Sore itu, hujan disertai angin kencang tiba-tiba menghiasi perjalanan pulang kami. Ombak laut menjadi sangat ganas dan dalam sekejap saja pengikisan air laut terjadi begitu cepat. Suhu di musim pancaroba sama tidak terprediksinya dengan setumpuk kartu poker. Kami mungkin bertemu hawa yang panas pada siang hari, hujan yang lebat pada sore hingga malam hari, atau malah sebaliknya. Parahnya, siklus inkonsisten perubahan cuaca itu bisa saja terjadi selama beberapa hari. Karena dirasa membahayakan, Kapten mengubah arah jalur pelayaran yang biasa dilalui kapal-kapal yang wara-wari dari Pelabuhan Bajo ke Taman Nasional Pulau Komodo untuk mencari jalur alternatif, sehingga memaksa kami untuk berputar lebih jauh. Namun, ternyata hujan disertai angin kencang hingga kilat petir itu sekarang sudah meluas. Denis mengutuk kejadian ini, sementara para ABK tertawa dan saling meneriaki, mereka bergairah menghadapi kekuatan alam dan tidak terusik olehnya, sama halnya dengan Sang Kapten yang terlihat begitu santai. Namun, siapa pun yang mengalami kejadian itu mengerti betul bahwa situasinya sangat berbahaya. Dengan terpaksa kapal harus mencari daratan terdekat demi keselamatan bersama. Kebetulan kami menemukan daratan yang tidak disangka-sangka, pulau yang sepi dan rimbun, pelarian yang sempurna untuk menghindari cuaca, jadi saat itu Kapten langsung mengarahkan kapal menuju ke sana.
Sesampainya di pulau yang belum diketahui namanya itu, hujan reda, tapi angin masih kencang. Selama beberapa saat, Kapten sudah mencoba meminta bantuan dengan menelepon rekan-rekan seprofesinya, tapi tidak ada yang tersambung karena sinyal telepon cuma satu bar, kadang malah tidak ada sama sekali. Lalu Kapten mengirim pesan singkat, namun belum ada balasan. Setelah itu ia kembali tenang dan menyuruh semua orang untuk berkumpul sambil mendiskusikan langkah selanjutnya.
Pukul tujuh malam, beberapa laki-laki mencari kayu bakar untuk berjaga-jaga jika kami terpaksa menginap di pulau ini, tapi yang didapat hanyalah ranting-ranting pohon yang basah karena hujan. Waktu itu gelap sekali, bahkan laut pun nyaris tidak terlihat. Yang bergema di langit malam hanya suara ombak yang berderu ke daratan. Sudah sejak tadi langit tenggelam dalam kegelapan. Cahaya bintang pun tertutup oleh awan tebal. Dan kami tidak melihat kapal lain yang sedang berlayar ataupun yang sedang menepi. Tidak ada tanda-tanda ombak akan tenang, jadi kami mungkin terpaksa tidur di kapal. Jenis kapal yang didesain hanya untuk mencari ikan, bukannya melayani tamu inap, seperti kapal phinisi. Kendati demikian, kapal itu masih layak sebagai tempat berlindung utama kami.
Begitu ranting-ranting pohon mulai kering karena angin, Kapten mengambil potongan kayu yang besar lalu dibelah, diserut, dan dipapas kecil. Setelah potongan-potongan kayu yang sudah melalui proses rumit itu cukup banyak, ia menyalakannya dengan fire stater-ku secara perlahan. Tak sampai lima menit, api mulai menyala. Kemudian, ranting-ranting kecil yang basah disisipkan di antara kayu besar dan diberi sedikit ruang agar sirkulasi api berjalan dengan baik. Saat api unggun itu mulai membesar, semua orang langsung duduk mengelilinginya, dan menangkupkan tangan untuk menyerap panas. Kami mengulurkan tangan dekat-dekat ke perapian, menunggu hingga sekejap sebelum telapak tangan kami melepuh, lalu menempelkan telapak tangan yang panas itu ke leher, bahu, paha, hingga ke ujung kaki. Untuk sementara, semua orang bisa tenang dan merasa nyaman.
Angin dingin terasa berembus kencang dari bukit, namun api memberikan kehangatan yang membuat area camp kami nyaman. Kami menikmati kehangatan api yang merambat ke tubuh. Api unggun ini termasuk sebuah kemewahan dalam situasi survival yang sedang kami hadapi. Lebih dari itu, api sangat penting untuk memberi sinyal S.O.S keberadaan kami hingga puluhan kilometer jauhnya.
Kapten berdiri dari tempat duduknya dengan sikap formal, memberi sambutan dan meminta maaf atas kejadian ini. Dia pria paruh baya yang memakai topi koboi berwarna cokelat tua. Lelaki yang kuat, berkulit gelap, dan terlihat perkasa dengan otot-ototnya yang kencang. Dia juga amat tangkas. Dengan penerangan hanya dari api unggun, tidak banyak yang bisa terlihat dari wajahnya kecuali rambut panjang, brewok gelap, dan sebuah luka yang memutih seperti kilatan petir, mulai dari pipi kiri bercabang ke bawah sudut mulutnya. Seorang pria berkarakter keras dan kaya akan pengalaman bertahan hidup di laut, seperti Tom Hank dalam film Cast Away. Meskipun pengetahuannya berasal dari pengalaman pribadi dan pengalaman pelaut lainnya, Kapten tahu banyak mengenai geografi daerah pulau kosong yang rimbun dan dihiasi perbukitan. Aku rasa semua orang di sini akan setuju bila dia dijuluki 'Godfather Pelaut Flores'.
"Baiklah, karena semua orang sudah berkumpul, ayo kita minum kopi sambil mengakrabkan diri," ujar Kapten menggunakan bahasa Inggris, sambil mempersiapkan satu bundel sachet kopi Bajawa. Setelah itu, dia memasukkannya ke teko, memberi gula yang cukup, lalu mengaduknya dan menyuruh seorang ABK menuangkannya ke dalam cangkir yang seragam.
Di sebelah Kapten, Lily mulai membagi biskuit di atas piring-piring kecil yang juga seragam. Ada satu piring besar yang dipenuhi banyak sekali buah-buahan yang bahkan aku tidak tahu apa namanya, selain apel dan pisang. Lalu, sambil menikmati sajian yang ada, satu per satu dari kami mulai memperkenalkan diri masing-masing setelah Kapten memberikan sambutan penutup.
"Kita tahu bahwa kadang-kadang di atas lautan, sama seperti halnya di daratan, kejadian-kejadian tak terduga bisa terjadi di luar kendalimu." Suara Kapten terdengar kaku seperti mesin. "Sesungguhnya, ini bukan hanya kebetulan saja, justru kejadian seperti ini yang membuat petualangan semakin menantang."
Aldi dan teman-temannya mendapatkan giliran pertama untuk memperkenalkan diri mereka di hadapan semua orang menggunakan bahasa Inggris. Mereka memperkenalkan diri dengan baik sekaligus membanggakan daerah asal. Semacam nasi goreng di tempatku enak, atau ada air terjun yang sangat fenomenal di tempatku, atau rumahku dekat dengan rumah aktris terkenal. Meski orang-orang kantoran itu berasal dari kota yang cukup besar di Indonesia, tapi aku pernah mengunjungi semuanya.
Aku membayangkan ini seperti mimpi, bukan bencana atau tragedi bagiku. Kami yang awalnya tidak saling mengenal satu sama lain bisa duduk bersama mengelilingi api unggun sambil mendengarkan cerita Kapten. Dia bilang kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Karena itu, wajar jika antisipasi mereka begitu sigap dan cukup berpengalaman. Hanya saja, hampir semua peserta sailing komodo ini tidak pernah mengalami kondisi darurat seperti ini, jadi dikhawatirkan mereka merasa takut sehingga menyebabkan mental dan psikis mereka down.
Meski begitu, sepertinya cerita Kapten cukup berhasil membuat perasaan semua orang menjadi tenang. Semua orang tampak pasrah menerima musibah ini, meskipun tidak banyak alternatif yang bisa membawa kami kembali ke Labuhan Bajo. Suka atau tidak, kami harus menuruti perintah Kapten untuk mempersiapkan diri jika ada kemungkinan lain yang jauh lebih buruk. Akhirnya, semua orang sepakat bisa menerima penundaan, tetapi tidak akan menoleransi kecelakaan laut.
Saat aku hanya bisa menyeruput kopi dan memakan biskuit dalam diam karena tidak tertarik lagi dengan cerita Kapten maupun cara Gilang ketika memperkenalkan dirinya, Quỳnh Trang Vinh yang duduk di sebelah kananku sambil menyilangkan kakinya tiba-tiba mengajakku bicara. "Hei, kau suka berkemah dan naik gunung, ya?"
Pertanyaan yang datang di saat yang tepat, karena sebenarnya aku sudah lelah dan mulai mengantuk. Hanya saja, aku lebih sering menerima pertanyaan seputar backpacker dan fotografi, namun aku pura-pura tertarik.
"Eh, bagaimana kau bisa tahu?" sahutku.
"Saat di kapal aku memperhatikan isi daypack-mu. Ada banyak peralatan berkemah dan pendakian gunung. Flysheet, hammock, tali paracord, carabiner, cooking-set, dan lain-lain." Quỳnh Trang Vinh menjelaskannya dengan antusias. "Waaah... hobi yang keren, ya! Kalau aku… aku tidak pernah mendaki gunung."
"Tidak pernah mendaki gunung tapi paham betul gear pendakian gunung." Aku tidak percaya.
"Hm… aku suka menonton anime bertema petualangan. Karena itu, aku sedikit mengerti hal-hal yang berkaitan dengan pendakian gunung." Quỳnh Trang Vinh menjelaskan sambil menaikkan rambutnya. "Tapi aku tidak mengerti kenapa kau membawa peluit yang terikat di strap holder ranselmu," sambungnya.
"Selain peluit, biasanya aku juga membawa jarum, benang, cermin kecil, seperangkat alat pancing mini, sterno gel, handy talky, pisau survival, fire stater yang ada kompasnya—" Aku tidak bisa menemukan kata yang tepat dalam bahasa Inggris, jadi aku menggerakkan jari telunjukku berputar-putar.
"Woh… ternyata mendaki gunung itu ribet banget, ya! Terus fungsi alat-alat itu untuk apa saja?" Quỳnh Trang Vinh mengeluarkan suara dengan penuh gairah.
"Kalau peralatan yang barusan aku sebutkan sangat berguna dalam kondisi darurat saja, sih." Aku berdehem, lalu melanjutkan, "Misalnya peluit berfungsi untuk komunikasi dengan rekan satu tim atau memberi sinyal kepada tim sar yang sedang mencari kita. Jarum dan benang sangat berguna jika tas gunung kita rusak. Cermin selain buat ngaca, bisa untuk sinyal darurat kepada helikopter yang lewat. Peralatan pancing jelas untuk memancing, ya, tapi senarnya bisa untuk menjerat hewan. Terus, sterno gel bisa untuk menghangatkan suhu tenda. Handy talky untuk berhubungan dengan pihak basecamp atau mencari frekuensi terdekat yang aktif. Pisau survival berguna untuk berburu dan mencari kayu bakar. Fire stater yang ada kompasnya untuk membuat api dan menentukan arah."
"Keren, kau sudah profesional banget, ya. Aku iri padamu." Quỳnh Trang Vinh terpana mendengar penjelasanku, dan dengan raut wajah serius yang tepat sasaran dia memandangku seolah sedang melihat sesuatu yang unik. Seperti inilah gayaku saat menjelaskan segala sesuatu yang menyangkut tentang hobi kebanggaanku ini.
Aku tidak berani menatap mata Quỳnh Trang Vinh karena sedikit malu. "Hehehe, sebenarnya semua itu adalah tuntutan hobi saja. Bukankah kita harus tahu dasar ilmunya sebelum menekuni suatu hobi atau pekerjaan?"
"Benar sekali. Lalu, apa yang membuatmu senang mendaki gunung?" Quỳnh Trang Vinh semakin bersemangat mewawancaraiku.
"Nilai-nilai perjalanannya," jawabku percaya diri, lalu setelah merapikan gaya rambut mandarinku yang berantakan karena angin, aku menjelaskannya dengan serius, "Banyak pendaki yang begitu tiba di puncak dan melihat pemandangan di bawahnya lantas merasa kecil di hadapan Sang Pencipta. Begitu turun dari puncak, mereka pun berikrar untuk menemukan kesenangan dalam hal-hal paling sederhana. Contohnya, lebih menghargai air dan makanan yang begitu berarti selama pendakian. Lebih dari itu, menikmati perjalanan saat mendaki gunung bisa menenangkan hati dan menyegarkan pikiran, bahkan kalau beruntung bisa mendapatkan sahabat atau pacar."