Pantas aku dibenci. Ternyata, memang benar, aku anak yang gagal sejak lahir.
-Laura Requildis-
đź’¦
Dimana aku? Laura menatap sekelilingnya. Tampak asing. Bukan sekolah, bukan rumah, bukan jalanan. Sebuah padang ilalang luas tersaji didepan mata. Laura menatap takjub. Sungguh indah. Apalagi, kondisinya menjelang petang. Moment terbaik menikmati sunset.
Laura berjalan-jalan santai menikmati semilir angin yang menerpa lembut wajahnya. Ia merasa ringan. Seolah tak ada beban dalam hidupnya.
Sedang asik-asik berjalan. Ia dikejutkan dengan kehadiran seseorang. Seorang cewek dengan rambut indah bergelombang. Sinar jingga sore hari membuat rambutnya terlihat coklat terang memukau. Cewek itu membelakangi Laura. Membuat dirinya sulit mengenali.
Perlahan, ia menhampiri cewek tersebut. Menepuk pelan bahunya. Namun, Laura membelalakan mata begitu cewek itu berbalik.
Itu dirinya. Dengan senyum yang sama. Walau dengan mata yang berpijar sendu.
“Ka-kamu? Aku?” Laura bertanya dengan sedikit gagap. Bagaimana bisa ada dirinya yang lain dihadapanya? Ini sunggu aneh.
“Iya Ra, aku itu kamu. Dan kamu itu aku.” Terang Laura dihadapannya.
“Kok? Sumpah, aku gak paham. Gimana bisa ada dua Laura?” Laura menggeleng pelan. Dirinya pasti sudah gila.
“Aku itu kamu. Dalam emosi kesedihan. Dan ini, ruang lingkup aku. Sunyi, menjelang gelap.” Jelas Laura dengan sorot mata pedih.
Meski Laura masih tampak tak percaya, tapi ia mengangguk. “Trus, kenapa aku disini?” Tanyanya heran.
“Ada yang perlu aku sampaikan!” Kata Laura dihadapannya.
“Ra! Kamu gak seharusnya hidup. Lihat, begitu banyak orang yang benci kamu. Mengharap kamu enyah. Kenapa kamu gak lakuin itu? Menghilang dari dunia yang tak pernah adil ini.” Laura dihadapannya mulai berkata tanpa menunggu Laura berbicara. Laura memilih diam. Menunggu perkataan Laura dihadapannya.
“Kamu capek kan Ra? Aku tau, kita capek. Udah batasnya, dan sekarang waktunya.”
Laura mengernyit bingung. “Waktunya buat apa?”
“Buat mati.” Hanya itu jawaban singkat sisi lain dirinya.
Laura terdiam. Sudah lama ia tak memikirkannya. Semenjak mengenal teman-temannya, ia merasa hidupnya cukup bahagia walau diburu mimpi buruk setiap malam dan berakhir dengan bangunnya ia di pagi dini hari. Perihal menyakiti diri, itu memang kebiasaannya jika stres berlebih. Entah mengapa, ia menjadi lost control dan melakukan hal gila. Soal niat bunuh diri, ia tak lagi memikirkannya. Walau masih terbesit perasaan ingin. Tapi, ia langsung menepisnya. Ia masih berharap Tuhan menginginkannya bahagia di dunia ini.
“Aku, udah lama gak mikirin hal itu sih.” Tutur Laura pada dirinya sendiri.
Dirinya yang lain mengangguk. Ia tahu. “Aku tau. Tapi, sebagian dari diri kamu menginginkannya. Aku salah satunya. Bagian dari segala macam kesedihan kamu. Aku capek Ra.”
Laura tampak bergeming. Ia masih berharap.
“okay, aku cuma mau ingetin ke kamu satu hal Ra. Kalau kamu capek, ayo kita pergi. Jangan kamu paksa lagi buat berharap.” Laura dihadapannya berbalik pergi setelah mengatakan hal tersebut. Meninggalkan Laura, bersama padang ilalang yang seolah mengikuti langkah dirinya yang lain itu. Menyisakan Laura yang tenggelam dalam ruang gelap dan sepi. Inikah perasaannya yang paling dalam? Terasa gelap dn sepi. Bahkan melebihi gelap kamarnya.
Laura berusaha meneguhkan hati. “Aku masih berharap.”
đź’¦
Mata cantik Laura terbuka perlahan. Ia menatap sekeliling. Kamarnya. Bukan lagi padang ilalang yang menenangkan.
“Ra? Lo udah sadar?” Laura menangkap suara Neandro dari pendengarannya. Ia lantas langsung menatap ditepi ranjangnya. Ada Neandro dan Asha. Sedangkan Kavin dan Aksa tampak tengah tertidur di atas karpet berbulu yang ada di kamar Laura.
Laura tampak bergeming. Sudah dua kali ia pingsan. Ia merasa lemas begitu bayang-bayang tamparan Melda kembali menghantuinya. Walau langsung ia tepis jauh-jauh pikiran itu sebelum dirinya tak terkendali, atau yang paling parah ia akan kembali pingsan.