Kadang aku memang menginginkan terus hidup. Tapi, hidup seolah mengiginkan aku untuk mati. Begitu aku ingin mati, nyatanya. Hidup masih menggelayut dalam diriku. Aku harus apa?!
-Laura Requildis-
đź’¦
Mata cantik Laura tampak terbuka perlahan. Bau obat-obatan khas rumah sakit langsung menyeruak dalam penciumannya. Ia melenguh. Apakah dirinya berada di rumah sakit?
“Uhuk!” Laura terbatuk cukup keras. Tenggorokannya terasa sangat kering dan lehernya terasa sakit. Apakah ini efek gantung diri yang dia lakukan?
Mata Laura menatap terkejut sepasang tangan yang memberinya segelas air. Tak sengaja, pandangannya bertabrakan dengan mata abu-abu gelap yang entah mengapa begitu menghipnotis itu.
Laura menggeleng cepat. Tenggorokannya sakit. Terpesonanya nanti saja. Ia langsung menerima gelas dari seorang cowok yang tak dikenalnya. Yah, cowok itu tentu saja Arvin.
Setelah meneguk habis segelas air yang diberikan Arvin untuk Laura, keduanya tampak terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Em, lo... siapa?” Laura memberanikan diri bertanya.
Arvin mengulurkan tangannya. Mengajak berkenalan. “Kenalin, gue Arvin, kakak Kavin temen lo! Meski gue kakaknya Kavin, tapi tetep gue yang lebih cakep, ya kan?” Arvin menaikan sebelah alisnya. Ia tampak sangat percaya diri mengatakan hal tersebut.
Laura terkekeh pelan. Ia tahu Arvin hanya mencoba mencairkan suasana, walau tak bisa ia pungkiri, perkataan Arvin bukan omong kosong. Arvin sangat tampan. Ia tampak memiliki darah campuran. Kavin juga terlihat begitu, namun, manik mata Kavin coklat gelap. Sedangkan, Arvin memiliki manik mata abu-abu gelap. Membuat Laura seolah tersihir dengan pesona mata indah itu. Ditambah, tubuh kekar Arvin yang pasti membuat kaum hawa sangat ingin minimal mengelusnya. Eh? Apa yang sedang ia pikirkan huh?!
Ah! Laura terlalu banyak memuji di kesan pertama. Tidak biasanya ia seperti itu. Bahkan, ia bersikap biasa saja pada Neandro, Aksa, dan Kavin yang sama tampannya dengan Arvin. Tapi mengapa cowok yang baru dikenalnya beberapa menit itu tampak begitu menarik dimatanya? Membuatnya heran sendiri.
“Gue Laura!” Laura menjabat tangan kokoh Arvin.
“Gue tau!” Jawaban Arvin sebenarnya membuat Laura bingung, namun dirinya malah terdiam mengiyakan. Mungkin Arvin tau tentangnya dari Kavin.
“Dimana mama gue?” Laura mencari-cari keberadaan sang mama. Ia baru sadar bahwa ternyata sejak tadi ia hanya berdua dengan Arvin diruang rawatnya.
“Nyokap lo masih otw bareng yang lain. Disana macet parah kata adek gue!” Jawab Arvin seadanya.
Laura mengangguk mengerti. Setelah itu, semua kembali hening. Sedangkan Laura paling tak suka dengan kondisi seperti ini. Tapi yah, bagaimana? Dirinya entah mengapa kehabisan topik. Tidak seperti biasa, dirinya biasa menemukan banyak topik yang dapat dibicarakan dengan lawan ngobrolnya.
“Lo gamau tau gimana lo bisa disini?” Arvin tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Membuat Laura tersentak kaget.
“Emm, apa lo yang nyelamatin gue dari gantung diri?” Laura bertanya balik dengan ragu.
Arvin mengangguk. “Why?”
Laura menggeleng. “Gapapa.”
“Ck! Bener kata temen gue.” Arvin berdecak sebal. “Cewek kalo ditanya kenapa, pasti jawabnya gapapa, padahal kenapa-napa kan lo?”
Laura tampak cengengesan. “Gue seriuss! Look me! Gaada lecet sedikitpun!”
Arvin menaikan sebelah alisnya sambil tersenyum meremehkan. Dengan berani, ia menarik dagu Laura. Menemukan bekas merah yang membiru di leher cewek itu. “Leher lo membiru, bukan lecet sih, tapi tetep aja lo kenapa-napa kan?”
Laura mati kutu. Ia mengumpat dalam hati. Mengapa harus pura-pura sok kuat sih di depan cowok itu? Ini bukan dirinya! Dirinya adalah seseorang yang selalu mengatakan apa yang ia rasakan.
“Yaudah iya, leher gue sakit. Gitu doang sebenernya.” Laura mulai menjawab khas caranya. Selengean.
“Yain. Emang apa alesan lo bisa nekat ngelakuin hal kayak gitu?” Arvin tau dia sudah mulai memasuki pembahasan sensitif. Tapi, sudah kebiasaannya menanyakan banyak hal kepada orang yang membuatnya penasaran. Ia sangat kepoan.
Laura tertegun. Tiba-tiba matanya memanas. Ia mulai menangis. “G-gue, mimpi...” Katanya lirih.