Siang itu aku duduk di samping Natalia sambil menikmati es teh manis dengan santai. Kami terus mengobrol seputar kejadian di Pulau Padar hingga minuman kami selesai. Sampai saat itu, semuanya terasa indah. Hingga tiba-tiba Natalia merasa lelah dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Sudah beberapa kali aku mendorong kepala cewek Eropa itu dan menggeser badannya karena merasa tidak etis, tapi kepala cewek Eropa itu tetap bersandar di bahuku seperti kepala boneka yang rusak.
Sejujurnya aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, tapi aku hanya takut jika Miss Vietnam dan Miss Jepang menganggap aku dan cewek Eropa itu ada hubungan spesial. Tapi, ya, apa boleh buat.
Sepanjang pelayaran menuju Pulau Komodo, aku sempat ragu apakah aku harus membangunkan Natalia atau pura-pura tidak tahu, dan membiarkannya begitu saja. Namun, begitu Lily mengumumkan kapal sudah tiba di Pulau Komodo, tiba-tiba Natalia terbangun dan langsung bersiap-siap untuk turun.
"Kau baik-baik saja, kan?" Aku yang merasa sedikit cemas mengerutkan kening.
"Aku harus mengambil banyak dokumentasi komodo dragon untuk kenang-kenangan," jawab Natalia sambil mengemasi barang-barangnya, lalu dengan gerak yang gesit ia menerobos orang-orang yang sudah bersiap menuruni kapal. Tampaknya ia ingin berada di barisan depan rombongan kami.
"Hei, santai saja. Kita jalan bersama-sama." Seruanku sepertinya sudah tak terdengar lagi oleh cewek berambut pirang itu.
Entah kenapa selama beberapa detik kemudian, aku hanya bisa tertawa heran melihat tingkah Natalia yang tidak terduga itu. Lalu, aku mengernyitkan dahiku begitu menyadari ada bekas DNA yang ditinggalkan cewek Eropa itu di kemeja flanelku.
Fiuh… kontaminasi air liur pelemah sukma!
Taman Nasional Pulau Komodo terlihat sangat indah dan bersih. Jembatan pelabuhannya lumayan panjang dan berbentuk letter L. Di setiap sisinya terdapat marka jalan berwarna kuning - hitam dan lampu-lampu penerangan jalan yang di bagian atasnya terdapat solar cell, mirip sekali dengan lampu penerangan jalan protokol di kota metropolitan, sehingga termasuk spot foto instagramable bagi para wisatawan.
Begitu turun dari kapal dan melewati gerbang, kami langsung bisa melihat ayam dan kambing di pinggir pantai.
Ayam dan kambing kan takut air, ngapain mereka berada di sana? Usut punya usut, ayam dan kambing itu adalah santapan bagi spesies komodo.
"Komodo adalah binatang yang suka berkamuflase untuk melindungi dirinya, berkumpul dengan koloninya, hingga berburu mangsa. Sementara untuk sarang, satwa liar itu biasanya membuat lubang-lubang di sekitar pinggiran sungai atau bebatuan. Nah, sekarang hewan purba itu sedang berjemur, itu artinya mereka baru saja menyantap makanan."
Lily menjelaskan menggunakan bahasa Inggris saat rombongan tim kami melihat pose seekor komodo yang sedang bermalas-malasan dan tiduran di tepi pantai. Padahal komodo itu bisa saja sedang berpura-pura dan sudah siap untuk menerkam orang-orang yang berkerumun melihatnya dari dekat.
"Hati-hati saja, selain pintar berkamuflase, komodo juga termasuk hewan kanibal, bisa berlari secepat manusia, berenang, dan memanjat pohon." Lily menambahkan penjelasannya sambil menyipitkan matanya kepada Miss Vietnam dan Partner in Crime-nya.
"Betul sekali. Mereka sangat menyukai daging segar orang Asia, lho, terutama wanita-wanitanya." Adrian yang pandai membuat lelucon tiba-tiba melontarkan sebuah gurauan menggunakan bahasa Inggris.
"Komodo menyukai daging segar wanita Asia?" Hal itu langsung membuat semua peserta sailing tertawa terpingkal-pingkal, kecuali Miss Jepang, Miss Vietnam, dan Partner in Crime-nya. Miss Jepang hanya tersenyum hangat sambil menatap Miss Vietnam dan Partner in Crime-nya yang terkejut karena secara tiba-tiba menjadi bahan candaan.
"Jangan tertawa keras-keras. Nanti komodonya datang ke sini," sahut Denis, disusul tawa menggelegar semua orang.
"Stop bercandanya. Ayo kita segera masuk ke halaman utama taman nasional pulau ini." Sang Kapten mengubah topik supaya Adrian dan Denis berhenti menakut-nakuti peserta sailing lagi.
Gurauan-gurauan seperti ini susul-menyusul menghiasi momen-momen keakraban publik yang membentuk satu rombongan besar tanpa pola. Para ranger Taman Nasional Pulau Komodo menyambut kedatangan kami di gerbang utama, lalu mereka langsung mengarahkan semua peserta sailing yang sudah berkumpul di halaman utama taman menuju ruang informasi turis. Di tempat ini banyak informasi seputar flora dan fauna Pulau Komodo, peta, sejarah, hingga peraturan selama trekking menyusuri hutan untuk melihat spesies komodo liar.
Ketua ranger mengumumkan kepada semua anggota sailing tim kami untuk bergabung dengan rombongan tim lain, dan mengambil rute trekking yang paling pendek, dengan alasan karena beberapa ranger sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Selama ini, Pulau Komodo selalu ramai dikunjungi turis lokal maupun asing. Tetapi, karena sekarang umat Islam di Indonesia sedang menjalankan ibadah puasa ramadhan selama satu bulan penuh, maka kunjungan turis lokal menurun drastis hingga 80% dari hari-hari biasanya. Sedangkan kunjungan turis asing relatif stabil.
Trekking dimulai dan setelah berjalan cukup jauh secara berkelompok, kami sampai di area beberapa spesies komodo dewasa terlihat sedang bermalas-malasan di bawah pohon yang rimbun.
Ini perkenalan pertama peserta sailing dengan komodo dragon. Semuanya terkagum-kagum melihat kadal berukuran raksasa. Beberapa laki-laki usil melemparkan ranting-ranting kecil ke arah komodo yang sedang memejamkan matanya di dekat genangan air, sementara yang lain mulai sibuk mengatur kameranya dan mengambil gambar dengan objek utama sang reptil purba itu.
Aku sendiri sibuk mengatur kamera mirrorless-ku ke mode semi otomatis. Mode yang memilih ukuran lubang cahaya dan kecepatan shutter secara otomatis, serta menentukan titik fokus secara manual, sehingga bisa menghasilkan foto yang cukup bagus tanpa harus mengotak-atik pengaturan. Setelah itu, aku mengatur white balance menjadi fluorescent agar cahayanya mendekati alami, serta memilih ISO 100—yang menurut perkiraanku sudah sesuai dengan kondisi di hutan ini.
Selesai mengatur kamera, aku hanya memotret komodo beberapa kali. Selebihnya, aku memotret peserta sailing tim kami secara diam-diam, terutama saat Miss Vietnam, Miss Jepang, dan Natalia mengabadikan diri mereka dengan gaya khas masing-masing. Aku dengan penuh keyakinan mengelilingkan tali kamera di leherku sambil bergerak ke sana kemari hingga menyelinap di kerumunan orang bak fotografer pemburu gosip, sambil terus memencet tombol shutter pada kamera ke arah sasaran bidikanku, tanpa harus khawatir tentang baterai dan memory card, karena aku membawa persediaan yang cukup.
Setelah puas menyaksikannya dan mengabadikan momen itu, kami melanjutkan trekking menyusuri jalan setapak yang dipenuhi pohon-pohon besar saling berhimpitan satu sama lain dan berdaun lebat kehijauan.
Dengan malas, aku berjalan di belakang Miss Vietnam dan Partner In Crime-nya, seolah tanpa sadar bahwa aku dan mereka tengah membentuk kelompok sendiri. Miss Vietnam berjalan dengan tegap, sementara Partner In Crime-nya kelihatan cukup bersemangat meskipun cara berjalannya sedikit aneh. Hanya aku saja yang tampak seperti seekor pinguin yang kelaparan, tubuhku tampak bungkuk. Kendati begitu aku terus menempel di belakang mereka dengan jarak yang terlalu dekat seolah kami bertiga terikat dengan tali. Sepasang cewek Vietnam itu tengah mengobrol menggunakan bahasa tanah airnya. Aku merasa pusing mendengar logat bahasanya yang mirip bahasa Mandarin itu.
Apa mereka sedang membicarakanku? Karena letih, aku jadi sedikit sensitif.
Berjalan bersama banyak orang seperti ini membuatku tampak kehilangan jati diriku sebagai seorang solo backpacker. Ibarat seorang penggembala domba yang sedang menggiring ratusan dombanya berjalan ke suatu tempat, dan aku berada di tengah-tengah ratusan domba itu tanpa mampu melakukan hal-hal yang kusukai, karena itu sama saja membelenggu kebebasanku untuk menikmati keindahan Pulau Komodo dengan caraku sendiri.
Semua orang terus berjalan mengikuti instruksi guide hingga pada akhirnya kami melewati jembatan kayu yang lapuk karena termakan usia dan faktor cuaca. Usianya mungkin sudah setengah abad. Kering karena sinar matahari dan lapuk karena hujan. Jika Hulk melewati jembatan itu, aku yakin sekali dia bisa menghancurkannya dengan sekali injakan.