Hari itu aku sudah memutuskan membantu Yukiko dalam tugas mencari ikan atau sesuatu yang layak dimakan di sepanjang pesisir pantai pulau tak bernama ini. Sejujurnya aku tidak pernah mengira kalau aku akan memperoleh kesempatan untuk mengobrol berdua bersama Yukiko lagi. Aku tidak tahu apakah kali ini aku akan berhasil membuat hatinya senang, dan karena diam-diam menaruh harapan, jantungku berdetak kian lama kian kencang.
Aku dan Yukiko berjalan dalam diam seperti anak SD yang sedang musuhan. Aku berjalan di bibir pantai, sedangkan Yukiko berada di sebelah kananku. Aku sengaja melakukannya untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba ada Tsunami atau ikan paus yang menyerang kami, aku bisa menyelamatkan Yukiko dari mara bahaya, atau setidaknya minimal aku yang jadi korban lebih dulu. Hehehe, so sweet banget!
Selagi kami berjalan, aku berkata lirih, "Yukiko," berharap ia terkejut karena untuk pertama kali aku memanggil namanya sambil menatap wajahnya dengan rasa sayang, tapi ekspresi Yukiko malah biasa saja dan terkesan ilfil.
Aku memperlambat langkahku sembari menanti ucapan pertama dari Yukiko, atau setidak-tidaknya gadis itu melirikku. Akan tetapi, setelah lama berselang, dia tidak melakukan kedua-duanya.
Kerjasama kami ini benar-benar terasa dingin. Yukiko memang pendiam. Terasa sekali aura gunung es dalam dirinya. Hatiku menjadi sangat grogi. Sebentar-sebentar aku berjalan dengan cepat, lalu sebentar-sebentar memperlambat jalanku. Seperti suasana hatiku sekarang, naik turun tak beraturan.
Akhirnya aku tidak tahan untuk membuka obrolan lebih dulu, "Ombaknya besar banget, ya," tapi suaraku yang lebih mirip bisikan terbenam oleh gemuruh ombak di sampingku. Perhatianku pun beralih ke ombak yang mengeluarkan gelembung-gelembung putih itu.
Setelah ombak itu berlalu untuk sementara waktu, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Eh, bagaimana pendapatmu setelah melihat komodo dragon, kemarin?"
Yukiko mengerling, seolah pertanyaan itu remeh. "Hm… cukup menarik."
Aku bertanya-tanya, kok, bisa-bisanya dia masih bersikap dingin dan seenaknya padaku. Memangnya orang itu makan apaan sih, sampai menyebalkan seperti ini? Apa aku punya salah padanya? Apa aku kurang sopan? Kurang ganteng? Kurang duwit? Kenapa dia tidak sadar kalau aku menyukainya? Padahal perasaanku cukup kentara. Lalu, sekarang aku harus bagaimana lagi?
Berdasarkan pengamatanku sejauh ini, bakat tersembunyi Yukiko adalah saat dia mamasang wajah antagonis yang super dingin, tidak ada yang berani macam-macam dengannya.
Tipe cewek introvert jelas perlu dipancing-pancing. Aku menyimpulkan.
Karena itu, aku bertanya lagi dengan hati-hati. "Di Jepang ada ikan pari dan kura-kura raksasa, tidak?"
"Kurang tahu, sih," jawabnya kalem, tapi hatiku mengatakan dia sangat ketus.
Mendengar jawaban Yukiko yang provokatif itu, aku mengangkat kedua alisku dan ikut-ikutan menanggapinya dingin. "Oh."
Haduh, sebenarnya aku tidak suka dengan tipe cewek datar dan defensif seperti ini. Tidak, bukan sekadar tidak suka, tapi benar-benar muak dengan cewek macam ini. Namun, karena paras ayu Yukiko sesuai tipeku, jadi semua sifat buruknya seakan termaafkan di mataku.
"Oh iya, Yukiko… kudengar banyak gedung pencakar langit di berbagai kota yang ada di Jepang, ya? Jepang juga dikelilingi oleh gunung dan laut, kan? Bahkan katanya makanan dari berbagai negara bisa dinikmati di sana? Wah, keren banget, ya. Benar-benar surga bagi para backpacker dan traveller." Aku berusaha mencari topik obrolan yang dikuasai oleh Yukiko, dengan harapan dia akan lebih aktif menanggapinya.
"Iya, betul." Yukiko melempar senyuman yang cenderung dipaksakan. Jawabannya yang sangat singkat itu membuatku sedikit tersinggung.
Astaga! Kok dia kayak gitu, ya? Dingin banget kayak bongkahan es di Samudera Arktik. Dasar penjahat hati! Diam-diam aku menggeleng, kecewa karena tidak bisa membuat Yukiko tersenyum.
Yukiko selalu saja bersikap seperti itu. Hatinya keras seperti batu. Namun, sebenarnya aku tidak punya hak untuk menghakiminya sombong dan angkuh. Karena dia bersikap sopan kepada siapapun dan tidak pernah melewati garis kesopanan tersebut. Mengesampingkan sikapnya yang dingin dan penampilannya yang kharismatik, kesan Yukiko yang selalu positif di mata orang sudah cukup untuk menaklukkan hati laki-laki dewasa mana pun, atau laki-laki tertampan di luar sana. Aku yakin sekali pasti sudah ada ratusan laki-laki yang gugur di bawah nama 'Yukiko'.
"Betul apa?" Aku pura-pura bodoh.
"Betul soal wawasanmu tentang Jepang," kata Yukiko sedikit antusias, kemudian ia menyilangkan rambutnya yang panjang dan hitam lebat itu di depan dada.
Sambil berbincang seperti itu, kami memungut kepiting dan kerang yang terdampar di bibir pantai. Aku bahkan terkagum-kagum saat melihat Yukiko yang energik itu juga memunguti sampah plastik. Benar-benar mencerminkan karakter orang Jepang yang bersih dan sopan.
Saat berusaha memasukkan sampah plastik yang ke-sekian kali, Yukiko tiba-tiba berhenti dan membuka tas speargun-nya. Dia mengambil sebuah pisau Morakniv Eldris dari tas survival kit. Merk yang sama dengan pisauku, hanya saja serinya berbeda.
"Wah, pisaumu keren banget. Harganya mahal, tuh." Aku berkomentar sambil bersiul seperti sedang memanggil burung.
"Senjata rahasiaku. Cuma buat jaga-jaga aja," jelas Yukiko.
Aku merasa Yukiko sedang memperingatkanku supaya aku tidak berbuat kurang ajar terhadapnya. Aku menyadari bahwa itu adalah pisau berkualitas tinggi dari Swedia yang mata pisaunya sangat tajam. Desainnya kecil dan terkesan imut. Namun, aku pernah menonton review-nya di Youtube, dan performanya sungguh menakjubkan. Bayangkan saja, masa menyerut kayu semudah memotong keju.
"Oh, iya." Yukiko menjentikkan pisaunya. "Kalau tidak keberatan, aku ingin kau membantuku memungut sampah plastik di sini."
Aku menelan ludah. Entah kenapa, gaya Yukiko yang seperti Catwoman itu membuatku resah. Aku pernah mendengar bahwa Catwoman bisa mengendus rasa takut, bahkan mendeteksi perubahan pada pernapasan serta detak jantung orang lain. Aku tidak yakin apakah Yukiko memiliki kemampuan itu, tapi aku memutuskan sebaiknya menuruti permintaannya.
"Baik." Aku mengangguk cepat-cepat.
Dengan adanya warning itu, obrolanku dengan Yukiko tidak berjalan seperti yang kuharapkan. Yukiko terus memberikan jawaban yang singkat. Aku berusaha memulai percakapan dengan berbagai macam cara, tapi yang kuterima tetap jawaban yang singkat, padat, dan jelas. Padahal sudah sejak turun dari Pulau Padar aku mengerahkan nyali untuk mengobrol dengan cewek super dingin itu. Namun, begitu ada kesempatan obrolan kami malah terasa seperti wartawan dan narasumber. Aku berusaha keras melawan insting untuk mundur teratur walaupun ini tidak akan mudah. Jangan! Kapan lagi bisa berduaan dengan cewek Jepang yang memiliki kulit eksotis bak Megan Fox itu.
"Aku perhatikan baik-baik, kau suka snorkeling dan diving, ya? Mungkin kau akan cocok dengan Karimunjawa." Aku merekomendasikan Karimunjawa kepada Yukiko sebagai destinasi yang wajib ia kunjungi di Indonesia supaya aku bisa menemaninya jalan-jalan di pulau yang sudah sangat familiar bagiku itu.
"Aku memang berencana ke sana setelah mengunjungi Wae Rebo di Ruteng, Danau Kelimutu di Ende, dan berenang bersama ikan paus di Lamalera." Tiba-tiba Yukiko menyahut berapi-api.
Aku sangat terkejut, bahkan bola mataku nyaris keluar seperti akan terlepas dari rongganya. Hmm... kurasa sudah menemukan topik obrolan yang disukai Yukiko.
"Uwaaah… keren banget! Tapi, kau wajib mengunjungi Karimunjawa kalau memang kau seorang maniak snorkeling dan diving. Sebab, Karimunjawa sangat indah dan murah. Harga makanan mulai 5.000 rupiah. Harga minumannya juga sama. Homestay sangat murah, ada yang hanya 25.000 rupiah per malam. Pemandangan bawah laut di sana luar biasa indah. Petualangan satu hari sailing pulau kecil dan besar mulai dari 150.000 rupiah." Aku pun tidak mau kalah berapi-api dengan Yukiko.
"...." Yukiko tidak menanggapi penjelasanku yang ekspresif itu, tetapi aku maju terus.
"Kau bisa melihat banyak ikan Nemo dan Dori berenang dengan gesit di sekitar terumbu karang yang masih sangat perawan." Aku mengira Yukiko akan sedikit terharu dengan ceritaku tentang keeksotisan Pulau Karimunjawa, namun ternyata aku terlalu meremehkan kebekuan hati sebuah mesin. Sikap Yukiko tidak berubah dari awal sampai sekarang.
Walaupun suasana hatinya tidak menentu dan cukup aneh, tapi ada kalanya Yukiko bisa bersikap baik.
"Oh iya, Yukiko, kau punya akun Instagram, kan? Dari kemarin aku sudah ingin tanya, ayo kita saling follow akun Instagram dan bertukar alamat E-mail."
Yukiko mengeluarkan smartphone-nya, lalu menunjukkan akun Instagram dan alamat E-mailnya.
Ternyata kesabaran ini membuahkan hasil. Dengan cepat aku langsung mem-follow dan mencatatnya. Mungkin ini cara yang bagus untuk mengenal Yukiko lebih jauh. Aku benar-benar penasaran dengan kehidupan cewek Jepang yang hebat dan pemberani seperti Yukiko ini.
Dari dulu aku sangat mendambakan bisa backpackeran ke Jepang. Aku selalu takjub dengan kemajuan Jepang yang seperti dunia Final Fantasy. Mulai dari bidang pendidikan yang sangat baik, kebudayaan yang kaya dan lestari, pariwisata yang indah dan ikonik, hiburan yang populer hingga mancanegara, olahraga yang dipelajari sedari kecil dan didukung penuh pemerintah Jepang, tata kota yang teratur, transportasi publik yang cepat, murah, dan efisien, semuanya dibangun dengan standar yang tinggi hingga menghasilkan negeri impian yang nyaris sempurna. Belum lagi sifat orang-orang Jepang yang mencerminkan ksatria jaman foedal Jepang—selalu bertanggungjawab dengan perbuatannya.
"Kita akan menembak di mana, Yukiko? Sepertinya spot di sini cukup bagus." Aku bahagia sekali setelah mendapatkan akun Instagram dan E-mail Yukiko. Maka, selanjutnya aku sangat yakin bisa mendapatkan hatinya.
"Di tengah-tengah spot itu saja!" Yukiko menunjuk bibir pantai yang menjorok ke laut, bentuknya seperti sudut cermin cembung yang memisahkan dua sisi, dan gelombangnya relatif stabil karena alirannya terbagi.