“Seenggaknya lo harus hargai sedikit perasaan orang yang mencintai lo,”—Adira
•••••
Untuk kamu orang yang aku sayang
Tak kuat aku memandang
Hanya dapat melalui tulisan
Setangkai bunga mawar aku berikan
Semoga kamu senang
"Dari siapa ya?"
Rashila membolak-balikkan surat itu. Siapa tahu saja ada identitas pengirimnya. Namun sayangnya tidak ada. Ia bahkan tak menyangka di lokernya ditemukan sepucuk surat dan setangkai bunga mawar merah.
Jujur saja Rashila tidak begitu suka bunga. Rasanya ia seperti sebuah kuburan. Orang yang mengiriminya surat seakan mendoakan agar Rashila segera mati. Mungkin maksud si pengirim surat, hal ini dianggap romantis. Akan tetapi, Rashila kurang menyukainya. Ia lebih tertarik dengan kalimat pada surat itu dibandingkan dengan bunga mawarnya.
"Cie pagi-pagi udah dapat kiriman aja. Dari siapa?" tanya Adira yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh Rashila.
"Gue juga gak tau. Mungkin salah kirim," jawab Rashila secara asal. Ia juga tidak mau terlalu percaya diri. Mungkin saja surat itu salah alamat.
"Masa sih? Sengaja buat lo kali."
"Tau ah! Bodo amat."
"Jahat banget sih lo. Lo tuh harusnya cari tau siapa yang ngirim pesan itu. Kasian dia, mungkin aja dia udah cinta mati sama lo." Adira mulai menggoda Rashila. Akan tetapi, ia tak mempedulikan. Perasaannya saja tak terbalas, ia jadi malas kalau harus membalas perasaan orang itu.
"Lo lihat Meila ga?" tanya Rashila.
"Meila kayaknya belum datang. Lagian sekarang masih pagi, Shil. Emang ada apaan sih?" Adira jadi agak heran karena tiba-tiba Rashila menanyakan keberadaan Meila.
Rashila memperhatikan sekeliling dan mulai berbicara dengan suara yang agak pelan. "Meila udah pacaran sama Rehan kan?"
"Iya udah hampir setahun. Lo kenapa sih?" Adira benar-benar tak mengerti. Pagi-pagi begini Rashila membicarakan tentang Meila.
"Menurut lo ada kemungkinan Meila bakalan selingkuh ga?"