Miss Travel Beauty

Luca Scofish
Chapter #10

Sopi dan Gunung Rinjani

Malam keakraban sudah berlangsung sampai tengah malam, banyak orang yang mulai beranjak menuju kapal untuk beristirahat dan tidur. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mempersilakan Quỳnh Trang Vinh bergabung dengan mereka.

"Aku masih ingin di sini sambil menghangatkan tubuh, melihat bintang-bintang, dan mendengarkan deru ombak malam," ujar Quỳnh Trang Vinh lembut. Angin laut membuat scarf rajutnya berkibar.

Aku ternganga mendengar ucapan Quỳnh Trang Vinh. "Kau serius? Tidak lelah? Tidak mengantuk?"

Quỳnh Trang Vinh menyipitkan mata dan memandangiku. "Kau mau tidur duluan?"

Aku merasakan tekanan dari ucapan Quỳnh Trang Vinh. Cewek itu memberi petunjuk yang sangat jelas bahwa ia ingin berbincang untuk beberapa lama. Berduaan denganmu sampai pagi di sini pun tidak masalah.

"Tentu saja tidak!" Aku menjawab tegas. "Aku akan menemanimu melihat fenomena alam di sini."

Di tengah suara deru ombak dan percikan api unggun, aku dan Quỳnh Trang Vinh duduk bersila sampai kedua lutut kami hampir menempel, sambil makan biskuit bersama. Seakan mendukung suasana ini, Kapten memberi kami sebotol Sopi beserta dua gelas kecil yang terbuat dari porselin.

Sopi adalah minuman keras tradisional asal Maluku, namun sangat populer di Flores. Minuman sopi berasal dari fermentasi enau yang telah mengalami destilasi. Minuman yang konon adalah lambang kebersamaan, atau untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dalam satu keluarga, marga atau soa, bahkan persoalan konflik yang terjadi antara satu desa dengan desa yang lain. Namun, Sopi dalam pergaulan modern hanya diminum sebagai selingan dalam acara maupun kumpul-kumpul keluarga dan sahabat.

"Ngomong-ngomong, Miss Vietnam… jika trip ini berakhir, selanjutnya kau ingin pergi ke mana?" Aku bertanya karena penasaran dan berharap tujuannya sama denganku, sehingga kami bisa bersama lebih lama lagi.

"Aku ingin ke Gili Trawangan." Quỳnh Trang Vinh mengatakannya dengan lembut sambil tersenyum. "Kemudian jalan-jalan sambil membeli cindera mata di Senggigi dan Kota Mataram, lalu terbang ke Bangkok."

"Bangkok bukannya ibukota Thailand? Kau tinggal di Hanoi, kan?" tanyaku sambil memicingkan mata.

"Bukan begitu. Aku bekerja di Bangkok." Quỳnh Trang Vinh menjawab sambil menuangkan Sopi ke dalam gelas porselinnya. Lalu, dia mengusap telunjuk ke sepanjang tepian gelas menawan itu.

"Hmm, begitu rupanya. Kau pekerja kantoran, ya?"

"Begitulah." Quỳnh Trang Vinh mengangguk, menjawab dengan suara lirih sebelum ia balik bertanya, "Kau sendiri hanya menulis blog?"

Dengan malu-malu, aku menggaruk kepala. "Ah, tidak. Aku juga menulis novel dan jurnal."

"O… blogger yang merangkap menjadi penulis novel dan jurnalis, rupanya." Quỳnh Trang Vinh mengerutkan bibir membentuk huruf o mungil, lalu meminum Sopinya secara perlahan. Sambil memutar-mutar gelas menggunakan tangan kanannya, ekspresi cewek itu cenderung masam sesaat setelah Sopi itu menerpa bibirnya.

Aku hendak protes bahwa aku bukan penulis profesional. Sebab, aku sama sekali tidak terkenal dan belum memiliki karya tulis yang bisa dibanggakan. Secara resmi bukan, karena aku belum debut.

"Tapi aku tidak terkenal." Sejujurnya aku merasa sedikit malu saat memberikan jawaban itu, karena tak sedikit pun aku menangkap padangan yang merendahkan dari cewek Vietnam itu.

"Novelmu sudah terbit?"

"Secara offline belum, tapi secara online sudah."

"Online?"

"Ya, karena aku ingin personal branding untuk menunjukkan karakter menulisku kepada pembaca di internet. Selain itu, aku sudah lima kali ditolak penerbit besar, dan itu sangat menghancurkan mental serta psikis-ku." Aku tiba-tiba merasa bodoh dan ingin sekali menggigit lidahku sendiri. Membicarakan hobi itu selalu membuatku merasa rendah diri, seakan aku adalah semacam makhluk aneh.

"Ah, kalau tidak salah, Harry Potter-nya J.K Rowling pernah ditolak 13 kali dengan alasan ceritanya terlalu sulit dicerna oleh anak-anak. Lalu, Si Raja Horor Stephen King, novel pertamanya yang berjudul Carrie menerima 30 kali penolakan oleh penerbit. Ada lagi John Grisham yang membutuhkan waktu selama 3 tahun untuk menulis novel pertamanya A Time To Kill juga pernah ditolak sebanyak 45 kali." Quỳnh Trang Vinh mendadak menjadi motivator handal yang berapi-api. Dia mencurahkan semua dukungannya; membuatku semakin menyukainya. "Anggap saja penolakan itu semacam PDKT yang gagal berkali-kali dengan berbagai alasan, baik itu alasan yang masuk akal sampai alasan yang absurd atau bahkan tidak ada kabar sama sekali."

"Terima kasih untuk dukungannya." Setelah suasana hatiku sedikit tenang, aku menyesap lalu menelan Sopi. "Tapi, meskipun aku sangat percaya diri dengan karakter menulisku, aku selalu merasa jauh dari keberuntungan. Kadang penolakan dan kegagalan bertubi-tubi itu melemahkan mentalku dan menghancurkan psikis-ku. Butuh waktu lama untuk bisa berdiri dan menemukan kepercayaan diri yang tinggi lagi, lalu menemukan ide dan mulai menulis novel baru."

Lihat selengkapnya