Backpacker Hostel Armadillo, Kota Labuhan Bajo, Flores.
Kisah ini berawal dari sebuah pintu.
Dini hari saat itu, aku sangat gelisah. Aku mulai berbicara dengan pintu dan mencoret-coret suatu simbol yang tidak jelas di pintu itu menggunakan kuku jempolku. Jika aku menekan dengan keras, coretan simbol itu akan terlihat cukup jelas. Namun, jika aku menekan lebih keras lagi, kuku jempolku bisa patah dan mengeluarkan darah. Aku tak sanggup melanjutkannya lagi. Berbagai emosi berkecamuk di dalam benakku, berusaha mendikte tindakan yang harus kuambil. Akhirnya berujung pada satu pilihan yang sedikit lebih baik: aku bertarung menggunakan sepatu gunungku.
Aku memasuki babak baru dalam pertarungan itu dengan energi dan kesenangan yang nyaris menghilang. Aku menendang pintu itu tiga kali berturut-turut dengan sengaja dan keras, memberi tahu orang lain bahwa aku mulai jengkel setelah menunggu sangat lama untuk 'One Day Trip Sailing Komodo Island'.
Lima belas menit kemudian, aku masih bertarung dengan pintu itu seorang diri. Walaupun sebagai konsekuensinya, kakiku sekarang lecet dan memar. Setidaknya aku bersyukur mendapat kesempatan untuk beristirahat dan mengatur strategi baru.
Selanjutnya, pertarungan sengit antara aku dan pintu itu memasuki babak ketiga—babak penentuan. Aku bukan hanya bertarung di permukaan, tetapi juga melawan egoku dari dalam jiwa, yang bernafsu mengakhiri pertarungan ini secepatnya. Tak peduli jika itu harus menggunakan cara kotor sekalipun, karena skor sementara adalah 0-2 untuk keunggulan sang pintu.
Setelah memantapkan hatiku, aku berniat melukai pintu itu dengan sadis, meninggalkan bekas luka di tubuhnya, kemudian mengakhirinya dengan jurus tendangan memutar layaknya adegan dalam film laga Hollywood. Saat mencoba mengumpulkan kekuatan, jawaban yang diberikan otakku seperti gema keras dari ledakan bom molotov. Karena itu, aku mengambil pisau tactical dari daypack-ku, lalu melemparkannya ke arah pintu itu dengan sekuat tenaga, seperti seorang pendekar yang melepaskan bidikan busur panahnya ke arah targetnya dengan akurat. Namun, ternyata pisau itu jatuh dan terpental kembali ke hadapanku, bahkan nyaris mengenai tanganku. Senjata makan tuan, sepertinya. Sungguh sebuah pintu yang kuat dan keras. Di satu sisi aku sangat mengagumi pertahanannya yang sekokoh karang di samudra. Sementara di sisi lain aku membenci diriku sendiri yang tak berdaya menghadapinya.
Harus bagaimana sekarang? Pintu sialan itu pasti memiliki kelemahan. Tidak masuk akal jika aku harus mendobraknya demi memenangkan pertempuran ini. Mendadak aku tertunduk lesu, merasa seakan berada di terowongan tak berujung.
Semakin lama aku semakin gelisah. Aku diam sejenak sebelum akhirnya kembali membiarkan diriku merasa terhibur dalam perselisihan panjang melawannya, karena aku juga menganggap pertarungan melawan pintu itu merupakan pertarungan ide, sebuah uji coba terhadap konsep apa yang mungkin paling baik untuk kuterapkan dalam petualangan ini. Tidak peduli aku akan menang atau kalah, senang atau sedih, aku hanya ingin melampiaskan seluruh emosiku supaya hatiku merasa tenang. Ini adalah pertarungan yang tidak adil, dan aku kalah telak, kekalahan yang menyadarkanku bahwa fakta kehidupan tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Tidak salah lagi, ini adalah petualangan terburuk seumur hidupku! Aku menyesal datang ke Flores! Air mataku menetes. Sepertinya aku ingin berteriak dan menangis sekuat-kuatnya.
Karena malu terlihat cengeng, aku pun berbalik dan berlari menendang tong sampah berbentuk badut di halaman kecil hostel itu dengan jurus tendangan memutar. Melampiaskan permasalahanku dari musuh yang kuat ke musuh yang lemah agar kepercayaan diriku meningkat lagi. Tong sampah jatuh dan K.O dengan sekali tendang.
Bagus, mati kau! Apakah aku pantas merasa bangga atas kemenangan ini? Tetapi, itu hanyalah pion kecil.
Aku merasakan campuran emosi, antara simpati dan amarah, kebencian dan rasa bersalah saat melihat tong sampah itu tumbang hingga mengeluarkan sebagian 'isi' perutnya. Meski begitu, rasanya benar-benar lega, seperti telah melepaskan beban yang selalu kupikul seumur hidupku. Kaki kananku yang sedikit sakit karena pertarungan dengan pintu dan tong sampah itu kini terasa ringan, begitu pula dengan hatiku. Namun, tetap saja… aku merasa suasana hatiku belum kembali seperti semula.
Begitulah! Aku memahami bahwa petualangan yang sedang kujalani ini sebagian besar bergantung pada upayaku sendiri; apakah aku menikmati perjalanan ini dengan penuh rasa cinta atau justru rasa kecewa yang kudapatkan. Namun, sebagian kecil bergantung pada nasib buruk; jika Tuhan sudah berkehendak lain, matilah semua upaya yang sudah kulakukan. Kupikir aku hanya kurang beruntung.
Dan ketika aku kembali menatap pintu itu, sekali lagi aku merasakan penyesalan telah datang ke Flores.
Sial! Aku tidak peduli lagi! Setelah puas meluapkan amarah, aku berdiri dan menatap jalan raya.
Dua turis cewek Asia yang tinggi melihat tingkah absurd-ku dari trotoar seberang jalan. Untuk ukuran cewek Asia, tinggi badan sekitar 170 cm itu sudah lebih dari kata ideal. Air muka mereka tampak seperti mereka-reka sesuatu. Mungkin mereka mulai menebak apa yang sebenarnya terjadi padaku. Hanya saja, aku merasakan adanya rasa penasaran dari sosok cewek yang memakai topi pantai berwarna krem sambil mengaitkan tas di atas pundaknya. Gayanya angkuh sekali, tapi tidak seangkuh auranya. Cewek itu mengenakan rok sifon pendek bermotif bunga dan mengombinasikannya dengan kemeja vintage lengan pendek berwarna kemerahan. Sinar lampu jalan raya yang dihiasi lalu lintas lamban partikel-partikel kabut menyinari belakang punggung cewek tersebut, memantulkan bayangan yang panjang ke badan jalan. Bahkan rambutnya yang segelap tinta dan sedikit berkilauan hingga menutupi separuh dahinya terlihat jelas olehku. Hal itu karena posisi kami yang sejajar dengan marka jalan sejauh mata memandang. Ditambah lagi, pantulan kaca kantor agen travel yang berada tepat di belakangnya membuatku bisa menganalisis asesoris yang ia kenakan. Sekumpulan daun kering tanaman hias berhamburan keluar dari sana, beterbangan karena angin. Selain itu, cahaya lampu yang menerobos keluar dari jendela yang posisinya sejajar dengan pintu kantor agen travel membuatku menyadari bahwa cewek itu terlihat seumuran denganku. Kulitnya putih segar identik orang Asia Timur dan gaya fashion-nya trendi ke-barat-baratan. Kalau diperhatikan dengan seksama, ternyata karakteristik wajahnya cukup menarik. Ada sehelai daun kering yang menyangkut di scarf rajutnya. Sayangnya, ia tidak menyadarinya dan tetap fokus padaku. Cewek Asia itu melipat kedua tangan di dada dan memandangiku lurus tidak berkedip sama sekali, seakan ingin berkata, 'Cowok itu pasti sudah gila.'
Aku seperti orang gila? Matanya rabun jauh, kali! Aku terkejut. Bengong. Seketika terpana. Hingga merasa seakan-akan isi perutku jungkir balik, karena aku langsung menyadari bahwa sebuah masalah baru sedang menantiku. Meskipun demikian, aku tetap berusaha tidak memalingkan mata—berjuang menenangkan diri dan menghapus emosi sekecil apa pun dari wajahku. Namun, tidak tahu harus menunjukkan ekspresi yang seperti apa.
Pertemuan ini benar-benar tidak dapat dihindari. Kalimat itu mungkin cocok untuk menggambarkan situasi genting sekarang. Lalu, aku berusaha mengendalikan reaksiku sambil mempertimbangkan pilihan yang kumiliki. Refleksku tentu saja berteriak agar aku lari. Menjebol pintu itu. Mencari tempat persembunyian. Menyelinap di kolong meja sampai sepasang cewek Asia di seberang jalan itu pergi dengan sendirinya. Sialnya, sorot mata mereka semakin lama semakin tajam. Suasananya pun mendadak menjadi tegang.
Duh, gimana nih? Pikiranku berputar-putar, mataku bergerak ke sana kemari mencari akal untuk menghindar, tapi aku tetap tidak bergeser sesenti pun dari posisiku.
Selusin pertanyaan lain menyesaki kepalaku, tapi di dalamnya sudah berputar-putar seperti kincir angin. Aku menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk mengesampingkan persoalan itu. Beberapa detik kemudian, sebelum aku benar-benar berpikir dengan akal sehat, tiba-tiba aku teringat kalimat bijak dari Klub Pecinta Alam: 'Petualangan terbaik dimulai saat kita kehilangan arah.'
Kalimat tersebut tentu membutuhkan penafsiran sastra yang amat dalam. Bahwa sebagai seorang petualang, seharusnya aku bisa menghadapi semua rintangan yang ada di depanku. Begitu memahami hal itu, perasaanku mulai membaik. Pikiran yang sejak tadi dipenuhi nafsu amarah seolah-olah ditarik paksa kembali berpikir jernih. Daun telingaku perlahan mendingin.
Sedang apa mereka? Menunggu seseorang, kah? Aku yang sedari tadi masih berdiri tanpa sanggup mengucapkan sepatah kata pun, kini bertanya-tanya dalam hati, karena aku tidak mungkin mengajukan semua pertanyaan itu, meskipun dalam hati kecilku ingin sekali menyapanya.
Sikap ini benar-benar tidak sesuai dengan karakterku yang energik dan percaya diri. Namun, setelah kupikir-pikir, sepertinya kurang pantas kalau aku memaksakan diri untuk bertanya secara langsung.