Ketika kapal sampai dan bersandar di perairan Pulau Padar, semua orang bergegas mendaki bukit dengan hati gembira begitu para ranger selesai memberitahu informasi tentang keadaan pulau cantik ini. Saat itu rombongan kami bertemu dengan rusa yang super jinak. Mereka berjingkrak-jingkrak di tepi pantai sambil bermain air dan meladeni wisatawan yang memotret mereka. Bentangan pantai di sekitar dermaga ini cukup luas dengan air yang jernih. Kami bisa melihat ikan-ikan kecil bermain kejar-kejaran dengan lincahnya.
"Bawalah air minum dan usapkan sunblock di tubuh Anda yang terbuka," saran Ketua Ranger, lalu ia menambahkan kode etik pecinta alam menggunakan bahasa Inggris dan dengan nada tegas ala guru killer, "Jangan mengambil apa pun kecuali gambar. Jangan meninggalkan apa pun kecuali jejak. Jangan membunuh apapun kecuali waktu."
Setelah itu, Lily memandu kami menuju spot foto favorit bagi wisatawan, dimulai dari menaiki tangga kayu yang cukup rapi dan aman untuk dipijak menuju checkpoint pertama. Untung saja kondisi medannya tidak terlalu curam. Mula-mula kami mendaki puluhan kaki untuk mengagumi pemandangan punggung bukit berbatu yang terletak ratusan kaki lebih ke atas, namun kemudian kami disambut beberapa orang yang berjualan kerajinan tangan berupa topi, topeng, hingga miniatur komodo. Itu artinya pulau ini sangat ramai dikunjungi wisatawan.
Di beberapa titik checkpoint pertama yang juga merupakan spot foto Instagramable, tumbuh bunga-bunga liar berwarna kuning. Jika kita melempar pemandangan ke segala arah, kita bisa menemukan pemandangan berupa perahu-perahu yang sedang parkir di pantai, bagian tubuh Pulau Padar yang sebagian besar tertutup oleh padang rumput berwarna hijau, serta puncaknya yang eksotis sudah terlihat cukup jelas.
Dalam kelompok tim kami, Miss Vietnam tak henti berbicara dan memiliki antusiasme yang besar, sementara Partner In Crime-nya sudah senang dengan hanya berjalan mengikuti instruksi Lily dan melihat pemandangan sekitar. Saat itu aku memilih berjalan di belakang Miss Jepang, mengimbangi langkahnya, sambil mencari kesempatan dan timing yang tepat untuk memperkenalkan diriku. Selama pendakian itu raut wajah Miss Jepang yang dingin membuat nyaliku ciut. Terlebih lagi punggungnya mengesankan kekecewaan dan kesepian yang tersembunyi. Aku berusaha memulai obrolan, tapi sikon-nya belum tepat. Belum lagi saat aku mengintip mata sendunya dan membayangkan kesuraman hidupnya. Andaikan aku harus menerka, mungkin cewek itu lagi stres berat, walaupun aku tidak yakin karena masalah pekerjaan atau putus cinta.
Oleh sebab itu, aku ingin menjadi pahlawan yang menghapus segala masalahnya. Hohoho... romantis sekali, bukan? Aku berpikir sejenak kemudian mengangguk, merasa yakin dengan ucapanku.
Setelah trekking cukup jauh menyusuri punggung bukit berbatu itu, kami sampai di spot favorit untuk mengabadikan momen. Disebut spot favorit karena di sana tumbuh sebuah pohon endemik tunggal yang cukup besar, sehingga menjadi payung alami bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan sambil bersantai. Hanya saja, semua orang dalam kelompok tim kami langsung berbaris rapi untuk bernarsis ria. Ketika giliran Miss Vietnam tiba, dia berdiri di ujung bebatuan cadas sambil merentangkan scarf rajutnya yang melindunginya dari terik matahari. Ekspresi wajahnya tampak seperti boneka yang akan rusak kalau bergoyang. Dia pun menjadi pusat perhatian karena tingkahnya yang menggemaskan.
Dari spot favorit ini, pemandangan latar belakang didominasi bukit-bukit hijau yang bentuknya unik sekali—mempunyai beberapa lengkungan yang menyerupai bentuk lengan raksasa. Di antara lengan-lengan itu terhampar tiga semenanjung yang diapit oleh perbukitan yang bercabang, bergelombang, hingga menjulang tinggi. Uniknya, masing-masing semenanjung itu memiliki pasir dengan warna yang berbeda-beda. Sisi kiri berwarna putih mutiara, sisi kanan berwarna hitam gelam, dan di belakang bukit yang menjorok ke kiri berwarna pink. Kombinasi warna yang langka, menjadi ciri khas dan ikon pulau unik ini. Hal itu kian menegaskan bahwa Tuhan menciptakan pemandangan ini ketika tersenyum.
Aku sudah mengatur supaya lampu kilat kamera mirrorless-ku tidak menyala. Sosok Miss Vietnam terlihat jelas di layar LCD kamera. Posisi matahari saat itu belum terlalu tinggi, namun suasana di sekitar cukup sempurna.
Lalu, setelah mengangkat sedikit topi pantainya dan mengatur kacamata hitamnya, aku diam-diam mengambil foto Miss Vietnam yang bergaya bak Kate Middleton itu. Meskipun wajah Miss Vietnam yang sudah mendaki cukup jauh di bawah terik mentari pagi berkilauan karena keringat, tapi dia tetap terlihat anggun dan menjadi pusat perhatian semua orang. Aku pun tersenyum-senyum sendiri setiap melihat gadis itu berganti pose. Rasanya seperti melihat kucing Persia yang mahal. Seperti permaisuri yang gerakannya lambat.
Kemudian, persaingan mendapatkan perhatian Miss Vietnam pun dimulai. Tingkah konyol, caper, dan sok jagoan pun menghiasi pertarungan sengit ini.
Meski begitu, aku tidak berniat mengincar Miss Vietnam pada saat itu. Serius, sejak pertama kali melihat Miss Jepang, aku sudah tidak bisa lagi berkonsentrasi untuk mendekati Miss Vietnam. Dalam kepalaku, sebagian besar melayang kepada Miss Jepang, dan aku telah menjatuhkan pilihan untuk mendekatinya terlebih dahulu. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Miss Jepang. Sesuatu yang penuh percaya diri dan menantang. Lebih dari siapa pun, aku merasakan semangat petualangan yang penuh kelincahan darinya. Tentu saja Miss Vietnam, Partner In Crime-nya, dan Natalia ada bersama kami dalam petualangan ini. Namun, dibandingkan dengan kedinamisan Miss Jepang, mereka jadi terlihat pudar.
Kelincahan cewek Jepang itu tidak hanya terlihat dari penampilan luarnya yang energik, atau gaya fashion-nya yang trendi seperti Miss Vietnam, tapi juga dari gesture tubuhnya yang berkelas, kekuatan rasa ingin tahu yang membuat pandangan matanya kuat dan bersinar. Malahan, karakter sejati dari dalam jiwa itulah yang terasa lebih menonjol. Jadi, tidak aneh kalau aku merasa kagum dan tertarik pada Miss Jepang yang bisa menyatukan seluruh gairah petualangan yang baru saja kudapatkan dari Miss Vietnam dan Natalia. Karena itu, sejak awal aku selalu berjalan di belakang Miss Jepang. Sekadar berjaga-jaga jika dia tergelincir, aku bisa menolongnya dengan cepat seperti adegan klasik dalam FTV Indonesia: menyelamatkan hidupnya—jadi teman—saling jatuh cinta—menikah—punya anak yang imut nan lucu—bahagia selamanya.
Membayangkan prospek indah itu, aku merasa konyol, namun juga menambah keteganganku.
Oh, kisah cintaku yang romantis bagai selebritis. Merasa imajinasiku sudah melayang hingga pusat tata surya, aku pun menertawakan diri sendiri. Meski begitu, aku perlu menelaah ulang rencanaku dan menyiapkan rencana cadangan, serta rencana cadangan untuk rencana cadangan kalau-kalau yang pertama tidak berhasil.
Aku mendadak merasa malu dan haus. Lalu, aku melirik Miss Jepang yang terlihat sedang mengharapkan bantuan dari seseorang untuk mengambil fotonya. Apakah ini yang dinamakan dengan sebuah kebetulan?
Kecantikan cewek Jepang itu lebih jelas ketimbang saat di kapal. Pantulan cahaya dari bola mata warna merah gelap milik Miss Jepang membuatku terpesona, sehingga aku semakin yakin dan nekat dengan rencana gilaku.
Sekarang atau tidak sama sekali. Mungkin ini waktu yang tepat untuk menyapa cewek Jepang itu—sikon dan timing-nya mendukung sekali. Hanya saja, di dalam hatiku masih diselimuti perasaan ragu-ragu sekaligus antusias.
Dalam benakku, ada beberapa pikiran yang mengganggu. Bagaimana kalau Miss Jepang mengacuhkanku? Bagaimana perasaan cewek itu nanti kalau tahu apa yang kulakukan adalah modus untuk mendekatinya? Tapi, saat ini aku tidak punya waktu untuk berpikir banyak. Yang terpenting adalah rencanaku berjalan mulus.
Ayolah, Rick! Kesempatan tidak datang dua kali! Aku mengatur ekspresi wajah dan suara sehalus mungkin serta bertekad bulat untuk mengenal Miss Jepang. Aku yakin bisa memperkenalkan diriku padanya dan membuat hatinya meleleh.
"Kau butuh bantuan untuk mengambil fotomu?" Aku memberanikan diri berbicara dengan suara lembut kepada cewek Jepang itu menggunakan bahasa Inggris, menawarkan diri menjadi fotografernya begitu melihat kesempatan terbuka bagiku.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tidak ada reaksi.
Aku mendadak kaku bagai disengat kalajengking, lalu mundur beberapa langkah untuk menganalisa penyebabnya. Aku merasa ada yang salah dengan perkataanku, tapi tidak tahu bagian yang mana, dan tidak tahu cara memperbaikinya. Akhirnya, aku hanya bisa mengandalkan jurus anak kecil—pasrah. Hanya saja, ketegangan yang muncul sekilas di wajah cewek itu tidak luput dari pengamatanku. Orang biasa pasti sudah curiga dan waspada, tapi keduanya tidak ada di wajah cewek itu. Ini benar-benar di luar dugaanku. Tapi mungkin itu karena dia tidak menganggapku sebagai orang asing yang secara tiba-tiba menawarkan bantuan.
Kekecewaan berkelebat sejenak saat aku menyadari ekspresi Miss Jepang yang biasa saja. Aku menunduk malu dan mulai salah tingkah. Benakku diliputi firasat buruk.
Apa aku harus balik kanan saja dan melompat dari atas tebing bebatuan cadas karena sekarang malah tidak dipedulikan? Aku tidak mampu mengendalikan diri. Jika tidak, aku memasang muka tebal dan pergi diam-diam saja.
Saat pikiranku sedang kacau, aku memberanikan diri mengangkat kepala dan menatap Miss Jepang lagi. Dia terkesan sedang tersenyum kecil, satu sudut bibirnya mengarah ke atas, seakan-akan ditarik dengan benang. Kusadari ada sedikit bekas luka di alis—kaum adam akan langsung menyukainya. Semua laki-laki di sini mungkin sudah jatuh cinta padanya. Atau para wanita juga.
Lalu, cewek Jepang itu mendongak untuk memandangku. Karena tinggi tubuhnya yang satu kepala di bawahku, aku sampai bisa melihat bentuk dadanya yang cukup menonjol. Aku terlalu terperanjat sehingga tak sanggup bergerak. Sesaat, aku merasa malu terhadap diriku sendiri yang memandang ke area terlarang itu. Namun, aku juga mengutuk dalam hati kenapa gen seindah itu tidak dipamerkan.
Aku menelan ludah, berusaha tak memelototi keindahan itu. Sayangnya, saraf otakku seperti terputus. Di dalamnya sedang menggambarkan fantasy gila film biru.
Astaga, aku memang sudah tidak waras. Sudah terkontaminasi virus pornografi. Kenapa di saat-saat seperti ini muncul pikiran kotor seperti itu?
Aaaa... jadi malu. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu tertunduk dan menampar diri sendiri.
Dilihat sedekat ini, walaupun warna kulit Miss Jepang seperti orang Amerika Latin pada umumnya, perbedaannya adalah permukaan kulit cewek itu terlihat lebih halus seperti krim yang dibusakan dengan telaten. Bibirnya seperti buah ceri yang direndam dalam sirup; merah dan berkilau. Sepasang anting-anting berlian terpatri di cuping kedua telinganya. Perhiasan itu bersinar dan menambah daya pikat cewek yang berasal dari keluarga kaya. Kesempurnaan yang bisa membuatku jengah. Siapa sangka Miss Jepang itu adalah seorang cewek yang sedikit glamor.
Kendati begitu, misiku untuk mengenal Miss Jepang lebih dekat semakin menggebu. Di sisi lain, Denis dan yang lainnya terlihat mencuri-curi pandang ke arah kami sambil berbisik-bisik. Mereka seakan-akan mencium modus spektakulerku ini. Tatapan orang-orang kantoran itu hampir saja memuntahkan roti pisang bercampur susu cokelat yang kumakan, tadi pagi.
"Ya, tentu saja," sahutnya lembut. Setelah memberitahu angle foto yang diinginkannya menggunakan smartphone, dia berkata, "Seperti ini, oke?"