“Menghargai perasaan seseorang tak semudah melupakan hutang,”—Randy
•••••
Dengan langkah malas dan perasaan yang tidak karuan Rashila berjalan menuju meja Haidar. Rashila masih saja memikirkan apa yang sekarang harus ia lakukan. Apakah harus tetap bertahan atau berpaling?
Lebih parahnya lagi sikap Meila yang berubah. Tidak biasanya ia menggunakan nada sedikit lebih tinggi dan secara tiba-tiba keluar kelas dengan wajah yang tertekuk seperti menahan amarah.
Jika Meila hanya ingin memberikan perhatiannya pada Rashila, mengapa ia harus keluar kelas sendirian? Pertanyaan itu terus saja bermunculan di otak Rashila.
Rashila segera menepis pikiran negatifnya dan kembali fokus dengan kewajibannya sebagai bendahara. Rashila menepuk pundak Haidar yang sedang asik memainkan game di handphone-nya.
Sekali dua kali Rashila menepuk pundak Haidar, tetapi orang yang ditepuk tidak mempedulikannya sama sekali. Hal itu membuat mood Rashila tambah kacau. Pecah lah sudah emosi Rashila.
"Woi Haidar Adhitama jelek, gendut, bau, dekil! Lo harus bayar uang kas. Dari tadi gue nepuk pundak lo, tapi lo malah gak peduli. Lo kira gue setan?!"
Haidar kemudian memperhatikan sekelilingnya dan memegang tengkuknya seperti orang yang sedang ketakutan. "Kok, gue merinding, ya?"
Rashila semakin memasamkan wajahnya. Wajahnya kini tertekuk dua kali lipat, sedangkan bibirnya maju lima kali lipat. "Lo gak usah drama deh! Gue tuh lagi pusing, lo jangan bikin tambah pusing. Gatau ah! Lo nyebelin banget. Tanggung jawab lo, mood gue tambah ancur."
Haidar langsung melotot. "Lo minta tanggung jawab? Tapi gue kan gak mgehamilin lo. Sekarang mendingan lo yang gausah drama deh."
Rashila pun tak kalah melotot mendengar perkataan Haidar barusan. "Lo gila ya?! Lo kalo ngomong jangan asal aja dong! Masa lo pikir gue hamil? Gue bukan minta tanggung jawab itu. Amit-amit dah punya anak dari elo. Anak gue bisa buruk rupa kali. Pokoknya sekarang gue minta lo beliin es jeruk. Mood gue tambah ancur karena lo."
"Bendahara kok gembel?"
"Sori aja ya, gue gak korup!"
"Beli aja sonoh pake duit sendiri. Lo dikasih duit kan sama nyokap? Gausah ngerengek gak jelas di depan orang lain cuma buat beliin es jeruk. Lo pikir gue emak lu apa?" cibir Haidar. Kemudian ia kembali menatap hpnya dan mulai bermain game.
"Yaudah deh! Tapi lo harus bayar uang kas. Membayar uang kas itu wajib. Kalo lo gak bayar berarti lo enggak melaksanakan kewajiban dan itu dosa. Ayo buruan bayar!"
Haidar langsung merogoh sakunya. "Aduh gue berasa dapet siraman rohani mulu tiap hari. Nih, gue bayar." Haidar kemudian menyerahkan uang yang barusan ia rogoh.
"Seribu lagi?" tanya Rashila tak percaya.
"Biasa. Nanti gue cicil," balas Haidar.
"Cicil, cicil, pala lu peyang! Kalo tiap hari lo bayarnya seribu mulu, kapan lunasnya? Nunggu rambutan jadi warna ungu? Cepetan deh bayar. Tugas gue bukan cuma nagihin lo doang," ucap Rashila sambil berkacak pinggang.
Haidar tidak menanggapi ucapan Rashila. Ia lebih fokus pada Alucard yang sedang melawan Lancelot dalam permainan Mobile Legend.
"Woi, lo punya kuping kan?"
Haidar masih tidak merespon.
"Itu kuping lo ada dua. Gede-gede lagi kaya opak."
Krik krik! Krik krik!
Rashila langsung menjewer telinga Haidar. "Nggak usah pura-pura budeg deh! Gue sumpahin budeg beneran."
"Eh, eh, iya Miss Lampir! Ampun," rengek Haidar kesakitan.