Aku terbangun ketika seseorang menyandarkan kepalaku di bahunya. Wajah yang dihiasi senyum berjarak hanya beberapa senti membuatku sedikit terlonjak. Aku balik tersenyum kikuk dan memperbaiki posisi duduk yang agak merosot. Menutup buku di pangkuan. Menyampirkan helai-helai rambut ke belakang telinga. Berusaha merapikan diri.
"Kembalilah tidur," ucapnya.
Tatapan mata pria itu lurus ke depan. Suaranya datar. Namun, satu hal pasti bahwa terdapat kepedulian yang sarat di tiap ucapan dan perilakunya. Anehnya, meskipun pria itu berstatus sebagai suamiku, aku masih sering salah tingkah terhadapnya. Entahlah. Biarkan itu menjadi misteri antara aku dan Tuhan.
Terus ditatap olehku, membuat ia memalingkan wajah dan menatapku dengan intens. Sekali lagi. Pertanyaan itu kembali terlintas. Pertanyaan yang sering muncul sejak pernikahan kami, bahkan ketika ia datang melamarku. Bagaimana bisa seorang pria yang nyaris sempurna ini ingin menikahiku yang hanya seorang janda?
Wajah rupawan, postur tubuh maskulin, harta berlimpah juga berasal dari keluarga terpandang. Sementara aku, wajah dan fisik biasa saja, tidak berasal dari keluarga kaya raya, standar masyarakat Indonesia yang itupun milik orang tuaku.
Satu hal yang membuat kami dekat adalah proyek penelitian kampus. Ia merupakan kenalan mendiang suamiku. Bersama mereka, kami mengembangkan sebuah proyek. Sayangnya, hingga kelulusan kami proyek itu tidak dilanjutkan dan dibiarkan terbengkalai.
Hari itu, tepat empat puluh hari kematian suamiku dia datang ke menemuiku. Mengutarakan rasa cintanya yang sejak lama ia pendam dan berniat untuk meminangku. Tentu saja saat itu aku tak langsung menerima lamarannya. Namun, dengan usahanya yang gencar selama berbulan-bulan, akhirnya aku berubah pikiran dan berniat memberinya kesempatan.