Miss Travel Beauty

Luca Scofish
Chapter #13

Barbeku

Malam harinya, sesuai janji Kapten, kami makan malam dengan menu utama opor ikan parrot sambil mengelilingi api unggun. Dan di saat yang bersamaan Lily menginformasikan bahwa mungkin ini adalah makanan istimewa terakhir yang bisa kami nikmati, karena persediaan bumbu dan rempah-rempah di dapur kapal sudah mulai berkurang. Namun, persediaan teh, kopi, gula, garam, dan kecap masih cukup banyak. Hanya saja, air kemasan kami hanya tinggal tiga galon. Setiap galon itu ber-volume sembilan belas liter. Dan di kapal kami ada lima belas jiwa. Itu artinya mulai sekarang setiap orang dijatah tidak lebih dari empat liter.

Setelah acara makan-makan istimewa itu selesai, Kapten menyuruh semua laki-laki mencari kayu bakar, lalu menyiapkan dua atau tiga perapian besar di dalam lubang besar berbentuk segi empat.

"Api yang besar akan menghasilkan asap yang banyak. Selain itu, api-api besar bisa memberikan lebih banyak tempat untuk membakar ikan, sumber panas yang lebih banyak, hingga rasa aman dari ular atau binatang liar dari hutan," jelas sang Kapten kepada semua laki-laki saat mulai menyiapkan perapian. "Dan yang paling penting adalah sebagai sinyal utama kepada regu penyelamat yang sedang mencari keberadaan kita. Titik-titik api pada malam hari akan meningkatkan peluang kita untuk ditemukan."

Tidak ada satu orang pun yang berani membantah ucapan Kapten. Semuanya bekerja sama dengan baik demi bisa kembali lagi ke Labuhan Bajo.

Setelah api menyala, para wanita membuat teh dan kopi hangat untuk semua orang. Sedangkan beberapa laki-laki mengambil sisa ikan parrot yang tidak dimasak dan mulai membersihkannya dengan air laut. Kami membuat rak seadanya dari dahan hijau pohon besar di hutan, kemudian membaluri ikan parrot itu dengan sedikit kecap, dan menggantungnya tepat di atas api sambil terus memberi kayu kering ke perapian tersebut. Itu bukanlah ikan bakar yang biasa dibakar di pusat kuliner daerah wisata atau restoran, yang setiap pelanggannya tinggal duduk manis sambil bermain smartphone saat menunggu sang pelayan menyajikannya. Namun, ikan yang kami bakar terasa menyenangkan berkat kebersamaan kami yang ceria dan saling menghibur satu sama lain.

Dua puluh menit kemudian, ikan parrot bakar sudah matang sempurna dan siap disajikan. Semua peserta sailing yang berjumlah sebelas orang itu duduk saling berhadapan di dekat api unggun sambil menikmati ikan parrot bakar yang disajikan menggunakan alas dedaunan hijau dari pepohonan yang ada di hutan. Semua orang melahap santapan selama hampir satu jam. Tubuh kami sangat membutuhkan nutrisi yang kaya dari daging penuh protein itu. Kami sadar besok atau lusa belum tentu bisa makan daging segar sebanyak ini lagi. Oleh karena itu, kami memanfaatkan sebaik mungkin pesta ikan bakar malam ini.

Salah satu ranting di perapian meletup hingga menerbangkan bunga api ke langit malam yang gelap. Selain itu, suasana di kapal sunyi senyap. Lain halnya suasana di sekitar api unggun yang sedikit ramai. Setiap orang makan sambil mengobrol dengan orang yang duduk di sebelahnya, dan sesekali mereka menatap ke api.

Selesai makan, kami lalu bermain tebak-tebakkan nama-nama hewan dan buah-buahan menggunakan bahasa Inggris. Biar makin seru, sebagai hukumannya, peserta yang kalah harus rela mukanya dicoret-coret menggunakan arang. Aku sendiri sudah mendapatkan dua coretan arang di pipi kananku. Sementara itu, pipi Yukiko dan Quỳnh Trang Vinh masih mulus bak mobil yang baru turun dari dealer. Aku sering mencuri-curi pandang melihat ekspresi mereka yang begitu bahagia saat tertawa lepas itu. Bola mata mereka memantulkan cahaya api, sinarnya begitu menggelora, seolah-olah musibah yang sedang kami hadapi ini bukanlah suatu hal yang menakutkan. Hatiku pun dipenuhi bunga-bunga yang seakan terus bermekaran tiada henti.

"Aku perhatikan kau cukup dekat dengan Si Jepang dan Si Vietnam itu, ya." Natalia yang duduk di sampingku tiba-tiba menyenggol bahuku menggunakan bahunya. Dia bersikap seperti seorang teman baik yang sudah lama saling mengenal.

"Kalau iya kenapa? Kau cemburu?" Aku mengucapkannya dengan sadar sambil mengucek mataku. Sedikit pun tidak merasa malu.

Lihat selengkapnya