalkan pemotretannya dan langsung pulang dengan terburu-buru. Bahkan ia menangis sepanjang perjalanan memikirkan kondisi putri semata wayangnya itu. Begitu sampai, ia dibuat syok dengan tangan Laura yang penuh oleh goresan. Walau tipis, tapi pasti menyakitkan. Juga muka penuh air mata yang tampak tidak nyaman, bahkan dalam kondisinya yang tak sadarkan diri itu. Membuat Elena dibuat takut dengan Laura yang mulai kembali nekat.
“Ma, temen-temen Laura gak pada tau kan soal ini?” Tanpa menjawab pertanyaan sang mama, Laura justru balik bertanya. Ia takut teman-temannya mencari hingga kerumahnya. Ditambah, Neandro adalah tetangganya.
Elena menggeleng sambil tersenyum lembut. Perlahan ia mengelus rambut halus Laura dengan sayang. “Mama bilang kamu ada urusan penting. Mama nggak ngasih tau mereka kamu ada di rumah.”
Laura menghembuskan nafas lega. Ia tak mau merepotkan banyak orang. Cukup mamanya saja yang sudah banyak berkorban. Ia tak mau menyusahkan banyak orang. Bahkan, kalau bisa, ia tak mau mamanya merepotkan diri mengurusi dirinya yang bahkan hidup pun enggan.
Melihat Laura yang diam kembali, Elena langsung pamit keluar. Ia paham Laura butuh waktu sendiri. Jadi, ia langsung keluar setelah meletakkan nampan untuk Laura makan dan mengingatkan Laura untuk makan. Gadis itu belum makan sejak pagi.
Setelah mamanya keluar, Laura tiba-tiba teringat akan ponselnya. Pasti teman-temannya sudah membanjirinya dengan puluhan bahkan ratusan pesan. Ia harus mengatakan bahwa ia baik-baik saja dan mengarang cerita tentang dirinya yang tiba-tiba pergi tanpa pamit itu.
Saat Laura mengecek ponselnya, ia dibuat terkejut dengan pesan yang berjumlah ribuan itu. Ia pikir hanya ratusan maksimal. Bahkan, saat ia membukan aplikasi chat, ia melihat Neandro sedang status mengetik. Membuat ia merasa bersalah membuat teman-temannya khawatir.
Dengan cepat ia membalas semua pesan dari teman-temannya. Beralaskan kepentingan yang tak dapat ditinggal, dan meminta maaf telah membuat mereka khawatir, akhirnya teman-temannya dapat bernafas dengan lega setelah sejak pulang sekolah dibuat khawatir. Laura sangat merasa bersalah. Terutama kepada Neandro yang paling banyak mengiriminya pesan bahkan misscall. Saking khawatirnya, Neandro sempat ingin memastikan sendiri bahwa Laura baik-baik saja dengan berniat mendatangi rumah Laura. Namun dengan cepat Laura mencegah. Sudah malam, katanya beralaskan. Membuat Neandro mengiyakan walau dengan setengah hati, dengan syarat, Laura mengangkat panggilan telponnya. Laura setuju.
“Ra? Lo bener gak apa-apa kan?” Neandro langsung bertanya begitu keduanya sudah saling terhubung dengan panggilan suara.
Laura mengangguk walau ia tak yakin Neandro merasakannya atau tidak. “Gue fine! Nihhh! Sehat wal’afiat!” Cuma lecet dikit, tambahnya dalam hati.
Bisa Laura dengar Neandro menghembuskan nafas lega. “Bagus deh, lo udah makan kan? Dari pagi lo belum makan loh!”
Laura terkekeh. Neandro selalu ingat apa yang sudah dan belum ia kerjakan. Terutama soal makan. “Barusan gue makan kok! Lo tenang aja, gue abisin seporsi!”
“Dih! Gak caya gue! Besok makan lagi ya, yang banyak kayak barusan. Biar gue percaya!”
Lagi, Laura tampak mengangguk mengiyakan. “Siap bosque! Eh, udah dulu ya, gue ngantuk!”
“Okay! Langsung tidur ya Ra! Good night Laura. Besok gue jemput!”
“Sip! Good night juga Neandro!”
Klik!
Laura menutup panggilan suara dengan Neandro. Ia terkekeh begitu tahu sikap bawel Neandro saat bersamanya. Yah, hanya saat bersamanya. Laura merebahkan kembali tubuhnya pada kasur tidurnya yang nyaman. Ia mengeratkan selimutnya. Menariknya hingga menutupi lehernya. Perlahan, ia mulai mengantuk. Lalu, sedetik kemudian, ia sudah tertidur.
đź’¦
Laura berjalan beriringan dengan Neandro dan Asha menuju kelas mereka. Seperti biasa, kondisi sekolah dipagi hari tampak ramai. Ramai mereka yang bermain basket sebelum bel masuk, ramai mereka yang berduaan untuk pacaran, dan ramai sebagainya.
“Ra! Gak biasanya lo pake almamater. Apalagi di cuaca yang lagi panas kayak gini!” Asha menatap heran Laura. Tak biasanya ia memakai almamater. Bukan Cuma itu, Laura lebih banyak diam dan tampak melamun sedari tadi.
“Ng... lagi pengen aja.” Jawab Laura singkat sambil mengulas senyum manis yang sebenarnya dipaksakan.
Asha mengangguk walau sebenarnya curiga dengan tingkah Laura pagi ini. Begitu pun Neandro. Walau ia hanya bertanya-tanya dalam hati. Takut menyinggung. Mungkin Laura lagi pms, pikirnya. Ia pernah baca, biasanya, cewek kalau sedang pms itu sering mengalami mood swing. Kadang bad mood, kadang good mood. Dan itu bisa berubah sewaktu-waktu.
Saat proses belajar pun, Laura tampak banyak melamun. Pun saat istirahat. Ia memilih menyendiri di dalam kelas, mengerjakan tumpukan tugas dibandingkan menikmati semangkuk bakso panas dengan sambal pedas yang biasa ia pesan. Khawatir maag Laura kambuh, Neandro berinisiatif membelikannya somay, eskrim, juga susu kotak agar Laura mau makan. Susu dan eskrim adalah mood terbesar Laura untuk makan. Dan benar saja, Laura mau memakan somay yang dibeli Neandro sampai habis. Tapi, tetap saja gadis dengan wajah cantik itu tidak banyak bersuara dan lebih banyak melamun. Sibuk dengan pikirannya saat ini.