“Aku terus menunggumu karena aku mencintaimu,” —Rashila
•••••
Untukmu,
Aku merindukanmu. Aku rindu dengan semua masa lalu yang pernah kita ukir bersama. Aku ingin kamu yang dulu. Ingin sekali. Namun, sekarang kamu telah pergi. Aku sekarang tak tahu kamu berada di mana, bersama siapa, dan sedang apa. Aku kehilangan jejakmu.
Mengapa kamu pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal? Setidaknya jika kamu mengucapkan selamat tinggal dan memberi tahu ke mana akan pergi, aku tidak akan sesedih ini. Sekarang aku benar-benar kehilangan dirimu. Bahkan, aku tak memiliki kontakmu. Ingin sekali aku bertemu denganmu lagi dan meluapkan rasa rindu ini.
Dasar bodoh! Memangnya aku ini siapa? Pacar saja bukan. Aku mungkin hanya sekedar sahabat menurutmu. Akan tetapi, jika memang sahabat kenapa saat kehilanganmu rasanya sesakit ini? Seperti ada rasa tak wajar yang tumbuh dalam hatiku.
Ya, benar. Aku memang mencintaimu. Aku sangat takut kehilanganmu. Sekarang hal itu pun telah terjadi.
Nyaris tiga tahun aku tak bertemu dengan kamu. Selama itu juga aku tidak berkomunikasi dengan kamu. Kamu benar-benar menghilang dan aku sangat merindukanmu.
Sebenarnya aku kesal. Aku ingin marah dan melampiaskan kekesalan ini. Aku ingin tunjukkan pada semua orang, bahwa aku kecewa. Aku kesal karena kamu pergi tanpa pamit. Ya, aku memang hanya sahabatmu. Tapi ... jika aku merindukanmu apakah itu salah?
Selama tiga tahun, aku tidak membuka hati untuk siapa pun. Rasanya hatiku telah terkunci untukmu. Aku terus saja menunggu tanpa adanya kepastian. Aku sebenarnya sudah lelah menunggumu. Namun, aku menunggumu karena aku mencintaimu.
Aku terus merindukanmu karena aku tak bisa melupakanmu. Bagaimana aku bisa lupa jika bayanganmu terus muncul di kepalaku? Aku hanya berharap ada keajaiban Tuhan agar membuatku bertemu kembali denganmu.
Teman yang tersakiti,
Rashila
"Hayo! Nulis apaan lo, Shil?"
Mata Rashila sontak membulat dan langsung meremas surat itu. Ia kemudian membuang ke sembarang tempat. Akan bahaya jika Adira mengetahuinya.