Di saat aku sampai di dek atas kapal yang tidak luas dan sederhana itu, pikiranku yang dipenuhi serangkaian keluh kesah mendadak terasa ringan begitu melihat cewek Eropa berambut pirang sedang berjemur sambil membaca buku. Angin laut berembus kencang, menerpa wajahnya dan membuat kemeja santainya bergerak-gerak. Ia mengenakan celana skinny jins berwarna gelap berpadu dengan sepatu trail running yang trendi bermotif rasta. Kedua siku tangannya bertumpu pada pagar kapal yang terbuat dari besi. Cewek itu tinggi—175 cm—dan memiliki tubuh ramping yang tidak kalah dengan model pakaian. Wajahnya putih bersinar. Kakinya tidak hanya jenjang, tapi sangat jenjang, cerminan gadis Eropa yang terlihat 'gagah' di mata cowok Asia.
Meski cukup menarik, penampilannya tomboy dengan rambutnya yang dikucir hingga ubun-ubun dan terlihat agak berantakan. Gambaran seorang solo traveller yang sudah melanglang buana ke berbagai negara pun terlintas di pikiranku. Ketika ia menyadari keberadaanku, fokusnya teralihkan padaku, dan dia menatapku. Sorot matanya sangat manis seperti kucing ras persia yang tak punya dosa. Bagian putih dari mata cewek itu terlihat transparan karena sangat putih. Dan membuat bola mata cewek itu terlihat istimewa dengan warna biru langit transparan yang mendominasi. Aku bisa mengartikan tatapannya sebagai salam persahabatan, karena sang pemilik tatapan memandangiku dengan sudut bibir yang menyungging.
Sementara itu, Lily terlihat sedang memandangiku tajam sambil memicingkan matanya dari tempat nongkrong di atas dek kapal ini. Aku jadi berpikir diriku adalah titisan Lee Min Ho.
Ya ampun, mati lah aku. Lily pasti mengira jika aku naksir cewek Eropa itu seperti sewaktu aku memandangi Miss Jepang tadi.
Aku pun membalasnya dengan pandangan, Woi, aku tidak naksir dia. Dia bukan tipeku. Sumpah!
Sejujurnya, aku bukanlah tipe orang yang mudah jatuh cinta. Namun, aku mudah sekali tergoda oleh cewek yang sesuai dengan tipeku. Meski demikian, aku bukan seorang playboy yang selalu butuh pacar. Mungkin aku adalah cowok yang hidup dengan jalanku sendiri—tidak mengikuti apa yang didikte oleh masyarakat, atau apa yang wanita dikte. Setidaknya begitulah aku.
Akan tetapi, tak bisa kupungkiri bahwa aku juga terpesona dengan cewek Eropa yang kelihatannya baru saja lulus kuliah itu. Jadi, apa yang aku simpulkan di atas hanya omong kosong belaka. Namun, bagi cowok single sepertiku sebenarnya hal semacam ini wajar dan normal.
Pertama, aku jatuh hati kepada Miss Vietnam. Lalu, aku berpaling darinya begitu melihat pesona Miss Jepang. Dan sekarang hatiku dibuat berdesir-desir oleh Miss Eropa. Setelah ini siapa lagi yang akan masuk daftar gebetanku, ya?
Aku dengan cepat menghitung untung-rugi. Lalu, aku memutuskan ada baiknya memasukkan Miss Eropa itu dalam daftar cadangan setelah Miss Jepang dan Miss Vietnam, selagi ada kesempatan. Karena terpikir hal itu, aku merasa diriku sangat lucu.
Kalau dipikir-pikir, prinsipku dalam mencari kekasih ibarat sosok ular yang bekerja secara dingin, penuh perhitungan, dan menyerang di saat yang tepat; mencari mangsa, mematok saat mangsa lengah, kemudian pelan-pelan mangsa itu akan mati sendiri karena bisa racunku.
Secara esensial, prinsip ini sangat mematikan secara perlahan namun pasti, lebih cepat dari nikotin yang melumpuhkan kinerja sel-sel otak.
"Halo, sedang menikmati cuaca panas di Indonesia, ya?" Bak singa yang sudah lama menunggu momen yang tepat untuk menerkam mangsanya, aku bergegas mendekati cewek Eropa itu lalu menyapanya menggunakan bahasa Inggris sambil memasang wajah yang berseri-seri.
"Halo." Cewek Eropa itu membalas sapaanku sambil tersenyum hangat sekaligus menyilaukan mata. Ia memamerkan giginya yang putih segar di antara bibirnya yang penuh, lalu menyentuh hidungnya yang mancung sambil berkata, "Yeah… aku suka suasana di sini. Negeri yang indah di sebelah timur Samudera Pasifik dengan orang-orangnya yang luar biasa. Kau tahu, ini sangat menakjubkan!"
Dinilai dari komentarnya yang menggebu-gebu dan atraktif, cewek ini sangat bersahabat kepada orang asing yang ingin berkenalan atau mendekatinya. Aku pun tidak sungkan membusungkan dadaku dan bersikap layaknya seorang teman baik baginya. Lagi pula, ini kesempatan bagus untuk mengasah bahasa Inggrisku. Kebetulan aku menganggap diriku cukup fasih berbahasa Inggris.
"Aku sudah sering mendengar kata-kata seperti itu," tukasku sambil tersenyum bangga. "Selamat datang di Indonesia, negeri yang ngangenin!"
"...." Cewek Eropa itu tersenyum aneh, namun aku bersikap masa bodoh. Mungkin dia tidak terlalu paham pola kalimat bahasa Inggrisku.
"Ngomong-ngomong, aku Rick." Sambil berusaha bersikap tenang, aku mengulurkan tangan untuk mengajaknya berkenalan secara resmi.
"Natalia." Tangan cewek Eropa yang halus itu menjabat tanganku, kehangatannya mengalir hingga relung hatiku.
Ceilah!
"Kau bisa bicara bahasa Indonesia, Natalie?"
"Aku tidak bisa. Maaf."
"Tidak apa-apa."
Aku memakluminya. Namun, sebenarnya ini adalah obrolan basa-basi dengan turis asing yang kupelajari sewaktu masih pelajar dalam kelas praktek conversation bahasa Inggris di candi Borobudur dulu. Dengan kata lain, aku masih terpaku dengan metode pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan oleh guruku dulu.
"Lalu, dari mana asalmu, Natalie?"
"Jerman."
"Berlin atau Munich?"
"Berlin."
"Hmm… sepertinya kau sudah cukup lama berkeliling Asean. Kalau begitu, bagaimana kesan-kesanmu terhadap wisata negara-negara di Asean." Aku mengungkapkan perasaanku dengan menunjukkan senyum sinis di sudut bibirku, penasaran banget dengan penilaiannya terhadap dunia pariwisata di Asean, khususnya di Indonesia. Negara manakah yang mendapatkan penilaian terbaik di mata cewek Eropa ini?