Akhirnya waktu makan siang pun tiba. Perut dan hatiku yang lelah berjalan menyusuri jalan setapak demi melihat komodo dan berjibaku dengan tanah karena menolong Miss Vietnam dan Partner In Crime-nya tadi, kini menginginkan sea food yang dipanggang. Selain itu, tidak ada makanan lain yang terlintas di pikiranku. Untung saja di tempat wisata ini banyak kedai yang bisa memenuhi keinginan perutku. Khususnya kedai sea food dengan menu ikan kakap bakar favoritku. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bergegas menuju kedai itu untuk menikmati makanan besar pertama hari ini.
Aku menggerakkan badan dengan bersemangat supaya pikiranku beralih dari kejadian beberapa saat yang lalu. Aku mengangkat tangan ke atas kepala selama dua hingga tiga kali. Lalu, saat hendak sampai di pusat kedai kuliner itu, tiba-tiba aku melihat Miss Vietnam melambai-lambaikan tangannya padaku dari sebuah kedai yang dipenuhi rombongan tim kami. Aku hendak menghindarinya karena grogi, tetapi mengurungkan niat. Aku sudah bertanya-tanya apakah cewek itu akan mendekatiku. Aku bahkan sudah memikirkan harus bersikap bagaimana dan berkata apa. Sudah melatih gesture yang keren dan jawaban atas semua pertanyaan yang dia lontarkan padaku dengan lugas di dalam hati.
Oh, tidak! Sekarang Miss Vietnam sedang berjalan ke arahku sambil menguarkan aura kepercayaan diri yang tinggi. Lengan dan lututnya dihiasi plester dan perban dengan ukuran kecil hingga sedang, namun langkahnya biasa saja, tidak terlihat seperti orang sakit atau menahan rasa sakit.
Sialnya, selagi Miss Vietnam berada di depanku pada saat ini dan berkata, "Hei, maukah kau makan siang bersama kami? Kami yang traktir." Aku lupa akan gesture yang keren dan jawaban yang lugas tadi. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang tak terduga, perpaduan aneh antara rasa malu dan suka. Seketika itu juga, aku merasa suasana di sekitarku langsung berubah. Dari jauh, teman-teman berteriak-teriak.
Di tengah-tengah teriakan itu aku bilang, "Aku? Tidak salah?"
Sejujurnya aku lebih bisa dibilang senang sekali daripada kaget, tapi aku tidak ingin terlalu memperlihatkannya. Sebab, dibandingkan dengan saat pertama kali berbicara dengan Miss Vietnam tadi, atmosfernya sekarang terasa berbeda. Aku sempat menatap cara pandangnya yang berbinar-binar terhadapku. Begitu menyadarinya, wajahku langsung merah merona, merasa tersanjung tingkat tinggi. Apalagi dia yang menyapaku duluan. Senangnya minta ampun. Aku loh, aku! Disapa Miss Vietnam! Bayangin, deh!
Kalau begitu, apa jangan-jangan dia mulai menyukaiku, ya? Suasana hatiku berwarna-warni dan membuatku merasa ingin terbang.
Sebenarnya aku ingin terlihat keren waktu itu, tapi saking gugupnya kakiku gemetaran. Lalu, aku menatap Miss Vietnam sambil bengong karena tak percaya. Bukan karena ajakannya yang tidak kusangka. Biar bagaimanapun, dia memang tipe cewek penggoda. Yang sulit kupercayai adalah kenapa irama detak jantungku semakin cepat dari waktu ke waktu.
"Em... a-aku tidak biasa ditraktir wanita cantik." Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa selain memasang senyum termanisku, meskipun di balik senyum itu memancarkan rayuan gombal. Hanya saja, ketika mengalami momen canggung seperti ini aku langsung menyadari urat-urat pipiku yang menegang. Saat seorang wanita cantik secara tiba-tiba mengungkapkan keinginannya padamu, akan sangat susah bagimu untuk tidak terpikat padanya.
Miss Vietnam menyadari kegugupanku, lalu dia tertawa lebar. Dia sangat terbuka dan bersahabat. Sungguh berbeda dengan citra dirinya, dalam artian yang kusangka buruk.
Kalau di Indonesia, aku menilai cewek dengan penampilan fisik yang nyaris sempurna seperti Miss Vietnam sebagai cewek yang bermuka dua; sering bersikap sombong kepada cowok standar—baik secara fisik, pekerjaan, keuangan—yang mencoba mendekatinya. Memperjuangkan cintanya pasti berliku-liku khas sinetron Indonesia. Apalagi kalau sudah menjadi pacarnya, bisa-bisa untuk menarik napas saja aku harus meminta izin terlebih dahulu. Membayangkannya saja sudah membuatku ingin bunuh diri. Ah, lebih baik mati kalau jatuh cinta dengan cewek seperti itu. Kemudian aku sadar, membuat kesimpulan berdasarkan pengalamanku saja adalah hal yang bersifat egois. Aku selalu merasakan ketidakadilan karena mereka menganggapku suram dan rakyat jelata. Namun, bukankah aku juga menghakimi mereka? Hanya karena penampilan cewek itu secantik artis K-pop, aku menganggapnya sebagai orang yang bersikap sewenang-wenang terhadap sekitar.
"Wah, aku tidak secantik itu, kok. Kalau aku cantik pasti sudah mengikuti ajang Miss Universe." Miss Vietnam berkata sambil memperlihatkan pinggangnya. Gerakan itu hampir membuat kemeja vintage-nya terbuka. Lalu, dia tersenyum lebar, memamerkan giginya yang putih berseri.
Ya ampun, semakin tersenyum, wanita ini semakin manis. Efeknya berasa ratusan giga volt lebih hebat dibandingkan sengatan Pikachu. Hebatnya lagi, daya magis senyuman itu berhasil melelehkan hatiku. Leleh... kemudian mencair... dan....
Plisss, jangan sampai membasahi celana dalamku. Aku berdoa dalam hati.
"Ayo kita ke kedai itu," seru Miss Vietnam sambil menunjuk sebuah kedai sea food yang futuristik.
"Ah, tidak. Aku—" Aku menggaruk-garuk kepala sambil menundukkan pandangan karena merasa malu.
"Jangan sungkan-sungkan. Kau seorang travel blogger, kan?" Miss Vietnam tiba-tiba memiringkan kepalanya untuk memandang wajahku.
Aku tak sanggup bersuara, lalu mendongak untuk menatap Miss Vietnam. Dari mana dia bisa tahu tentang pekerjaanku? Padahal aku tidak pernah bercerita apa pun kepada orang-orang di kapal. Meskipun penampilanku terlihat casual seperti seorang backpacker atau travel blogger dengan kemeja flanel hijau-biru-kuning yang dikombinasikan dengan T-shirt berwarna putih, dan celana denim compang-campingku yang masih terasa nyaman bagi pahaku yang ramping—aku mengenakannya sebagai simbol kesederhanaan dan kebebasan. Daypack biru yang melekat di punggungku berisi: pakaian ganti, logistik, dan peralatan camping ultralight.
"Dari mana kau tahu tentang itu?" Aku masih terkejut, benar-benar tidak menyangka.
"Aku hanya asal menebak." Miss Vietnam tertawa lagi saat melihat keterkejutanku. "Jadi benar kau seorang travel blogger?"
Begitu, ya? Rasanya ada orang yang mengorek kehidupan pribadiku kalau ada yang tahu tentang pekerjaan dan hobiku ini.
"Ayo, kita bergabung bersama Yukiko dan yang lainnya. Kau harus melihat koleksi foto-foto Yukiko saat diving dan snorkeling di perairan pulau ini. Tadi aku melihat fotonya bersama ikan manta dan kura-kura raksasa." Miss Vietnam membanggakan teman barunya dari Jepang itu dengan penuh rasa kagum.
"Yukiko? Jadi cewek Jepang itu namanya Yukiko?" Perhatianku mulai teralihkan. Hm, sepertinya Miss Vietnam dan Yukiko sudah saling berkenalan satu sama lain sejak kami singgah di Pulau Padar. Dengan begini, aku bisa memberi Yukiko penyuluhan untuk menikmati hidup dan cara bersosialisasi dengan baik.
"Iya... dia juga seorang travel blogger. Blognya sangat terkenal. Dia sudah berkeliling ke banyak negara di Asia dan Amerika. Mungkin kau akan cocok dengannya." Miss Vietnam mengatakannya dengan berapi-api, sepertinya dia sudah memplokamirkan diri menjadi fan garis keras Yukiko.
Aku jadi penasaran dan ingin sekali melihatnya. Tapi, jika dibandingkan dengan blog-ku yang hanya membahas tentang pariwisata di Indonesia, aku sangat malu dan minder. Lagian aku juga belum pernah backpackeran ke luar negeri. Namun, tetap saja aku penasaran.
Begitulah akhirnya, aku menerima ajakan Miss Vietnam untuk bergabung bersama Yukiko dan yang lainnya di kedai sea food. Tanpa sadar, aku mengikuti langkah Miss Vietnam sampai akhirnya aku melihat Yukiko yang sedang menjadi pusat perhatian semua orang karena koleksi dokumentasi underwater-nya. Diam-diam aku larut dalam kerumunan orang yang menyaksikan hal itu. Lily sedang sibuk mewawancarai Yukiko; beberapa awak kapal bahkan turut mendekat, aku hanya bisa menatap rambut Yukiko. Seketika itu juga penilaianku terhadap Yukiko berubah total.
Walaupun terlihat murung dan anti-sosial, tapi public speaking Yukiko sangat baik. Rasanya aku memang salah menghakiminya. Dia seolah memancarkan aura dahsyat yang mampu menarik perhatian seisi kedai. Sikapnya sangat elegan dan percaya diri, tidak ada gerak berlebihan dari bahasa tubuhnya. Setiap patah kata yang terucap mampu menarik minat setiap orang untuk terus mendengarkan ceritanya, meskipun orang itu tidak mengerti maksudnya. Dengan mudah aku bisa membayangkan Yukiko bercerita dengan gaya bak ahli presentasi. Bahkan, aku yang duduk di meja sebelahnya pun bisa merasakan aura itu.