Linda menatap langit-langit kamarnya yang dipenuhi hiasan bercahaya berbentuk benda-benda langit. Namun, pendarnya tak begitu kentara sebab usia hiasan-hiasan itu memang sudah lama. Lebih lama dibanding kedatangan Linda ke kos itu.
Sudah dua minggu sejak semester baru dimulai. Dan pikirannya berkelana atas kelangsungan hidup bisnis kecil-kecilannya. Rantai bisnis sederhana yang ia bangun sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolahnya.
Jasa pengerjaan tugas. Terdengar sepele memang, tetapi penghasilan Linda semester lalu hampir bisa menutupi SPP-nya selama beberapa bulan-jumlah yang tidak bisa dianggap sepele. Terima kasih kepada guru-guru yang senang memberi tugas bejibun pada siswanya. Karena itu bisnisnya selalu full orderan.
Namun, kesibukan itu pula yang membuat Linda hampir tidak merasakan kehidupan remaja SMA. Mulai dari tugas-tugas pribadi, kegiatan ekskul wajib, ditambah 'pekerjaannya'. Belum lagi tugasnya sebagai penerima beasiswa. Yap, penerima beasiswa di sekolahnya tidak hanya dituntut nilai yang selalu meningkat, tetapi juga diharuskan memberi pelajaran tambahan bagi teman seangkatannya yang membutuhkan. Semester kemarin seakan berlalu sekedip mata.
Kembali pada bisnisnya. Linda merasa agak heran dengan permintaan jasanya yang mulai menurun. Pada minggu pertama, ia masih merasa oke-oke saja. Mungkin karena tugas-tugas dari para guru belum banyak. Masuk minggu kedua, trennya masih sama. Padahal ia berharap lebih sebab murid-murid sudah banyak yang berlangganan dengannya.
Linda baru tersentak kaget saat mendengar teriakan anak kecil dari luar kamarnya. Dinding semi-triplek yang menjadi tembok kamar makin memudahkan gadis itu menangkap suara dari luar.
"Dino, cepetan pergi mandi!" bentakan dari luar menambah semarak pagi yang seharusnya bernuansa asri nan tenang.
Gadis dengan rambut acak-acakan itu tersenyum tipis mendengar pertengkaran kecil sang ibu kos, Mama Mei, dengan anaknya, Dino. Bisa dipastikan jika anak kecil itu masih anteng di depan TV menonton acara kartun kesukaannya.
Kamar Linda yang terletak di lantai dua memang berdekatan dengan ruang santai kos, jadi rutinitas pagi itu sudah seperti hiburan untuknya. Padahal di lantai satu juga ada televisi yang disediakan Mama Mei, tetapi entah mengapa Dino lebih sering menghabiskan waktu di lantai dua.
Tatapannya lesu disertai kantung mata yang menghitam menandakan waktu tidurnya belum cukup-dan memang selalu tidak cukup. Gadis berambut lurus itu menyingkap gorden tipis kamarnya dan menyipitkan mata ketika sinar matahari menyerbu masuk. Ia menatap singkat jam di atas pintu yang menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh lima menit. Seketika sekujur tubuhnya bagai tersengat listrik. Detik berikutnya ia menarik handuk dan peralatan mandinya kemudian berlari secepat kilat menuju kamar mandi.
"Perasaan tadi masih jam setengah tujuh deh."
Pintu yang tiba-tiba terbuka mengagetkan ibu-anak yang sedang sibuk tarik-menarik, membuat keduanya melongo sebab hanya bisa melihat siluet remaja perempuan.
"Ma, yang tadi itu Kak Linda, ya?"
"Mungkin," jawab Mama Mei tidak yakin.
Namun, secepat apa pun lari Linda, ia tetap keduluan oleh penghuni kos lainnya. Tak bisa dipungkiri sekarang ini adalah jam sibuk penggunaan wc. Ditambah semua wc yang bagus berada di lantai satu. Linda hanya bisa meratapi nasibnya ketika mendapati keempat pintu wc tertutup rapat.
"Hangi perhanga ngah ngapa wehe hahi, ha? Hongin hingilah!" cerocos seorang gadis tomboy yang terlihat lebih muda dari Linda. Ia menggosok gigi dengan santainya di depan sumur. Rambutnya yang cukup pendek sesekali menjuntai terkena busa pasta gigi. Melihat ekspresi bingung tercetak jelas di wajah Linda, gadis itu meralat ucapannya, "Hari pertama gak dapat wc lagi, ya? Join sinilah!"
"Eh, Kak Linda, sini, sini Kak! Gak usah nungguin wc kosong. Ntar Kakak telat lagi, ya gak, San?" Sosok lain yang sempat tertutup badan sumur berdiri menimba air. Gadis yang dipanggil 'San' hanya berdeham setuju.
Keduanya nampak sepantaran dan terlihat mirip. Awal bertemu, Linda bahkan tidak bisa membedakan mereka. Untunglah model rambut mereka sekarang sudah berbeda, sangat-sangat berbeda, hingga memudahkan Ailin mengenali gadis-gadis itu. Si rambut pendek bernama Sandra dan si rambut panjang bernama Hani. Jika rambut Hani yang biasa digerai nampak selembut sutra, maka rambut pendek Sandra selalu kelihatan kaku.
"Emang bakal telat sih ini, ya udahlah, paling penambahan poin aja," dumel Linda pasrah. Namun, di benaknya tersimpan perasaan was-was akan 'hukuman' yang harus dilakukan agar beasiswanya aman. Apalagi kalau bukan menambah jam mengajarnya.
Menimbang ucapan bocah-bocah di hadapannya, Linda ikut menimba air, mengisi embernya hingga penuh dan mulai menggosok gigi dalam diam.
"Wc di lantai dua gak ada yang bagus apa, ya?! Masa kita musti lomba-lombaan sama penghuni lantai satu!" Suara yang terdengar agak berat untuk ukuran perempuan mengalihkan perhatian ketiganya yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Seorang perempuan lain yang berusia hampir tiga puluhan ikut jongkok di dekat Linda. Dengan handuk kecil yang menggantung di leher, perempuan itu menimba air dari ember yang telah diisi Linda.
"Mau gimana lagi kan habis libur panjang. Kak Dani juga dapat libur panjang dari tempat kerja, kan? Tante Tata yang biasa beres-beres kos juga katanya pulang kampung. Mama Mei juga. Jadi, kosan gak ada yang jaga," jelas Linda sambil mengusap-usap wajahnya, menghilangkan sisa sabun yang mungkin tertinggal.
"Ya juga, sih."
Padahal ini hari pertama masuk sekolah, masa tidak mandi lagi. Memikirkan sekolah, Linda tiba-tiba mengingat sesuatu.
"Kalian berdua sudah kelas tiga SMP, kan? Nanti mau lanjut ke mana?"